Views: 18
Solidernews.com – Denpasar, Suasana ruang pertemuan di Sanur Resort Watujimbar pagi itu terasa hangat dan penuh semangat. Beragam pemangku kepentingan berkumpul di sana—dari Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Bappeda, hingga Biro Hukum Provinsi Bali, Kabupaten Badung, dan Kota Denpasar. Mereka duduk berdampingan dengan para perwakilan organisasi difabel seperti Pertuni, Puspadi Bali, HWDI, dan Gerkatin. Mereka membahas arah masa depan layanan kesehatan dan alat bantu adaptif bagi difabel di Bali melalui tiga rancangan regulasi penting—Ranpergub Bali, Ranperbup Badung, dan Ranperwali Denpasar.
Diskusi Kelompok terfokus ini dilaksanakan pada 11 April 2025 dan menghadirkan dua narasumber, I Kadek Sudiarsana, SH, MH dan Ni Putu Candra Dewi, SH, MIS, yang memaparkan kerangka dan muatan dari masing-masing rancangan kebijakan. Namun tak butuh waktu lama hingga muncul perbincangan hangat—tentang siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dalam penyediaan alat bantu adaptif bagi difabel. Apakah ranah itu milik Dinas Sosial, atau justru Dinas Kesehatan?
“Kalau tidak jelas, nanti masyarakat bingung harus ke mana. Akhirnya saling lempar tanggung jawab,” ungkap salah satu peserta dari organisasi difabel.
Tumpang tindih kewenangan itu bukan sekadar persoalan birokrasi, tapi bisa berujung pada tidak sampainya alat bantu ke tangan yang membutuhkan. Lebih dari itu, pembahasan mengarah pada urgensi agar alat bantu yang disediakan tidak bersifat asal-asalan atau ‘yang penting ada’. Masyarakat difabel menginginkan alat bantu yang benar-benar sesuai kebutuhan mereka—seperti kursi roda yang ringan, bisa dilipat, dan mudah dibawa bepergian. Bukan kursi roda besar dan berat yang justru menyulitkan mobilitas, apalagi dalam situasi sehari-hari di jalanan kota yang belum sepenuhnya ramah akses.
Sementara itu, pada draft Ranperbup Badung, terdapat satu pasal yang menyebut bahwa perusahaan atau penyelenggara kerja wajib membayar iuran BPJS Kesehatan secara penuh (100%) bagi pekerja difabel. Niat pasal ini jelas berpihak pada perlindungan hak. Namun dalam diskusi, muncul kekhawatiran bahwa beban itu bisa dirasa terlalu berat oleh pihak perusahaan, yang pada akhirnya malah memengaruhi kemauan mereka dalam merekrut tenaga kerja difabel.
“Kalau pasal ini tidak dikaji ulang, bisa jadi niat baik berubah jadi hambatan baru. Kita perlu solusi yang adil—baik untuk penyandang disabilitas maupun pemberi kerja,” ujar salah satu peserta dari Bappeda.
Tak hanya soal alat bantu, ranpergub dan turunannya juga mencoba menjawab bagaimana seharusnya layanan kesehatan diberikan kepada masyarakat. Bukan sekadar menjamin layanan secara administratif, tetapi juga menyentuh aspek kualitas dan pendekatan yang inklusif. Di sinilah muncul dorongan agar tenaga medis yang sudah ada diberi pelatihan khusus—agar mampu memberikan layanan yang sesuai dengan kebutuhan ragam difabel.
Kawan Tuli, misalnya, membutuhkan layanan dari petugas medis yang bisa berkomunikasi dalam bahasa isyarat. Sementara bagi difabel netra, proses layanan harus disesuaikan agar tetap menjaga kemandirian dan martabat mereka, termasuk dalam pengisian formulir atau proses konsultasi. Pelatihan ini bukan hanya penting, tapi krusial agar tidak terjadi kesenjangan antara kebijakan dan kenyataan di lapangan.
Diskusi yang berlangsung hampir seharian ini menjadi ruang saling dengar yang penting. Di antara lembaran draf dan perdebatan teknis, terselip harapan agar regulasi yang sedang disusun bukan sekadar menjadi dokumen hukum, tetapi benar-benar menjadi jembatan pemenuhan hak. Terutama bagi kelompok yang selama ini kerap dipinggirkan dalam perencanaan pembangunan []
Reporter: Harisandy
Editor : Ajiwan