Views: 16
Bengkulu, 14 April 2025 — SIGAB Indonesia bersama Perkumpulan Mitra Masyarakat Inklusif (PMMI) Bengkulu menerima kunjungan monitoring bersama dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Department of Foreign Affairs and Trade (DFAT) Australia. Kegiatan ini berlangsung di Balai Kelurahan Sawah Lebar, Kota Bengkulu, sebagai bagian dari pelaksanaan program SOLIDER yang diimplementasikan oleh PMMI di wilayah Provinsi Bengkulu.
Hadir dalam kunjungan tersebut Elena Martin Avila, First Secretary GEDSI Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia, RR Rita Erawati, Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga (KPAPO), BAPPENAS, Kate Shanahan, Team Leader Program INKLUSI, dan Dedy Wahyudi Wali Kota Bengkulu.
Program SOLIDER (Strengthening Social Inclusion for Diffability Equity and Rights – Memperkuat Inklusi Sosial untuk Kesetaraan dan Hak-Hak Difabel) berfokus pada penguatan kelompok difabel di tingkat desa dan kelurahan, pendampingan pembentukan desa dan kelurahan inklusif, penguatan Unit Layanan Disabilitas (ULD) bidang ketenagakerjaan, serta dukungan dan advokasi bersama untuk mewujudkan ekosistem yang mendukung terwujudnya pembangunan yang inklusif difabel.
Melalui dukungan INKLUSI atau Kemitraan Australia dan Indonesia Menuju Masyarakat yang Inklusif, SIGAB Indonesia mengimplementasikan program SOLIDER di enam provinsi, yakni D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), Kalimantan Timur, Jawa Barat, dan Bengkulu.
Melalui kemitraan antara SIGAB dan PMMI yang dimulai sejak Maret 2024. Program ini mendukung penguatan inklusi difabel di enam wilayah dampingan, yaitu Desa Kampung Delima, Lubuk Ubar, dan Rimborecap (Kabupaten Rejang Lebong), serta Kelurahan Sawah Lebar, Kebun Roos, dan Anggut Atas (Kota Bengkulu).
Pada tahun pertama implementasi, program berfokus pada:
- Pembentukan pilot Desa dan Kelurahan Inklusif
- Pembentukan dan pendampingan Kelompok Difabel Desa (KDD) dan Kelompok Difabel Kelurahan (KDK)
- Penguatan Unit Layanan Disabilitas (ULD) di bidang ketenagakerjaan
- Advokasi kebijakan inklusif di tingkat kabupaten dan kota
Dalam sambutannya, Irna Riza Yuliastuti, Ketua PMMI sekaligus Manajer Program SOLIDER, menyampaikan harapan agar monitoring bersama ini semakin memperkuat kemitraan antara organisasi difabel dan pemerintah daerah. “Dengan sinergi yang kuat, pembangunan inklusif difabel di Bengkulu dapat lebih cepat terwujud,” ujarnya.
Joni Yulianto, Direktur SIGAB Indonesia, mengapresiasi capaian awal PMMI yang telah berhasil mendorong keterlibatan difabel secara lebih aktif dalam pembangunan. “KDD dan KDK kini menjadi jembatan penting untuk membuka akses terhadap layanan dasar seperti identitas kependudukan, pendidikan, dan kesehatan. Forum organisasi difabel yang terbentuk di tingkat kota dan kabupaten juga telah mulai menyuarakan kepentingan difabel dalam forum pengambilan keputusan,” terang Joni.
Elena Martin Avila dari DFAT menekankan bahwa kerja sama Australia–Indonesia sangat menaruh perhatian pada isu inklusi kelompok rentan, khususnya difabel. Ia menyampaikan bahwa hasil yang telah dicapai selama setahun ini perlu terus diperkuat ke depan melalui dukungan berkelanjutan dari semua pihak.
Sementara itu, RR Rita Erawati menekankan pentingnya mendengar pengalaman dan pembelajaran dari semua pihak dalam kolaborasi yang telah terbangun. “Dari proses monitoring ini, kita dapat menemukan hal-hal yang bisa ditingkatkan, serta area yang memerlukan dukungan dan penguatan dari pemerintah pusat,” ungkapnya.
Kegiatan monitoring juga diwarnai testimoni inspiratif dari Resmana, Ketua KDD Kampung Delima. “Sebelum ada KDD, kami merasa sendiri. Sekarang kami memiliki wadah untuk saling menguatkan dan menyampaikan usulan kepada pemerintah desa. Kami berharap KDD bisa terus didukung dan direplikasi ke desa-desa lainnya,” tuturnya.
Dedy Wahyudi, Wali Kota Bengkulu yang turut hadir membuka pertemuan ini menyampaikan komitmennya untuk terus membenahi sistem pemerintahan yang inklusif terhadap hak-hak difabel. “Hak untuk sekolah, bekerja, dan mendapatkan layanan kesehatan adalah hak setiap warga negara, termasuk saudara-saudara kita difabel,” tegasnya.
Dalam sesi diskusi, berbagai OPD dan kepala desa/lurah menyatakan bahwa kehadiran KDD dan KDK membuka mata banyak pihak tentang pentingnya inklusi. Mereka juga menyampaikan bahwa isu disabilitas kini mulai dipahami sebagai tanggung jawab lintas sektor, dari perencanaan hingga monitoring pembangunan.
Kate Shanahan menutup diskusi dengan refleksi bahwa capaian awal menunjukkan bahwa pendekatan program sudah sesuai konteks. “Tantangannya kini adalah memperluas dampak hingga ke tingkat sistemik,” ujarnya.
Menanggapi itu, Joni dari SIGAB menambahkan pentingnya mekanisme kolaborasi lintas sektor dan focal point di tiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD). “Focal point yang dipimpin oleh BAPPEDA akan sangat strategis dalam memastikan inklusi difabel hadir dalam seluruh proses pembangunan daerah.”
Sebagai penutup, Rita Erawati menegaskan bahwa pembangunan inklusif difabel telah menjadi bagian dari kerangka kebijakan nasional, termasuk UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, RPJPN, RPJMN, serta Rencana Aksi Nasional dan Daerah Penyandang Disabilitas (RAN PD & RAD PD). “Ini adalah tanggung jawab bersama,” tegasnya.






