Views: 29
Solidernews.com – Apa yang ada di benak kalian terkait hak pendidikan pada anak difabel? Mereka dapat bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB)? Mereka ditolak ketika mendaftar di sekolah reguler? Atau jangan-jangan masih banyak dijumpai anak-anak difabel yang tidak bersekolah dan dikurung di rumah, justru oleh keluarganya sendiri? Indonesia telah memiliki kebijakan Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang penyandang disabilitas. Disebutkan di sana bahwa anak-anak difabel memiliki hak pendidikan dan mereka boleh memilih sekolah yang lokasinya dekat dengan tempat tinggalnya.
Namun apa realitanya? Masih banyak anak-anak difabel yang masih ditolak bersekolah di sekolah reguler dengan banyak alas an. Beberapa alasan di antaranya sekolah mereka belum inklusi, tidak memiliki guru pengajar sebagai guru pendamping khusus, sarana dan pra sarana yang belum aksesibel serta puluhan alasan lainnya.
Baru-baru ini Komisi Nasional Disabilitas (KND) mengeluarkan kebijakan berupa adanya unit pengaduan khusus karena tingginya kesenjangan akses pendidikan bagi anak difabel. Sebuah layanan pengaduan khusus pada masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Pengaduan dilakukan Ketika ada kasus mendaftar terlambat dan tidak bisa akses. Beberap orangtua anak difabel alami kesulitan saat mendaftarkan anaknya ke sekolah. Tak ajarang, persyaratan PPDB harus ada rekomendasi.
Di unit ini terdapat kontak yang bisa dihubungi . dalam hal ini, KND berkolaborasi dengan Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman dan Kementerian Pendidikan. Demikian penjelasan Eka Prastama Widiyanta, komisioner KND pada siaran Pro 3 RR Jakarta, Minggu (2/6).
Eka menambahkan bahwa ada Permendikbud 01 tahun 2021 untuk mempertegas bahwa setiap anak dengan disabilitas memiliki hak pendidikan dan bisa bersekolah di mana mereka kehendaki. Mereka bisa mengakses dengan afirmasi tetapi di daerah masih banyak dijumpai mereka tidak bisa mengakses. Terutama ketika terbentur kebutuhan surat rekomendasi dari psikolog.
Unit ini bisa melayani baik ke SMP, dan juga SMA bagi yang menbutuhkan informasi untuk rekomendasi. Rekomendasi tergantung daerah masing-masing. Ada dari dinas, dan SLB . Di SMA ketentuannya harus ada rekomendasi yang ditunjuk oleh Dinas provinsi. Lalu bagaimana mereka bisa mengakses jika rumah di gunung? Itu adalah persoalan tersendiri.
Lantas apa yang bisa dilakukan oleh lembaga semacam Ombudsman? Siti Farida, ketua perwakilan Ombudsman Jawa Tengah mengatakan. selama ini sudah melakukan afirmasi dan advokasi pada difabel. Ia tuturkan bahwa problem yang dihadapi saat ini adalah sisi implementasi bagaimana penyelenggara pelayanan yakni jajaran sekolah dan dinas didorong agar layanan bukan pelayanan standar tapi pelayanan khusus. Di situ ada empati, afirmasi dan harusnya ada percepatan. Karena selama ini ada kesenjangan informasi bahkan sumbatan- sumbatan. Maka Ombudsman Jateng membangun jalur komitmen sehingga ada percepatan dan pelayanan yang lebih baik.
Merespons aduan yang masuk, Ombudsman lambat dalam respon. Mereka harus dapat merespons dan bahkan dapat memberikan solusi. Hal-hal yang sifatnya normal dikesampingkan karena mereka biasanya prosedural. Siti Farida mencontohkan Kota Semarang jauh hari sudah menunjuk mana-mana psikolog sebagai pemberi rekomendasi dengan memberi assesmen. Sebab jika mepet tenggat waktunya akan berisiko menimbulkan masalah. “Pikiran kami kedepankan win win solution. Kalau pemda responsif berarti mereka bisa mengurai. Sudah ada kesetaraan tapi di lapangan masih ada petugas yang punya pola pikir begini “harusnya bersekolah di SLB” ini PR kami,”jelas Siti.
Lalu ada pertanyaan bagaimana layanannya jika orangtua anaknya ditolak. Banyak informasi orangtua tidak tahu mereka harus ke mana.
Menurut Eka Prastama jika ada sekolah yang menolak itu bentuk diskriminasi. Langkah yang dilakukan adalah koordinasi untuk memastikan akses pendidikan. Banyak kasus di beberapa daerah terjadi penolakan seperti ini dan itu biasanya di hari-hari terakhir, jadi KND dan lembaga yang berkolaborasi harus responsif menindaklanjuti.
Jika ada yang mendaftar harusnya siswa difabel tersebut diterima dulu. Lalu baru dilihat dan dipelajari serta amalkan bagaimana cara melayani.
Penting diperhatikan bahwa informasi PPDB ini harusnya bisa diperoleh orangtua dan semua sekolah harus menerima, meskipun itu urusan dasar daerah.
Ombudsman pun tak kalah program. Mereka memiliki program khusus terkait PPDB bagi anak difabel. Mereka juga berfokus bagaimana komitmen dari pemerintah, ditunjukkan dengan Ombudsman memiliki instrumen penilaian kepatuhan penyelenggara pelayanan publik yang betul-betul menjalani kesetaraan difabel.
Selama ini temuan yang diperoleh Ombudsman Jawa Tengah di lapangan adalah mayoritas penyelenggara layanan belum memahami bahwa kelompok difabel harus mendapat prioritas. Dan karena yang jadi masalah adalah akses, maka Siri Farida berpikiran bagaimana kalau yang mendatangi adalah petugas alias jemput bola. Dulu Dusdikcapil bisa melakukan pendataan anak difabel dan akses KTP. Kenapa dinas pendidikan tidak?
Ombudsman Jawa Tengah memberi contoh sebuah SMA di Semarang sangat baik. Sekolah tersebut menyiapkan sarana dan pra sarana. Jadi di sini muridnya yang menghendaki si murid difabel bisa bersekolah di situ, sehingga siap secara struktural, psikologi dan kultural.
Lalu Apa yang Harus Dilakukan?
Eka Prastama berharap orangtua anak difabel tidak takut melaporkan jika ada yang perlu diadukan. Kedua adalah mengajak pemeerintah daerah agar anak bisa bersekolah di lingkungan terbaik dan yang bisa dijangkau oleh mereka, sehingga mereka menjadi bagian sebagai warga negara yang bisa berkontribusi dan bisa jadi pemimpin.
Sedangkan Ombudsman Jawa Tengah terkait apa yang dilakukan dengan langkah ke depan adalah memperbaiki PPDB anak disabilitas dengan menjangkau lebih luas ke kelompok anak difabel termasuk pemerhati, berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga untuk melakukan skema pengaduan. Target Ombudsman Jawa Tengah adalah penyelesaian dengan cepat sehingga daerah punya indikator yang baik.
Berikut dikutip dari lembar pengumuman yang dikeluarkan oleh KND terkait layanan pengaduan.
Layanan Pengaduan Khusus PPDB Dan Kenaikan Kelas Anak Disabilitas Tahun 2024
“Setidaknya 60 % anak disabilitas usia sekolah tidak/belum bersekolah, Rata-Rata Lama Sekolah anak disabilitas sampai kelas 5 SD, semetara anak non-disabilitas sampai kelas 9 SMP” (Statistik Pendidikan 2022)
Dalam rangka memastikan PPDB 2024 menjamin penerimaan setiap anak disabilitas untuk akses bersekolah yang non-diskriminatif, Komisi Nasional Disabilitas RI (KND) membuka LAYANAN PENGADUAN KHUSUS kepada orangtua anak disabilitas di seluruh Indonesia ketika mengakses semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan.
Jika anak anda mengalami:
* informasi yang tidak jelas dalam mengikuti PPDB (waktu, jalur, syarat, dll)
* Hambatan memenuhi persyaratan PPDB (Asesmen, Surat Rekomendasi, dll)
* Penolakan saat melakukan pendaftaran
* Tidak masuk dalam jalur PPDB
* Tidak naik kelas
* Diminta pindah sekolah karena alasan apapun
* Hambatan, penolakan, dan perlakuan sejenis lainnya
Sampaikan pengaduan melalui Telp. 08223059744 atau 085645531231 atau WA. 08111388143 (DITA 143) dan Email. pengaduanppdbknd@gmail.com
1) Infokan nama, alamat, daerah asal (Kab/Kota, Prov), dan no. kontak
2) Sampaikan pokok pengaduan
3) Sampaikan kronologis singkat
4) Infokan tanggal penting PPDB
Tunggu respon dalam 1×24 Jam untuk tindak lanjut pengaduan.
Proses pengaduan PPDB dan Kenaikan Kelas KND berkoordinasi dengan Ombudsman RI, KPAI, dan layanan pengaduan lainnya.
Ayo sebarkan informasi ini dan Bersama memastikan hak anak disabilitas mendapatan Pendidikan terbaik demi masa depan mereka, untuk Indonesia Emas 2045.[]
Reporter: Puji Astuti
Editor : Ajiwan