Views: 29
Solidernews.com – Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia bekerja sama dengan Komisi Yudisial dan Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) menyelenggarakan Diseminasi Hasil Riset Putusan Pengadilan yang berkaitan dengan analisis hakim untuk memutus perkara dengan memahami kerentanan difabel. Kegiatan berlangsung di Loman Park Hotel Yogyakarta pada Senin (27/5). Kegiatan yang didukung oleh AIPJ2 ini dihadiri oleh sejumlah pihak seperti Pengadilan Tinggi Yogyakarta, Pengadilan Agama Yogyakarta, pihak Kepolisian, Kejaksaan Negeri, Komnas Perempuan, Mahkamah Agung, dan sejumlah mitra Sigab Indonesia. Selain itu, dalam diseminasi tersebut, terdapat sejumlah penanggap yaitu YM Jupriyadi, S.H., M. Hum dari Mahkamah Agung, Erni Mustikasari, S.H, M,H dari Kejaksaan Agung, Kombes Pol Rita Wulandari Wibowo dari Bareskrim POLRI, dan Albert Wirya dari LBH Masyarakat.
Joni Yulianto, Direktur Sigab Indonesia mengungkapkan bahwa sesuai dengan Rencana Strategis Sigab tahun 2023-2028, apa yang sudah jadi kerja Sigab dengan mitra terkait dengan upaya mendorong aksesibilitas keadilan dan regulasi yang membangun akses keadilan bagi difabel berhadapan dengan hukum dalam upaya peradilan inklusif tetap jadi prioritas Sigab dengan advokasi dan kebijakan. Sementara itu, riset ini juga jadi salah satu hal strategis dan gagasan bersama untuk bangun peradilan yang fair.
Beberapa tahun terakhir sudah banyak kemajuan seperti lahirnya PP No. 39 tahun 2020, sejumah aturan, pedoman kejaksaan yang patut diapresiasi. Meski begitu, ada pekerjaan rumah besar agar bagaimana mendorong peradilan dan perspektif yang lebih baik dalam memberikan proses peradilan terutama putusan peradilan pada difabel agar tidak melupakan kerentanan pada difabel. Ini yang jadi fokus teman-teman peneliti untuk berproses.
Joni berharap hasil penelitian ini jadi pemantik untuk terus berproses agar keadilan semakin berpihak pada kerentanan terhadap difabel.
“Semoga hasil ini dapat segera dipublikasikan dan dapat dimanfaatkan bersama” ungkapnya.
Sementara itu, Sarli Zulhendra, Divisi Advokasi dan Jaringan Sigab Indonesia mengungkapkan bahwa latar belakang riset ini karena Sigab telah melakukan riset serupa di enam tahun silam. Sigab ingin memperlihatkan potret difabel berhadapan hukum. Termasuk riset putusan di luar DIY bagaimana difabel berhadapan dengan hukum. Saat itu belum lahir PP No. 39 Tahun 2020. Setelah itu, muncul ide riset kedua kali ini yang ingin memotret bagaimana hakim pengadilan memahami kerentanan difabel melalui berkas perkara yang ada. “Riset melihat hakim terkait kerentanan difabel. Apakah hakim sudah paham kerentanan difabel berhadapan dengan hukum. Riset dilakukan pada dua pengadilanm. Satu riset putusan dari Pengadilan Negeri Wonosari Nomor. 148. Dalam hal ini, difabel sebagai korban. Yang kedua di Pengadilan negeri Magetan yang menggunakan dakwaan di UU TPKS. Dua putusan mencerimnkan dua hal yang berbeda, pertama putusan yang cukup baik dan putusan yang dianggap belum cukup baik karena belum mehahami kerentanan difabel.
“Prosesnya dimulai dari desain melibatkan APH, pendamping hukum, dan pendamping difabel, lembaga difabel. Mereka terlibat aktif terkait desain riset putusan. Kami sepakat kami melakukan riset yang prosesnya baik dan belum baik. Proses selanjutnya adalah mengumpulkan data dan penelitian” papar Sarli.
“Dua riset dilakukan dan bergulir sampai hari ini kami lakukan launching. Riset putusan ini tidak ingin menyudutkan salah satu pihak. kami ingin mengevaluasi lembaga pemerhati hukum, termasuk sigab, pengadilan, dan kejaksaan dan lembaga penegak hukum lain. Ini jadi evaluasi bersama. Yang baik dipertahankan, yang buruk ditinggalkan” Pungkas Sarli.
Muhammad Syafi’ie, salah satu pemapar riset putusan yang berasal dari PUSHAM UII mengungkapkan bahwa dalam Putusan Pengadilan Negeri Wonosari yang diteliti ini muncul sebelum UU TPKS disahkan. Kasus yang diteliti adalah kekerasan seksual yang menimpa difabel Tuli yang sekaligus difabel mental. Dalam pembuktian hukum, ada biaya restitusi yang muncul dalam kasus. Hal ini sesuai surat LPSK yang menyatakan barang bukti sample DNA. Dalam hal ini, terdakwa harus membayar biaya perkara sejumlah dua belas juta rupiah yang dibebankan pada tersangka.
Syafi’ie mengungkapkan bahwa penanganan perkara dalam perkara ini sudah relatif penuhi hak korban dan layak jadi contoh putusan yang baik. “Hakim pertimbangkan kerentanan korban yang difabel ganda tuli dan mental. Kasus ini menarik karena ada pendamping hukum dan pendamping difabel. Selain itu, hakim mempertimbangkan visum korban dan pemeriksaan psikologis korban yang menyatakan bahwa korban adalah difabel mental juga mempertimbangkan surat psikologi bahwa korban mengalami kekerasan. Hal ini penting untuk mempertimbangkan kedifabelan yang dialami korban. Jika hal ini tidak dipertimbangkan, pasti dikatakan bahwa hal ini dilakukan suka sama suka.
“Hakim memutuskan hukuman pelaku 10 tahun dan membayar restitusi. Namun Syafi’ie juga memaparkan bahwa putusan ini mengalami kelemahan. Ia mengungkapkan bahwa dalam proses peradilan tidak terungkapnya adanya Juru Bahasa Isyarat dan pendampng hukum yang memahami difabilitas. “hal ini tidak terlihat pentingnya akomodasi yang layak apakah dipenuhi atau tidak” pungkasnya.[]
Reporter: Sri H
Editor : Ajiwan