Views: 47
Solidernews.com, Yogyakarta. KAMIS, 10 Juli 2025, pukul 09.00 WIB, suasana di Galeri Equalitera Artspace, markas Jogja Disability Arts (JDA), tampak lebih semarak dari biasanya. Sebanyak 10 orang pengurus dari Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) Jakarta datang berkunjung, dipimpin oleh Robiatun. Perempuan yang penuh semangat dan perhatian. Salah satu dari mereka, bernama Pungki, seorang pengguna kursi roda, hadir sebagai pengurus paling senior secara usia. Sosok yang membawa kedalaman pengalaman dalam diskusi hari itu.
Disambut hangat oleh Butong (Sukri Budi Dharma) selaku Ketua JDA, bersama dua aktivis seni lainnya: Reka atau Kurnia Tidar Ika dan Bli Made. Pertemuan lintas lembaga itu mengalir hangat. Tak hanya melihat-lihat galeri seni JDA yang memamerkan karya wayang sodo, batik perintang tepung, lukisan, dan patung. Rombongan YPAC juga aktif berdiskusi dan mencoba mengenali esensi pendekatan seni inklusif, yang dilakukan JDA.
Batik, workshop dan tantangan
Diskusi menghangat saat membahas workshop edukatif, terutama pembuatan batik perintang tepung. Yakni, teknik batik yang inklusif dan ramah untuk difabel. Robiatun menyampaikan ketertarikannya agar kegiatan semacam ini bisa diadaptasi untuk penghuni YPAC, terutama mereka yang mengalami difabel berat dan ganda.
Pertanyaan dari Robiatun pun menjadi refleksi penting: “Setelah bikin ini, mau bikin apa lagi?”
Butong menjawab tegas dan penuh visi: “JDA akan terus fokus mendampingi difabel seniman. Entah dengan workshop, diskusi terbuka, atau pameran. Seni adalah ruang sosial, tempat tumbuhnya kepercayaan diri.”
Seni yang tidak memaksa
Pernyataan Butong menjadi titik balik penting dalam percakapan hari itu. Saat YPAC bertanya, bagaimana cara mengenalkan seni rupa pada anak-anak yang memiliki hambatan berat, Butong memberikan jawaban yang sederhana namun mendalam:
“Yang lebih tahu teman-teman YPAC sendiri. Tapi bisa dimulai dari hal-hal kecil. Membuat garis, titik, misalnya. Dan yang penting, jangan menghukum diri sendiri karena tak semua anak bisa langsung berseni.”
Seni, bagi JDA, bukan hasil akhir. Ia adalah proses, adalah ruang, adalah napas bagi siapa saja yang ingin mengekspresikan dirinya. Termasuk mereka yang sering dianggap tak mungkin.
Kunjungan kali itu bukan sekadar silaturahmi. YPAC menyampaikan rencana mereka untuk mendirikan galeri seni di lingkungan YPAC dan mereplikasi pendekatan JDA sebagai pilot project nasional. Mereka ingin membawa pulang ide dan energi baru, bukan hanya dalam bentuk metode, tapi juga filosofi pemberdayaan yang empatik dan manusiawi.
Kepada solidernews.com Robiatun membagikan kesannya. Ternyata kunjungan ke JDA itu, di luar ekspektasi, kata dia. “Kami pikir cuma galeri yang aksesibel dan menyimpan karya disabilitas. Tapi oh tapi, JDA itu komunitas yang memahami dan merangkul disabilitas apa adanya.”
Di sini, lanjut dia, kami menemukan kebebasan berekspresi dan kesempatan untuk mewujudkan impian. Setiap karya yang tercipta bukan hanya sekadar hasil, tapi juga wujud dari impian yang diperjuangkan. Kami berharap dapat membangun kemitraan yang kuat dan berkelanjutan dengan JDA untuk mendukung komunitas difabel bertumbuh.
“Kunjungan ke JDA ini seperti membuka jendela baru bagi kami. Kami tersadar bahwa seni bisa hadir dalam bentuk yang sangat manusiawi. Ini bukan sekadar inspirasi, tapi ajakan untuk bergerak bersama,” kesan Robiatun.
Tiga jam mencerahkan
Selama tiga jam (09.00–12.00 WIB), percakapan, tawa, dan harapan berbaur di ruang galeri yang sederhana namun hangat itu. Di akhir kunjungan, para pengurus YPAC sepakat: kunjungan ini membuka cakrawala baru, bukan hanya tentang seni, tapi juga tentang bagaimana menghadirkan kehidupan yang lebih bermakna untuk setiap individu difabel.
Kehadiran YPAC di JDA bukan hanya pertemuan dua lembaga. Ia adalah dialog batin tentang keterbatasan, ketulusan, dan kemungkinan. Dan dari kunjungan ini, muncul satu kesimpulan penting: Seni bukan soal siapa yang paling bisa. Tapi siapa yang diberi ruang untuk mencoba.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan






