Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Stigmatisasi dan Nomor Regristasi Bunuh Diri Menyakiti Pelaku dan Penyintas

Views: 10

Disclaimertulisan berikut tidak dimaksudkan untuk menginspirasi siapa pun melakukan tindakan serupa. Jika merasa depresi dan mulai berpikir untuk bunuh diri, segeralah berkonsultasi kepada profesional (psikolog atau psikiater). Meminta pertolongan, bukan berarti memiliki kelemahan.

Solidernews.com, Yogyakarta – Istilah bunuh diri, merupakan sesuatu yang tidak asing didengar. Dalam bukunya, Hawton dan Heeringen (2009), mendefinisikan bunuh diri sebagai suatu tindakan yang dilakukan sengaja oleh seseorang, untuk menyebabkan kematian pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, satu tindakan pembunuhan diri sendiri.

Ada pun, penyebab bunuh diri tidak dapat dikaitkan dengan satu faktor tunggal saja. Melainkan satu hal kompleks yang terjadi karena adanya berbagai masalah, yang berdampak pada psikologis seseorang. Kondisi ini menjadi pemicu munculnya keinginan untuk mengakhiri hidup.

Di Indonesia, meski bunuh diri bukan suatu hal baru, namun perilaku bunuh diri sering dianggap tabu untuk dibahas. Tak jarang stigma negatif dilekatkan pada perilaku bunuh diri. Rasa malu dan takut mendapat stigma negatif, berdampak pada seseorang cenderun melakukan bunuh diri.

Kasus lain, tak jarang seseorang menyembunyikan kondisi kejiwaan mereka, tekanan mental yang dihadapi. Mereka menghindari menympaikannya kepada orang lain. Menolak meminta pertolongan profesional. Hanya beberapa dari orang yang memiliki kecenderungan bunuh diri, yang berhasil dan berani mencari bantuan profesional.

Akibatnya, sering terjadi bunuh diri yang dianggap lingkungan sebagai suatu hal yang tidak terduga. Ironisnya, para korban mendapatkan pandangan negatif dari masyarakat. Mereka dihakimi atas tindakan tersebut, meski para korban sudah tidak ada (meninggal).

Stigma bahwa bunuh diri adalah aib dan dosa besar, kerap kali dilekatkan. Hal tersebut semakin membuat psikologis penyintas atau keluarga korban tertekan. Akibatnya, mereka ragu mencari pertolongan. Lalu diam dalam kesedihan.

Tersebut di atas mengemuka dari Salwa Paramitha, alumni Universitas Gadjah Mada, yang seorang penyintas bunuh diri. Sisi lain, lanjut dia, pikiran mengakhiri hidup atau bunuh diri, sering dipandang remeh masyarakat. Distigma mengambil tindakan yang memalukan dan. Stigma ini membuat tekanan psikologis semakin besar. Lalu, penyintas ragu mencari pertolongan. Diam dalam kesedihan dan takut akan penghukuman sosial.

Salwa menyayangkan, adanya stigma negatif yang terus saja dilekatkan kepada para pelaku dan penyintas bunuh diri. Menurut dia, stigma tersebut sudah tersistem di masyarakat.

“Sayang, stigma tersebut tersistem di lingkungan. Mulai dari masyarakat, hingga pemerintah. Bahkan, media massa, justru melanggengkan stigma tersebut melalui produksi pemberitaan,” ujarnya pada webinar yang dihelat Perhimpunan Jiwa Sehat, Senin (28/10/2024).

 

Mengubah cara pandang

Lantas, bagaimana dengan mereka yang selamat dari bunuh diri (penyintas)? Para penyintas bunuh diri masih harus mengatasi masalah psikologis mereka, sekaligus menghadapi stigmatisasi oleh masyarakat.

Dalam penelitiannya, Hanschmid menyatakan bahwa psikologis para penyintas bunuh diri, akan semakin berat karena stigmatisasi lingkungan. Stima tersebut akan sangat merugikan para penyintas bunuh diri. Di antaranya, (1) penyintas merasa terisolasi dari lingkungan sekitar; (2) merasa semakin malu akibat penghakiman dari lingkungan.

Selain itu, stigma tersebut juga membuat penyintas tidak mendapatkan dukungan sosial yang seharusnya mereka dapatkan. Kondisi tersebut berakibat pada proses penyelesaian masalah psikologis semakin lambat. Semakin banyak beban psikologis yang dirasakan. Tak jarang, timbul keinginan untuk melakukan bunuh diri lagi.

Perubahan cara pandang dan membangun kesadaran positif masyarakat terhadap pelaku dan penyintas dibutuhkan. Saatnya menghapus stigma negatif terhadap para penyintas bunuh diri, maupun korban bunuh diri itu sendiri.

Masyarakat perlu menunjukkan empati kepada para penyintas bunuh diri, maupun yang memiliki kecenderungan bunuh diri. Tidak menghakimi mereka dengan asumsi negatif, serta tidak merendahkan.

 

Polemik Regristasi Bunuh Diri

Keberadaan nomor regristasi bunuh diri, sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah, signifikan berdampak negatif bagi individu, keluarga dan masyarakat. Yakni, akan memperkuat stigma terhadap orang yang meninggal karena bunuh diri. Demikian juga dengan keluarga yang ditinggalkan.

Nomor registrasi tersebut dapat menimbulkan kesan bahwa, bunuh diri merupakan tindakan yang harus dikategorikan, sehingga diberi label khusus.

Bagi keluarga korban, nomor regristasi dapat menyakitkan dan memalukan. Karenanya, mereka lagi-lagi harus menghadapi stigma tambahan. Situasi tersebut akan memperberat duka. Sekaligus mendorong keluarga menutup diri dari akses dukungan emopsional dan psikologis yang sesungguhnya dibutuhkan.

Menurut Salwa Paramitha, Secara sosial keberadaan nomor regristasi bunuh diri, berisiko menghalangi orang yang mengalami putus asa. Mereka tidak berpikir untuk mencari pertolongan.

“Nomor regristasi akan memperburuk situasi. Pendekatan manusiawi berbasis dukungan kesehatan mental yang inklusif, jauh lebih efektif dalam penanganan risiko bunuh diri. Sedang sistem regristasi, dapat melahirkan stigma. Serta, menyulitkan penyintas, demikian pula keluarga,” tegas Salwa.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content