Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Sekali Lagi Tentang RPP Konsesi, Bagaimana Perspektif Difabel Psikososial?

Views: 9

Solidernews.com – Perayaan Hari Difabel  Internasional telah dilaksanakan secara nasional pada 3 Desember lalu, sebuah acara dihelat bertempat di Taman Ismail Marzuki dengan kehadiran Wakil Presiden dan Menteri Sosial. Selain selebrasi yang dibumbui dengan pagelaran seni, lantas juga ada penganugerahan kepada enam difabel berprestasi dari berbagai ragam dengan latar belakang keolahragaan, kesenian dan akademisi. Namun, sesungguhnya ada yang penulis tunggu-tunggu di momen HDI tersebut yakni terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) tentang Konsesi, satu-satunya  “PR”dari amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Dalam YouTube Forum Difabel Lawyer Solider TV beberapa waktu lalu sempat disinggung beberapa statemen peserta diskusi yang berharap bahwa RPP Konsesi alangkah baik jika segera disahkan, barangkali waktu yang tepat adalah saat HDI, seumpama itu bisa dikatakan sebagai ‘hadiah” dari penyelenggara negara untuk mengobati delapan tahun penantian.

Namun ada pula yang berpendapat bahwa RPP bisa disahkan sesegera mungkin, tanpa harus di momen HDI karena khawatir ketika tidak segera disahkan maka oleh pemerintah yang baru serta formasi kabinet baru, draft akan dimulai dari nol lagi alias kerja-kerja yang selama ini telah dilakukan oleh BKF Kemenkeu dengan Kementerian dan Lembaga lainnya  serta organisasi difabel bisa saja seperti tidak ada artinya.

Maka, alangkah baiknya jika kita mendengar lagi perspektif RPP Konsesi di mata pegiat isu difabilitas mental seperti yang disampaikan Agus Hidayat  dari organisasi Remisi di Youtube Forum Difabel Lawyer. Menurut Agus, orang dengan disabilitas psikososial atau  difabel mental  sebenarnya menyambut baik adanya RPP tentang konsesi namun yang menjadi pertanyaan dasar apakah ini sudah sesuai dengan dengan prinsip-prinsip dari  social inclusion and protection berdasarkan CRPD? Ia juga belajar dari bagaimana mekanisme perlindungan sosial untuk difabeldi berbagai negara.

Agus berbagi cerita tentang pengalaman dari pembelajaran ikut short course tentang social inclusion and protection di salah satu universitas di Jerman khususnya untuk difabel psikososial. Dalam pembahasan sebelumnya disebutkan bahwa konsesi ini, mekanisme atau bisa beli yang berbentuk uang itu jangan sampai  menggantikan  karena konsesi ini mata anggarannya bisa dari berbagai macam kementerian sedangkan kalau program PKH dari Kementerian Sosial. Yang menjadi  pihaknya ada beberapa: Pertama, bagaimana mengidentifikasi difabel , apakah kartu konsesi, disability assessment-nya itu seperti apa untuk difabel psikososial. Apakah dia harus punya sendiri? Apakah pakai medical misalkan dari psikiater, atau pakai versi WHO atau Washington Group.

Lalu menurut Agus, yang  menjadi sorotan  ketika kartu disabilitas ini muncul dan dia punya benefit terhadap konsesi, apakah itu bisa berlaku  seluruh orang dengan  psikososial? Ini harus ada assessment kelanjutan, bagaimana data terpilah ketika orang dengan disabilitas psikososial yang dia benar-benar high support untuk katakanlah disability related cost-nya. Selain itu, yang kedua adalah ketika membangun sebuah skema perlindungan sosial dalam bentuk misalkan konsumsi, maka harus dilihat juga bahwa ini harus sesuai misalkan disabilitas dari anak-anak sampai lansia, bukan sekadar hanya melihat dari ragam disabilitasnya saja dan harus berdasarkan kebutuhan-kebutuhannya. Juga berdasarkan  gender dan kalau di Indonesia sudah pasti dikaitkan dengan  letak geografis, bagaimana di Indonesia bagian timur misalnya. Bagaimana entertainment di sana dan bagaimana dengan transportasi dan dengan prestasi pasti di dalam setiap profesi. “Mungkin memang tujuannya pengin mobilitasnya itu. Tapi apakah infrastrukturnya itu ada? Apakah kalau diberikan diskon di sana ada seperti di kota-kota besar seperti di Jakarta dan Yogjakarta gitu? Apakah itu bisa digunakan, ” Agus mempertanyakan.

Selanjutnya Agus mempertanyakan pula bagaimana konsesi ini juga bisa dinikmati, karena salah satu prinsipnya adalah orang-orang banyak yang masih ada di dalam panti. Apakah dengan menaikkan  programnya dan institusionalisasinya dari pemerintah walaupun sudah ada semacam guidance atau petunjuk. Tetapi  belum ada sinergi bahwa RPP ini apakah bisa berkorelasi dan punya jawaban yang sangat kuat yang sangat krusial untuk  bagaimana proses dan institusionalisasi khususnya untuk difabel psikososial yang ada di Indonesia yang jumlahnya ribuan. Mereka yang masih ada di dalam panti dirantai dan bagaimana juga yang mereka masih ada. Mungkin yang sudah tinggal di komunitas untuk tetap tinggal di komunitas, bisa dapat standar of living. Termasuk juga bagaimana skema ketika proses difabel psikososial sudah keluar dari panti dan  spesifiknya untuk housing, job training dan ekonomi informasi program, khususnya profesional training supaya difabel psikososial itu, dia reminding tempat tinggal di dalam komunitas dan dia punya kontribusi terhadap  komunitas. Menurut Agus karena social inclusion and protection ini bisa macam-macam perdebatannya di berbagai negara. Kajian-kajian untuk difabilitas untuk melakukan disability assessment tersendiri. Tetapi tambah Agus, ada poin pentingnya:  ada yang bilang bahwa setiap kartu disabilitas, dia harus berfungsi punya benefit apakah benefitnya itu dari program PKH, atau transfer.  Artinya, buat apa kita diberikan sebuah identitas kartu kalau tidak ada manfaatnya?

Agus berharap agar jangan sampai terpatok hanya dengan tanggal penetapan RPP karena harus diingat lagi bahwa masih ada bolong-bolong, misalnya diskon telepon rumah, apakah itu bisa dinikmati teman difabel psikososial dan intelektual yang selama ini masih sering  namanya tertukar.

 

“Saya ingin mengingatkan lagi bahwa ada puluhan ribu orang dengan disabilitas mental yang masih dikurung, yang mungkin kalau misalnya ini juga langsung buru-buru disahkan, memang bisa dinikmati oleh banyak teman-teman yang ada di komunitas termasuk saya. Tetapi kita juga lihat, harus punya empati, jangan sampai terpatok tanggal. Semestinya kita bisa bikin substansi yang lebih baik untuk mengkoreksi yang bolong-bolong supaya nanti budgetingnya, implementasinya, evaluasinya, semakin baik dan kita perlu catatan yang paling terakhir adalah membuat bagaimana  social inclusion and protection  sesuai dengan Indonesia. Dengan indikator dan tools yang  paling dekat dengan konteks  sosial kultural dan politik, serta sesuai dengan hasil kebutuhan teman-teman dengan disabilitas apapun ragam disabilitasnya, ataupun gendernya ataupun usianya dan di manapun dia berada di dalam letak geografis Indonesia yang sangat praktis, “pungkas Agus.[]

 

Reporter: Astuti

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content