Views: 12
Solidernews.com – Karya seni bagaimanapun bentuknya, pasti akan terlihat unik dan indah bila di dalamnya mengandung unsur kolaborasi, kerja sama, gotong royong, tindakan memanusiakan manusia, serta adanya sikap untuk saling mengingatkan satu sama lain.
Selain itu, ketika karya seni seperti tarian misalnya dipentaskan oleh beragam difabilitas dan juga yang nondifabel, maka bisa jadi karya seni itu pun menjadi sarana komunikasi, advokasi, dan bentuk apresiasi untuk saling mengerti letak kelebihan dan keterbatasan masing-masing yang kesemuanya itu memanivestikan keindahan dengan pemaknaan dalam tanpa hanya sekadar penamaan.
Inilah Selfiana Saenal, seorang relawan difabel yang membagikan kisahnya dalam membersamai karya seni para difabel bagian kedua. Bagi para pembaca yang penasaran untuk membaca bagian pertama, silahkan klik di sini.
Selfi menceritakan tentang pengalamannya mendampingi dan berinteraksi dengan difabel. Ia pernah mendapati situasi di kampusnya bahwa teman tuli dan teman netra seperti ada pengkotak-kotakan. Mereka cenderung jarang berinteraksi satu sama lain. “Jadi, pada saat saya kumpul, kumpulkan mereka. Teman tuli bersama teman tulii saja. Teman yang low vision bersama yang buta total, bersama mereka saja” paparnya pada solidernews.
Selfi mengamati bahwa ada jarak di antara mereka. Mendapati hal tersebut, ia mencoba untuk mengkolaborasikan ke dua jenis difabilitas tersebut.
“Jadi, saya tanya nih, teman netra itu maunya apa, sukanya apa? Ternyata mereka sukanya menyanyi, main musik. Terus yang tuli sukanya apa? Oh. Dia sukanya berpuisi, berteater, kemudian menari,” tanyanya ke teman-teman difabel.
“Nah, jadi saya bilang begini, bagaimana kalau kita kolaborasikan. Jadi, teman netra yang menyanyi kemudian main musik nanti teman tuli yang menari ataupun berpuisi, gitu,” usulnya ke teman-teman difabel.
Agak sulit awalnya bagi Selfi untuk mengkolaborasikan teman netra dan teman Tuli dalam satu wadah kesenian. “Katanya, ah. Nggak bisa. Bagaimana caranya, begitu kan. Bagaimana caranya memberikan kode ke teman netra, dia kan tidak bisa melihat kita?” tanya teman tuli keheranan.
Begitupun dengan teman netra, mereka bercerita pada Selfi bahwa difabel netra tidak bisa melihat dan mencerna kode berbantuk isyarat secara visual. Untuk menyelaraskan antara gerakan, contohnya puisi teman netra berpuisi. “Bagaimana caranya supaya kita tahu bahwa teman tuli itu memberikan bahasa isyarat yang sama dengan apa yang kita berikan, gitu?” Tanya pula teman netra kebingungan mengenai bahasa isyarat.
“Jadi, di sini sudah ada pertanyaan nih timbul dari mereka. Jadi, seiring berjalannya waktu, latihan-latihan, saya berikan pemahaman bahwa teman netra juga bisa belajar bahasa isyarat. Nah, mereka bisa memberikan kode bahwa lirik yang pertama misalnya mereka nyanyikan atau bait pertama yang mereka bacakan. Nah, dari situlah teman tuli juga bisa membahasa isyaratkan itu, gitu,” jelasnya.
“Kemudian, dalam proses misalnya kayak latihan atau naik nanti di atas panggung. jadi, teman tuli inilah yang mengantarkan teman netra untuk di posisi mana sih seharusnya mereka berada, gitu kan. Takutnya kalau misalnya tempat baru mereka tidak lihat di mana dia harusnya berdiri atau di mana harusnya dia duduk. Jadi, dengan masing-masing mereka mengetahui kelebihannya mereka di mana, kekurangannya di mana tapi mereka saling mengisi dan ini menurut saya adalah sesuatu yang indah gitu di atas panggung,” paparnya.
Sejauh ini, beberapa teman difabel yang Selfi temui, mereka sudah mampu untuk melihat kemampuannya, kemudian mampu untuk berkomunikasi. Mereka itu butuhnya apa, sukanya apa, tidak sukanya apa, “Jadi, ya saya lihat sih mereka sudah mampu untuk melihat keindahan itu. Berbuat segala sesuatu yang indah untuk dirinya ataupun untuk orang lain,” lanjutnya.
Selfi juga menjelaskan bahwa karena ia punya latar belakang di dunia seni, maka ia ingin berbuat sesuatu agar difabel bisa peroleh kesetaraan. Ia terkadang mengkolaborasikan beberapa ragam difabel dalam satu panggung. Bukan hanya difabel dengan beragam jenis, namun kawan nondifabelpun juga ia kolaborasikan. “Kenapa, karena saya masih sulit untuk memberikan mereka hak-haknya. Saya sudah berjuang sih dan beberapa teman sudah berjuang untuk mahasiswa difabel yang ada di kampus saya supaya mereka lebih diberikan hak-haknya. Mereka lebih mendapatkan akses yang manusiawi dan itu belum maksimal. Jadi, saya mencoba untuk selalu menyederhanakan. Jadi, saya berusaha untuk mengkolaborasikan antara teman difabel dan non difabel untuk berkolaborasi dalam satu panggung, bekerja sama untuk pentas bersama dengan harapan ruang inklusi itu tercipta di panggung kecil itu”.
Selfi berharap ketika penonton melihat, penonton juga mampu memahami bahwa ternyata berkolaborasi itu indah. Ternyata ketika difabel dan nondifabel itu bekerja sama merupakan sesuatu yang indah.
“Jadi, mereka semuanya itu mampu untuk bekerja sama, mampu untuk melakukan aktivitas. Jadi ketika mereka nanti di luar panggung, orang-orang yang telah menonton pertunjukan seni itu lebih paham dan tidak melihat bahwa disabilitas itu adalah hal yang aneh, adalah hal yang harus dihindari, atau mereka adalah seseorang yang ketika mereka mampu melakukan sesuatu menjadi aneh mungkin bagi orang yang non disabilitas, gitu. Harapannya sih seperti itu,” ucapnya lagi menyampaikan harapan”.
Selfi berharap agar difabel tetap semangat kemudian mencoba untuk melatih diri untuk melihat kemampuan yang dimiliki. Difebel sebaiknya tidak selalu berpikir tentang kekurangannya. “Karena kalau kita sendiri terus mencari kekurangan kita, kapan kita bisa fokus untuk mengasah kemampuan kita?” Tegas Selfi.
Menurutnya, merasa terdiskriminasi itu manusiawi, tapi difabel harus bangkit untuk mengkomunikasikan, mengadvokasikan apa yang mereka butuhkan karena terkadang yang nondifabel merasa bingung, canggung untuk membantu. Hidup bersama, berkolaborasi dengan difabel selama ini belum banyak dilakukan oleh kawan nondifabel karena bisa jadi ada ketidaktahuan dari mereka.
Selain berpesan untuk teman difabel, Selfi juga memberi pesan kepada yang nondifabel yang hingga kini belum menemeukan keindahan pada dirinya, “Yuk, cobalah untuk melihat karya-karya seni yang dihasilkan oleh teman-teman disabilitas. Karena ketika teman disabilitas mampu mengekspresikan dirinya lewat seni yang indah, kenapa kita ndak mampu untuk itu, ya. Karena apa yang dimaksud dengan keindahan itu bukan hanya dari karya seni, tapi banyak hal, dan keindahan itu akan bisa kita rasakan kalau menurut saya ya, ketika kita banyak-banyak bersyukur, kemudian banyak jalan-jalan. Ya karena kalau misalnya kurang jalan-jalan terkadang memang kita agak sulit menemukan keindahan itu dan tentunya dengan banyak berkolaborasi dengan orang-orang,” lanjutnya.
“Jadi, bukankah dengan gotong royong itu adalah sesuatu yang indah, bukankah dengan bekerja bersama-sama itu adalah sesuatu yang indah? Kalau saya sih, itu sih. Kemudian kepedulian. Nah, kalau saya pribadi, saya berharap kepada teman disabilitas maupun non disabilitas. banyak-banyaklah peduli kepada sesama, memanusiakan manusia ya. Kalau istilah Bugis itu kan ada yang namanya ‘sipakatau’. Nah, ketika kita ‘sipakatau’ itu memanusiakan manusia ini membuat kita itu melihat ada keindahan di situ. Ketika manusia memanusiakan manusia lain ini adalah sesuatu hal yang indah, gitu kan. Kemudian selanjutnya, ada yang namanya ‘sipakainge’ (saling mengingatkan).
Jadi ‘sipakatau’ (saling memanusiakan manusia), ‘sipakainge’ (saling mengingatkan). Nah, ketika misalnya ada sesuatu yang lupa dari teman kita, sahabat kita kemudian kita ingatkan, nah ini juga adalah sesuatu pemandangan yang sangat indah. Karena kita bisa saling mengingatkan ketika ada yang khilaf. Seperti itu sih. Tapi, kalau saya pribadi intinya adalah ‘sipakatau’ (saling memanusiakan manusia),” pungkasnya.[]
Reporter: ZAF
Editor : Ajiwan Arief