Views: 16
Solidernews.com – Di salah satu desa kecil di Boyolali, ada sosok perempuan berusia 48 tahun yang saya kenal sejak beberapa tahun silam. Titik Isnaeni atau biasa dipanggil Titik yang menjalani kehidupan membersamai anak-anak sebagai tenaga pendidik. Saya memastikan kembali kepada Titik melalui telepon untuk ngobrol jarak jauh. Perempuan berkursi roda menjadi contoh nyata bagaimana komitmen terhadap pendidikan dapat meruntuhkan batas-batas dan menciptakan peluang. Dengan keyakinan bahwa pendidikan harus inklusif dan merata, Titik tidak hanya mengajar, tetapi juga berjuang untuk memastikan bahwa semua anak, tanpa memandang latar belakang atau kemampuan mereka, mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.
Berawal dari kekaguman saya terhadap Titik yang mau terbuka menjadi sosok teladan di sekitarnya. Saya mendengar cerita, kalimat demi kalimat dari Titik tentang kedifabelannya yang ia ketahui sejak remaja, yakni cedera tulang belakang yang mengakibatkan disfungsi beberapa bagian tubuh kecuali tangan kanan.
“Saya memahami diri saya ini (difabel) sejak 9 atau 10 tahun”, jelas Titik.
Tahun 2013 bersama FKDB (Forum Kelompok Difabel Boyolali), saya sering keluar dan masuk di jejaring PPRBM dan mengikuti peningkatan kapasitas dan berjejaring dengan berbagai stakeholder. Saat itu di Musuk, Boyolali teridentifikasi banyak anak difabel tidak memiliki kesempatan untuk sekolah. Maka dari itu, PAUD inklusi tahun 2015 resmi dibuka untuk peserta didik difabel dan nondifabel.
“Banyak dibantu berbagai pihak, PAUD Inklusi Tersenyum resmi dibuka pada tanggal 25 Agustus 2015. Pengambilan nama Tersenyum untuk mengangkat kota Boyolali, harapannya lagi supaya anak-anak dan orang tua juga bisa tersenyum. Lokasi PAUD memang ada di rumah saya”, terang Titik.
Seiring berjalannya waktu, saat ini ada 2 tenaga pendidik, 1 koordinator dan 8 peserta didik (2 difabel, 6 nondifabel). Memang fluktuatif untuk jumlah peserta didik, ada berbagai faktor salah satunya karena pandemi COVID 19. Di tengah dinamika perkembangan pendidikan inklusif di Indonesia, sosok Titik Isnaeni dari Boyolali muncul sebagai teladan inspiratif yang patut dicontoh. Sebagai seorang tenaga pendidik inklusif, Titik bukan hanya mengajarkan materi pelajaran, tetapi juga memberikan makna mendalam tentang keberagaman dan kesetaraan di dunia pendidikan.
Alasan kuat untuk mendorong Titik mendedikasikan dirinya untuk membuktikan bahwa kemampuan dan keinginan untuk berkontribusi dalam dunia pendidikan tidak terhalang oleh apapun. Titik ingin memberikan kesempatan bagi anak-anak difabel untuk mengenyam pendidikan tingkat dasar.
“PAUD ini menjadi ‘balas dendam’ pribadi saya yang dulu pernah alami, sehingga tidak ada lagi perlakuan diskriminasi kepada anak difabel untuk bisa sekolah” jelas Titik.
Meski menghadapi tantangan yang cukup berat, Titik memandang keterbatasan bukan sebagai penghalang, melainkan sebagai motivasi untuk membangun pendidikan inklusi. Dirinya memang tidak bergelar pendidikan, namun pengalaman yang ia dapat dari anak-anak itulah yang menjadi kunci utama.
“Saya menitikberatkan pada kecakapan diri dan kepekaan sosial bagi anak-anak difabel, karena memang pendidikan sosial yang ditekankan pada ABK (Anak Berkebutuhan Khusus)”, pernyataan Titik penuh semangat.
Selama ini PAUD Tersenyum sudah berkolaborasi dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan Universitas sekitar (UNS, Poltekkes Kemenkes Surakarta, UNNES). PAUD tersenyum menjadi tempat belajar bagi mahasiswa yang ingin mengetahui langsung praktik pendidikan inklusi.
“Sebelum 2023, PAUD ini masih berada di pekarangan rumah, maka saya inisiatif untuk mencari support dari donatur (kelompok atau perorangan), sehingga bisa berjalan hingga saat ini”, terang Titik yang pernah menjadi salah satu penerima penghargaan dari Direktorat PAUD tahun 2019.
Kurikulum untuk non ABK mengikuti kurikulum yang sudah ada, sementara kurikulum bagi anak ABK, Titik dan pengajar lainnya menyusun berdasarkan kebutuhan peserta didik. Masing-masing ABK memiliki modul yang berbeda-beda meskipun memiliki kesamaan dalam difabelnya.
Jauh sebelum ada kurikulum merdeka, Titik sudah mengimplementasikannya selama di PAUD Tersenyum. Pendekatannya yang inklusif membuat setiap anak merasa diterima dan dipahami, membantu mereka untuk mencapai potensi terbaik mereka. Peran serta keluarga juga ditingkatkan dengan memberikan isu difabel kepada keluarga atau orang tua.
“Pengalaman saya di tahun 2016, saya pernah kehilangan murid non ABK (keluar) karena orang tua yang tidak paham tentang difabel. Pernah satu waktu orang tua tersebut menyatakan takut ketularan dengan anak ABK”, jelas Titik.
Tantangan-tantangan yang dialami Titik tidak memberhentikan semangatnya. Memang untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dibutuhkan perjuangan. Titik percaya bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap anak, dan tidak ada satu anakpun yang seharusnya tertinggal hanya karena mereka berasal dari daerah terpencil atau memiliki kebutuhan khusus. Dengan semangat itu, ia aktif terlibat melalui Sanggar Inklusi dan PAUD Inklusi Tersenyum untuk memberikan layanan pendidikan kepada semua anak sebaik mungkin.
Kisah Titik adalah cerminan dari kekuatan individu dalam menghadapi tantangan dan berkontribusi untuk kebaikan bersama. Semangatnya menjadi inspirasi bagi semua pihak untuk bekerjasama dan kolaborasi dalam mewujudkan sistem pendidikan yang lebih adil dan merata di seluruh Indonesia, memastikan bahwa setiap anak, dimanapun mereka berada, memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan