Views: 63
Solidernews.com – Sejak lahirnya Undang-undang nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, maka kemudian ada acuan untuk mempergunakan terminologi Penyandang Disabilitas Mental dibanding istilah yang lain. Ini hampir sama dengan saat kita menyebut difabel mental. Di dalammya meliputi difabel mental psikososial. Artinya terminologi difabel mental psikososial itu ada dalam aturan undang-undang. Maka ketika sebagian pegiat isu difabel terutama mereka yang bekerja di project Dignity yang mengangkat isu kesehatan mental lebih sreg mengunakan istilah Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODPP). Sah-sah saja karena terminologi tersebut membuat kata-kata positif dan afirmatif.
Berbeda ketika media non mainstream yang mengangkat isu difabel yang menurut saya kok turut “keblinger” layaknya media mainstream yakni dengan menggunakan kata-kata Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Pemilihan kata ODGJ menurut saya mengandung stigmatisasi. Coba lihat saja, berita-berita yang menggunakan judul ODGJ akan sangat diminati sebab banyak yang menyertakan dengan stempel negatif. Apalagi yang mengandung unsur sensasi.
Dua tahun sebelum disahkannya UU nomor 8 tahun 2016, telah terbit Undang-Undang nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Namun dari regulasi tersebut tidak memiliki satu pun aturan turunan. Dalam Undang-Undang tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa memuat dua kategori yakni Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) dan Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK). Mengikuti perkembangan zaman, pada tahun 2023 Undang-undang Kesehatan Jiwa tersebut dicabut. Pencabutan UU Kesehatan Jiwa dilebur ke Undang-undang Kesehatan 2023.
Terdapat Pasal 28 ayat 4 tentang penyediaan akses pelayanan kesehatan primer dan lanjutan yang mencakup masyarakat rentan, salah satunya adalah individu dengan gangguan jiwa.
Apa yang menjadi pembeda Undang-undang Kesehatan yang baru terkait kesehatan jiwa dengan undang-undang kesehatan jiwa yang lama? Ada beberapa detail pasal yang tidak ada di Undang-undang Kesehatan yang baru dibandingkan dengan Undang-undang kesehatan jiwa yang lama. Di antaranya adalah:
Undang-Undang Kesehatan No. 17 tahun 2023 ;
* Kata stigma dan diskriminasi hilang
* Pasal 77: bahwa fasilitas pelayanan berbasis masyarakat dikembangkan dan diawasi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah
* Hanya memuat istilah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ)
* Bab XV pasal 417: memuat tentang partisipasi masyarakat di bidang kesehatan secara umum tidak spesifik (terkait kesehatan jiwa), hanya terdiri dari 4 ayat tentang penjelasan umum, kordinasi pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta ketentuan lebih lanjut diatur dengan peraturan pemerintah.
Sedangkan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
* Pasal 6 s/d 16: Detail mengenai upaya promotif dan preventif, didalamnya memuat kata stigma dan diskriminasi
* Pasal 55: Detail mengenai Fasilitas Pelayanan di Luar Sektor Kesehatan dan Fasilitas Pelayanan Berbasis Masyarakat
*Membedakan istilah antara Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) beserta hak-haknya
* Pasal 85: detail mengenai peran serta masyarakat penanganan kesehatan jiwa.
Stigma, Diskriminasi, Pemasungan
Dihapusnya kata terkait stigma dan diskriminasi dalam upaya penanganan kesehatan jiwa menjadi tantangan. Meskipun sudah ada Undang-undang Kesehatan Jiwa sejak 2014, difabel mental masih mendapatkan stigma dan diskriminasi baik itu dari lingkungannya maupun dari penyedia layanan kesehatan itu sendiri.
Masih adanya kepercayaan dan budaya yang melekat di masyarakat yang memberi kesan bahwa gangguan jiwa itu akibat dari gangguan makhluk halus atau perilaku dari pelanggaran pantangan yang dipercaya secara budaya juga memperparah penanganan difabel mental psikososial. Termasuk masih adanya praktik pemasungan.
Bahasa Menunjukan Martabat Bangsa
Jati diri atau yang lazim juga disebut identitas, merupakan ciri khas yang menandai seseorang, sekelompok orang, atau suatu bangsa. Jika ciri khas itu menjadi milik bersama suatu bangsa, hal itu tentu menjadi penanda jati diri bangsa tersebut. Seperti halnya bangsa lain, bangsa Indonesia juga memiliki jati diri yang membedakannya dari bangsa yang lain di dunia. Jati diri itu sekaligus juga menunjukkan keberadaan bangsa Indonesia di antara bangsa lain. Salah satu simbol jati diri bangsa Indonesia itu adalah bahasa, dalam hal ini tentu bahasa Indonesia. Sejalan dengan semboyan yang selama ini kita kenal, yaitu “bahasa menunjukkan bangsa”.
Penulis pikir, pemilihan bahasa dalam kertas kebijakan yang berwujud Undang-undang ini perlu dicermati sebab jangan-jangan selama ini pemangku kebijakan belum sepenuhnya memiliki keberpihakan kepada difabel. Sebab dari pemilihan bahasa saja mereka sudah salah kaprah. Lalu apa yang harus kita lakukan untuk membenarkannya? Bisa dengan cara terus-menerus menggunakan bahasa advokasi yang afirmatif yang bernada positif yang tidak melulu melihat diri disabilitas dalam aspek kesehatan dan impairment saja tetapi aspek sosial, ekonomi, mata pencaharian atau penghidupan dan potensi pemberdayaan.
Alih-alih media sebagai penyambung lidah masyarakat, mestinya tidak ikut tergelincir dengan menggunakan pilihan kata yang “tidak membangun” yakni Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), seperti media online solidernews.com. Secara riil dan hasil pekerjaannya bisa dinikmati oleh masyarakat bahwa selama ini Solider jelas memiliki keberpihakan pada penyandang disabilitas mental atau difabel mental psikososial atau Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP).[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan Arief