Views: 5
Solidernews.com – Zaman digital seperti saat ini, tatanan kehidupan sosial masyarakat yang modern, dan semua serba berbau teknologi, sudah barang tentu ini memberikan berbagai kemudahan. Perkerjaan jadi lebih cepat, sumber informasi berlimpah, dan tiadanya jarak yang membatasi komunikasi tentu menjadi hal yang kini kita rasakan dalam keseharian. Namun, tentunya ada pencapaian, ada juga sisi lain yang masih belum merasakan kemajuan ini secara maksimal. Mereka adalah difabel yang terus memperjuangkan hak dan martabatnya.
Meski berbagai persoalan sosial, ekonomi, politik, kesejahteraan, hukum, dan akses pendidikan bagi difabel masih dihantam berbagai permasalahan, tentunya itu tidak boleh menjadi alasan patah semangat. Selain itu, meski wacana pendidikan inklusif terus disempurnakan, kesemuanya itu nyatanya masih meninggalkan jejak masalah yang seolah tiada selesai. Begitu pun sosial masyarakat yang inklusif, meski masih sulit terbentuk, hal itu harus terus kita perjuangkan walau tidak mudah.
Mengenal Lebih Dekat Sosok Sofyan Sukmana, S.Pd
Sofyan Sukmana lahir di Jakarta pada 21 Juli 1989. Ia terlahir sebagai anak sehat, tanpa adanya kendala atau keterbatasan fisik. Selayaknya anak lain, Sofyan berkembang dengan berbagai keasyikan di masa kecilnya. Keceriaan itu menjadi anugerah tak terhitung dari Tuhan. Namun, takdir berkata lain. Tepat menginjak Usia 15 tahun di 2004, Sofyan mengalami penurunan penglihatan, akibat penyakit tumor saraf di matanya.
“Jadi, Tumornya itu menekan saraf mata saya, mas. Karena terus ditekan, maka saraf pun memucat yang menyebabkan penglihatan saya terus berkurang,” ujar Sofyan saat diwawancara via daring pada 27/05/2024.
Dalam proseswawancara, Sofyan menceritakan pengalamannya saat mengalami penurunan penglihatan. Karena Sofyan merasakan drastisnya penglihatan yang ia miliki, ia mengalami mental drop yang luar biasa. Dari yang sebelumnya memiliki penglihatan normal, waktu itu ia dihadapkan pada kenyataan kalau pandangannya kian menurun akibat penyakit yang ia idap. Belum lagi di masanya, ia cukup kesulitan mencari sekolah. Karena pada saat itu, sekolah inklusi sangat jarang ditemui. Berbeda dengan zaman sekarang yang sudah lebih baik.
“Waktu itu ada yang bilang ke saya, kalau difabel netra itu ndak bisa apa-apa. Jadi, mending di rumah saja. Mendengar ujaran seperti itu, tentunya saya yang baru awal mengalami ketunanetraan jelas sakit hati, mas,” Tutur Sofyan.
Tidak hanya soal akses sekolah yang sulit dan cobaan mengalami kehilangan penglihatan, waktu itu Sofyan di fase awal menjadi difabel netra, juga mengalami cibiran dan stigma buruk dari orang sekitarnya. Mulai yang merendahkan, menyudutkan, dan juga ada yang menjatuhkan mental dengan ungkapan-ungkapan yang menyakiti hatinya. Namun semua itu dapat terobati berkat dukungan dan afirmasi positif dari keluarga, sahabat, dan dirinya yang ingin bangkit akhirnya menuntunya pada indahnya cahaya ilmu.
Menjadi Difabel netra dengan Skill Baru, tapi tantangan baru Juga setia menunggu
Sofyan dalam ceritanya, ia mengisahkan betapa cobaan dan tantangan di masa awal difabel netra itu ia lalui dengan berat. Struggle yang ia alami tidaklah mudah. Waktu itu di tempatnya tinggal, profesi seorang difabel netra dikenal sebagai tukang urut dan penjual kerupuk. Mengetahui hal itu, hati kecil Sofyan memberontak. Ia ingin menggeluti profesi selain yang menjadi stigma masyarakat.
“Bukan artinya profesi tukang urut dan penjual kerupuk itu buruk, ya mas. Melainkan kondisi saya waktu itu bertubuh kecil dan tenaga yang saya meliki tidaklah besar. Jadi, saya terus berusaha mencari informasi, dan akhirnya kenal dengan Yayasan Mitra Netra Jakarta, yang membuka mata saya tentang difabel netra dari sudut lain,” Kata Sofyan.
Saat mengenal Yayasan Mitra Netra pada 2006, Sofyan bagai menemukan oasis di padang pasir yang gersang. Semua jawaban atas permasalahannya terjawab sudah. Mitra Netra mengenalkan dan menyadarkan Sofyan, bahwasannya difabel netra bisa menggunakan komputer, berkerja di kantor, melanjutkan sekolah, dan menempuh pendidikan tinggi di universitas. Sungguh bahagia sekali Sofyan waktu itu. Maka ia segera mengikuti kelas yang dibuka oleh yayasan Mitra Netra, yaitu kursus komputer bicara, kursus bahasa asing, dan lain-lain.
Namun, kebahagiaan Sofyan tidak berlangsung lama. Tepat di tahun 2007 ayahnya meninggal dunia karena penyakit kanker lever. Pada waktu itu Sofyan terpuruk lagi. Ia merasa tuhan tidak adil. Mengapa cobaan seolah tiada henti menghajar dirinya. Selang beberapa waktu berjalan, Sofyan akhirnya mencoba bangkit lagi. Ia berpikir kalau keterpurukan ini tidak bisa terusmenerus ia peluk. Akhirnya untuk langkah awal, Sofyan kembali menyemangati diri untuk kembali belajar tekun di Mitra Netra.
Meski berasal dari keluarga dengan ekonomi menengah, yang hanya cukup untuk membiayai sekolah Sofyan dan adiknya, hal itu tidak membuatnya patah arang. Sembari kursus komputer, mengikuti kelas bahasa asing, dan keterampilan lain, Sofyan juga memiliki usaha sampingan. Ia waktu itu menjual Pulsa dan radio player yang berisi audio book untuk difabel netra, yang hal itu ia lakoni untuk meringankan beban ibunya. Dengan hasil jualan itu juga akhirnya ia dapat meminang laptop pertamanya. Selain itu, kursus lain juga ia ikuti seperti yang dibuat oleh KEMINFO, untuk meningkatkan skill komputernya.
Dengan bekal ilmu dan keahlian di atas, akhirnya Sofyan melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah di S1 Bimbingan dan Konseling di Universitas IndraPrasta dan lulus di 2015. Selain itu, ia juga menjadi guru privat les komputer bicara di tahun 2012, membantu difabel netra untuk mengakses informasi dan berkomunikasi dengan dunia digital. Ia juga pernah bekerja di perusahaan BUMN, PT. PELNI (Pelayaran Nasional Indonesia) sebagai Call Center (2013-2015) dan PT. CIMB Niaga TBK sebagai Tele Marketing Officer (2016-2017).
Bimbingan Belajar Lentera Inklusif, Puncak Pengabdian Sofyan Sukmana untuk Indonesia
Pada sesi akhir wawancara, Sofyan menceritakan bahwa pada 2018 ia mendirikan BIMBEL Lentera Inklusif, sebuah Lembaga kursus informal yang menyediakan program belajar ramah bagi difabel mau pun nondifabel di seluruh Indonesia. Lembaga ini bergerak pada kursus komputer tingkat advance, kursus bahasa asing, dan bimbel untuk murid nondifabel. Selain itu, Bimbingan Belajar Lentera Inklusif telah berhasil memberdayakan 5 guru difabel tunanetra dan 4 guru nondifabel, dan telah mendapatkan 3 penghargaan bergengsi dari PT. Permata Bank, PT. Astra Internasional, dan MayBank Foundation.
“Lembaga yang saya bangun memang mulanya baru murid difabel netra. Namun, seiring perkembangan dan program yang bertambah, akhirnya BIMBEL Lentera Inklusif ini berdiri sesuai namanya yaitu mengusung nilai inklusif. Karena yang belajar itu tidak hanya difabel, melainkan siswa non-difabel juga ikut belajar di sini,” jelas Sofyan pada 27/05/2024.
Karena permintaan BIMBEL semakin tinggi, khususnya orang tua di sekitar BIMBEL Lentera Inklusif ingin menitipkan anaknya yang non-difabel, Sofyan pun memperluas pelayanan dengan menyediakan wadah untuk permintaan tersebut. Ia melakukan kerja sama dengan kawannya yang memiliki profesi sebagai tenaga ajar dan tentunya berkompeten untuk membantunya di lini pengajaran siswa nondifabel.
Sofyan menambahkan kalau memang BIMBEL Lentera Inklusif itu berbayar. Namun, bagi siswa yang kurang mampu, Sofyan selaku CEO dari lembaga ini memberikan solusi beasiswa yang ia jalankan secara kerja sama dengan Lions Club Jakarta Monas dalam memberikan beasiswa bagi murid ajar yang kurang mampu. Seiring berkembangnya BIMBEL ini, akhirnya beasiswa dapat diperluas dengan adanya sponsor yang kini bertambah, seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) ikut turut membantu meningkatkan BIMBEL Lentera Inklusif untuk memberikan pendidikan inklusif bagi seluruh anak Indonesia, khususnya para difabel.[]
Reporter: Wachid
Editor : Ajiwan