Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Sejumlah Persoalan dan Beberapa Gambaran Implementasi Akses Keadilan bagi Difabel Beradapan Hukum

Views: 7

Solidernews.com –  Upaya pemenuhan hak difabel di Indonesia telah banyak dilakukan, banyak regulasi terkait difabel yang mulai disyahkan, termasuk Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun berbagai persoalan terkait implementasinya masih saja terjadi.

Dalam ranah hukum misalnya, masih ada beberapa persoalan yang hingga kini terus terjadi.  Dalam hal ini, persoalan yang sering terjadi dalam pemenuhan hak masyarakat difabel antara lain seperti, masih banyak para penegak hukum yang belum aware terhadap difabel, fasilitas di pengadilan belum cukup menjangkau kebutuhan difabel, serta sistem peradilan dan akomodasi yang layak bagi difabel belum sepenuhnya dapat terpenuhi dalam proses peradilan .

Muhamad Syafi’ie dari Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia  mengungkap tiga konsep aksesibilitas bagi masyarakat difabel, yaitu: ‘(1) Bisa berupa sistem peradilan yang dapat diakses difabel, (2) Sistem yang dapat menghasilkan keputusan yang adil bagi semua kalangan, (3) Keadaan dan proses dimana negara menjamin pemenuhan hak berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 dan prinsip-prinsip universal Hak Asasi Manusia.’

 

Isu strategis terkait persoalan akses difabel berhadapan dengan hukum

Terdapat celah kekosongan hukum yang belum mengakomodir hak-hak difabel dalam proses peradilan, substansi hukum yang diskriminasi terhadap difabel menjadi gambaran permasalahan yang harus segera diatasi. Kondisi ini merupakan kewajiban negara dalam HAM, yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi.

Menurut Purwanti, Koordinator Advokasi dan Jaringan Sigab Indonesia menjelaskan data penanganan kasus rentang waktu 2022 hingga 2024 menunjukkan adanya  trend kenaikan kasus pada masyarakat difabel.

Ia menjabarkan ada tujuh isu strategis berkaitan dengan akses difabel berhadapan dengan hukum, diantaranya ‘(1) Partisipasi penuh kepemimpinan perempuan difabel, (2) Pengakuan kapasitas hukum masyarakat difabel, (3) Persamaan perspektif dan pemahaman kerentanan perempuan difabel, (4) Kebijakan dan perlindungan hukum, (5) Penegakan dan akses hukum serta peradilan, (6) Paralegal sebagai aktor advokasi kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum. (7) Pendampingan dan advokasi pencegahan, penanganan, pemulihan dan eksekusi putusan kasus-kasus difabel berhadapan dengan hukum.’

“Tantangan internal dan eksternal bagi difabel juga perlu diperhatikan oleh semua pihak, seperti tentang aksesibilitas dan layanan hukum bagi difabel di lembaga peradilan yang belum memadai,” terang ia.

 

Gambaran implementasi akses keadilan bagi difabel

Adanya realisasi yang progresif seperti penggunaan Convention on the Rights of Person with Disabilities (CRPD), domestifikasi prinsip hukum HAM Internasional ke dalam hukum Indonesia ditandai dengan adanya komitmen perbaikan dan pembuatan hukum yang mendukung perlindungan dan pemenuhan hak difabel, serta inisiatif pembuatan Standard Operating Procedure (SOP) sebagai rujukan fundamental dalam pemenuhan hak difabel.

Selain itu, affirmatif action dari kepolisian, kejaksaan dan mahkamah agung juga dibutuhkan dengan merujuk pada CRPD.

“Peningkatan alokasi anggaran ditandai dengan adanya kenaikan akses bantuan hukum. Namun, akses bantuan hukum bagi difabel masih sedikit jumlahnya,” ungkap Risnawati Utami, Senior program Advisor Ohana.

Beberapa substansi prinsip yang harus dipahami selain ragam kedifabelan dalam kebijakan hukum Indonesia juga tentang penilaian personal yang dalam praktiknya masih tricky karena dianggap sebagai kondisi medis.

Siklus kemajuan aksesibilitas dan akomodasi yang layak dalam proses peradilan, mulai dari payung hukum sesuai regulasi yang ada, penyusunan peraturan teknis, perencanaan dan penganggaran, pelaksanaan dan evaluasi harus diterapkan.

“Yang perlu dipahami juga tentang bantuan hukum, peraturan internal kepolisian dan kondisi sumber daya manusia terkait isu difabel,” kata Fajri Nursyamsi, dari pusat studi hukum dan kebijakan (PSHK).

Ia menambahkan, ada tantangan relasi antara lembaga dan penguatan pusat sumber yaitu organisasi difabel, pusat layanan dan lembaga pendamping, termasuk ekosistem yang mendukung bagi penyediaan akomodasi yang layak di ranah hukum.

Minimnya layanan akomodasi yang layak sarana dan prasarana dalam proses peradilan sangat berkaitan dengan anggaran yang disediakan oleh negara, dan negara wajib memenuhi hak masyarakat difabel dalam proses peradilan.[]

 

Reporter: Sri Hartanty

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content