Views: 34
Solidernews.com. MESIN tangga angkut (stairlift) yang terpasang jelang kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto pada 29 Mei 2025, sempat menuai pro dan kontra.
Sebagaimana telah dilansir di laman bitvonline.com, pasca kujungan itu, Direktur PT Aviasi Pariwisata Indonesia (InJourney), Maya Watono, menyampaikan bahwa stairlift akan tetap terpasang setidaknya selama satu minggu setelah kunjungan kenegaraan, dan dapat digunakan oleh bhikkhu maupun pengunjung yang memiliki hambatan fisik.
Namun, berdasarkan pantauan Kompas.com pada Sabtu (31/5/2025), kondisi lapangan menunjukkan fakta berbeda. Pintu selatan Candi Borobudur ditutup rapat, dibatasi pagar setinggi dua meter dengan terpal putih, serta dijaga ketat oleh petugas keamanan. Tidak ada akses maupun visual langsung ke area stairlift, yang bertolak belakang dengan klaim bahwa fasilitas itu bisa digunakan oleh publik pasca kunjungan.
Direktur Sasana Inklusi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, Joni Yulianto memandang penting awak media mengawal dan memastikan keberfungsian stairlift tersebut. Pasalnya, ketika stairlift dipasang di kompleks Candi Borobudur, situs warisan dunia yang menjulang agung di Magelang, banyak yang menyambutnya sebagai angin segar bagi aksesibilitas. Terutama bagi penyandang disabilitas (difabel). Namun, semua berubah ketika kabar beredar bahwa alat bantu akses itu hanya digunakan oleh Presiden Prabowo Subianto saat kunjungan resminya, sementara publik difabel belum dapat menggunakannya secara umum.
Alasan simbolik
Kabar ini menyulut kritik luas. Warganet mempertanyakan: jika stairlift itu memang untuk membantu kelompok rentan, mengapa justru difabel belum diberi akses penuh, dan yang pertama mencobanya justru seorang pejabat negara? Seolah-olah difabel hanya jadi alasan simbolik untuk proyek, tapi tidak menjadi prioritas penerima manfaat.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Balai Konservasi Borobudur (BKB) menyatakan bahwa stairlift tersebut masih dalam fase uji coba dan pengembangan, dan belum dibuka untuk umum karena alasan keamanan dan teknis. Pihaknya juga mengklaim bahwa penggunaan oleh Presiden adalah bagian dari peresmian dan inspeksi teknologi yang akan dilanjutkan dengan studi dampak.
Namun, bagi sebagian pengamat, narasi itu tak cukup menjawab pertanyaan mendasar: Mengapa akses itu terlihat eksklusif hanya saat momen kunjungan pejabat?
Stairlift pada dasarnya bukan penemuan baru. Yang dituntut komunitas difabel bukan sekadar alat, tetapi akses nyata dan inklusif yang tidak bersyarat, tidak bersifat selektif, dan tidak politis.
Menurut beberapa organisasi difabel, hingga kini belum ada mekanisme yang memungkinkan pengguna kursi roda naik ke stupa bagian atas dengan cara yang aman, terjadwal, dan bermartabat.
“Kalau presiden bisa naik, artinya alat itu layak. Tapi kalau difabel belum bisa menggunakannya, artinya niatnya belum selesai,” ungkap Akbar seorang pria buta (blind men).
Eksklusif di antara inklusivitas
Stairlift kini menjadi simbol dualitas. Di satu sisi menjanjikan inklusi, tapi di sisi lain mencerminkan eksklusivitas. Alat yang seharusnya membuka jalan akses, justru terasa sebagai penanda batas siapa yang boleh naik dan siapa yang hanya boleh menonton.
Para aktivis menyuarakan agar kebijakan aksesibilitas tidak berhenti sebagai proyek infrastruktur, tapi menyentuh sisi hak, partisipasi, dan keadilan.
Saat ini, pertanyaan besarnya bukan hanya soal siapa yang pertama menggunakan stairlift, tapi siapa yang akan benar-benar mendapat manfaat jangka panjang darinya. Jika akses difabel hanya muncul saat kampanye, kunjungan negara, atau peresmian, maka misi kesetaraan belum benar-benar dimulai.
Seperti halnya candi Borobudur yang dibangun dari batu demi batu, inklusivitas pun dibangun dari tindakan nyata, bukan seremoni sesaat.
Jika tangga itu disebut sebagai lambang kemajuan, maka siapa pun tanpa kecuali difabel, berhak menaikinya. Jika tidak, stairlift akan tetap jadi simbol: bukan tentang akses, tapi tentang siapa yang duduk di kursi kekuasaan.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan