Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Sebuah foto yang belatarkan sebuah ruangan dengan rak-rak buku. Di sebelah kiri ada perempuan berkerudung (Siti Atmamiah) dan di sebelah kanan ada pria (Irwan Dwi Kustanto) yang menggunakan baju polo abu-abu. Mereka berdua adalah sepasang suami dan istri.

Siti Atmamiah dan Suami Difabel Netra: Mempererat Kasih Keluarga Dengan Bait-Bait Puisi

Views: 20

Solidernews.com – Dalam sebuah keluarga tentunya akan banyak hal yang  dilalui. Saling mengisi, mendukung, dan berbagi kehangatan antar anggota keluarga, menjadi beberapa hal yang umum  terjadi. Lebih dari itu, ada beberapa anggota keluarga yang memiliki cara unik dalam berinteraksi. Seperti keluarga Siti Atmamiah yang bersuamikan difabel netra dan memiliki anak nondifabel.

Siti Atmamiah, yang juga akrab dipanggil Mamik, memaknai keluarganya sebagai tempat terindah dalam perjalanan hidupnya. Ia dan suami memiliki ikatan batin yang begitu kuat. Keluarganya dihangatkan oleh sajak-sajak puisi yang telah dibukukan dengan judul “Angin Pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta.”

Saat berjumpa dengan solidernews, pada 21 Mei 2025 di Kopi Egalita, Siti Atmamiah yang merupakan istri dari Irwan Dwi Kustanto, seorang penyair, aktifis difabel, sekaligus seorang penulis, banyak bercerita tentang pernikahan, keluarga, dan hubungan romantikanya dengan sang suami. Menjadi istri sekaligus seorang pendamping dari suami difabel netra, justru memberinya banyak arti dalam menjalani kehidupan.

“Saya dan Irwan itu banyak berdialog lewat puisi. Rasa rindu sebab jarak yang membentang, keluarga, dan masih banyak lagi, sering kami tuangkan dalam sajak-sajak puisi yang saling kami kirim antar satu dengan yang lainnya. Di mana puisi ini menjadi jembatan untuk memaknai hidup dengan lebih bijaksana,” ujar Mamik.

 

Menggemari Sastra Puisi Hingga Menjumpai Pujaan Hati

Puisi menjadi sastra yang banyak digandrungi muda mudi. Bahasa puitikanya mampu memberi ribuan penafsiran. Kedalaman, keindahan, dan proses pemaknaan yang sahdu, menjadi beberapa hal mengapa Mamik menggemari puisi. Sudah sejak SMP Perempuan tangguh ini menggeluti bait-bait puisi. Bahkan Mamik juga menulis puisi untuk beberapa majalah.

Kebiasaan membaca karya puisi pun sampai di bangku kuliah. Saat itu Mamik juga memiliki kegiatan sebagai relawan baca bagi beberapa difabel netra di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satu rekan yang dibacakan buku adalah Irwan Dwi Kustanto. Mulai dari yang berat hingga yang bernuansa sastra. Dari sini hobi membaca Mamik makin tersalurkan dengan positif, sembari membantu difabel netra memahami isi buku.

“Saya dulu semasa kuliah sering menjadi relawan baca untuk teman-teman tunanetra di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Salah satunya ya Irwan,” ungkap Mamik.

Senada dengan penjelasan Mamik, Irwan Dwi Kustanto, difabel netra yang menggemari puisi, hingga memiliki beberapa buku, yang juga duduk bersama solidernews, pada 21 Mei 2025, menjelaskan bahwa dahulu ia kerap sekali dibacakan buku oleh Mamik. Irwan tidak serta-merta dibacakan lalu diam saja. Ia akan menjelaskan secara ringkas tentang isi buku yang dibacakan. Sehingga aktivitas membaca buku itu menjadi simbiosis mutualisme.

“Setelah saya dibacakan buku, maka saya akan kembali menjelaskan secara ringkas isi buku yang dibacakan. Sehingga kami saling bertukar peran. Relawan yang membacakan pun tinggal terima jadi dalam bentuk penjelasan ringkas dan padat,” jelas Irwan.

Dari aktivitas di atas siapa sangka, menjadi sebuah perjalanan hidup yang lebih bermakna. Dari momen kebersamaan itu, akhirnya Mamik makin dekat dengan Irwan. Sekian waktu kemudian, akhirnya Irwan menyatakan perasaanya melalui bait-bait puisi. Sejak saat itu, hubungan berlanjut hingga mahligai pernikahan dapat terlaksana.

“Saya begitu salut dengan semangat Irwan. Daya analisisnya terhadap buku begitu mengagumkan. Selain itu, pikirannya begitu kritis saat mengupas sebuah isu, ilmu, dan berbagai pola pikir. Hal-hal itu kerap saya jadikan tempat untuk konsultasi pribadi,” jelas Mamik sambil terkekeh.

 

Sastra Puisi Sebagai Penghubung Keluarga, Rindu, dan Cinta

Baik Mamik dan Irwan, keduanya memandang puisi adalah sebuah keajaiban semesta. Puisi dapat menjadi obat, penyampai pesan, refleksi, kebahagiaan, dan masih banyak lagi. Mereka berdua telah membuktikan sendiri. Puisi telah menjadi jembatan untuk berbagai hal dalam rumah tangga.

Mamik menjelaskan bahwa rumah tangganya bersama Irwan tidak 100% mulus tanpa cobaan. Ada berbagai halang rintang yang mereka lalui bersama. Mulai fitnah, persoalan keluarga, ekonomi, dan masih banyak lagi. Namun, persoalan tadi mereka leburkan dalam puisi yang membantu mereka menikmati semesta dengan bersahaja.

“Kami pernah berada di ekonomi berkecukupan. Rumah ada, mobil, motor, dan tabungan yang lumayan. Namun, kami juga harus merasakan kembali untuk memulai lagi dari bawah, karena suatu hal. Semua itu kami lalui bersama. Saling menguatkan, memercayai, dan saling memberi ruang,” ungkap Mamik.

Menambah penjelasan Mamik, Irwan juga mengungkapkan bahwa diposisi perjuangan seperti itu, ia dan Mamik kerap mencari kebahagiaan dalam hal-hal kecil. Seperti piknik di pinggir sungai sambil menikmati jagung. Ditemani cahaya matahari sore, sembari membaca atau menulis bait puisi.

“Saya dibonceng Mamik dengan motor sambil membawa tikar kecil, lalu membeli jagung. Setelah itu mencari tempat di pinggir sungai di kampung halaman istri. Kami suka sekali menikmati momen kecil seperti itu. Karena bahagia itu dapat dirasakan dari momen-momen sederhana, untuk sejenak merelaksasi pikiran,” jelasnya.

Bahkan ada momen di mana Mamik dan Irwan harus dipisahkan oleh jarak. Hubungan pernikahan yang harus terhalang oleh jarak dari Tulungagung dan Jakarta. Irwan di Jakarta dan Mamik di rumah, sebab orang tuanya sakit, sehingga Mamik dan anak-anak pulang untuk merawat mereka.

Sepuluh tahun harus mereka lalui dengan hubungan jarak jauh. Hanya sesekali mereka dapat berjumpa. Saat Irwan memiliki waktu luang dari perkerjaannya di salah satu yayasan di Jakarta. Meski begitu, mereka tetap berkomunikasi baik, dan lagi-lagi puisi menjadi sarana yang juga dilakukan.

“Kami kerap berbalas SMS. Saling mengirim puisi. Saya, Mamik, dan kadang juga puisi dari anak pertama saya. Puisi yang bermuatan rasa rindu, cemburu, kebahagiaan, penguatan, juga doa-doa,” jelas Irwan.

Kumpulan puisi itu akhirnya terbentuk dalam satu karya buku antologi puisi. Buku yang berjudul “Angin Pun Berbisik: Kumpulan Sajak Cinta” menjadi bukti bahwa puisi dapat merekatkan sebuah keluarga. Buku ini ditulis oleh Irwan Dwi Kustanto, Siti Atmamiah, dan Zeffa Yurihana yang diterbitkan 2008. Sebuah karya manis dari keluarga bersahaja.

“Karya saya di buku Angin Pun Berbisik sempat dijadikan kajian skripsi pada 2010. Saya tidak menyangka kalau bait-bait itu layak dijadikan kajian penelitian akademis,” jelas Mamik.

“Puisi di dalam angin pun berbisik, juga dibuat berbagai karya musikalisasi puisi. Buku ini juga pernah dialih bahasakan ke Bahasa Inggris,” imbuh Irwan.[]

 

Reporter: Wachid Hamdan

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content