Views: 60
Solidernews.com – Atlet judo difabel netra yang mewakili Papua mengirim surat terbuka yang ditujukan untuk pemangku kebijakan provinsi Papua dan NPCI Papua setelah berakhirnya Pekan Paralimpik Nasional 2024 di Jawa Tengah. Lewat surat tersebut, para atlet mempertanyakan realisasi janji dukungan finansial bagi tim Papua. Mereka menilai para peraih medali hanya mendapatkan bonus yang lebih kecil dari penyelenggaraan sebelumnya di Papua, sementara atlet lain belum mendapatkan hak mereka, karena mereka belum berprestasi.
Surat terbuka itu mengungkap bahwa sejak 2022 sebagian atlet berlatih mandiri dengan fasilitas minim. “Setiap hari kami jalani dengan sepenuh hati, meski kenyataannya asupan gizi kurang memadai… serta fasilitas hunian jauh dari standar atlet profesional” ungkap mereka dalam penggalan surat terbuka tersebut. Meskipun sudah resmi tercatat sebagai dilaksanakannya pelatihan di tingkat daerah (pelatda) sejak Mei 2024, para atlet ini baru menerima gaji Rp1.000.000 pada Juni dan Rp2.000.000 menjelang pertandingan Oktober tahun kemarin. Setelah itu, tak ada kabar lagi yang mereka terima.
Instruksi untuk tetap aktif di grup WhatsApp pelatda pun menjadi sia-sia ketika manajer pelatda tiba-tiba keluar grup tanpa penjelasan, memupus harapan akan adanya kabar dukungan.
Harapan Gaji dan “Tali Asih”
Dalam surat tersebut, para atlet menegaskan bahwa mereka tidak berlebihan dalam meminta hak. “Kami bukan menuntut, kami hanya ingin didengar, dipahami, dan dihargai,” tulis mereka, seraya meminta agar hak gaji yang belum ditunaikan segera dibayarkan sebagai bukti kepedulian pemerintah Papua
Surat itu juga menyinggung tradisi pemberian tali asih. Pada Peparnas Papua 2021, setiap atlet — termasuk non-medalis — menerima tali asih, namun kini tim non-medalis tidak mendapatkan tali asih dari pemerintah setempat. Dalam hal ini, tali asih mengacu pada semacam bonus tambahan yang diberikan oleh pemerintah daerah kepada atlet berprestasi dan seseorang yang telah mengharumkan nama daerah setempat.
Menindaklanjuti surat tersebut, solidernews melakukan wawancara dengan sejumlah atlet difabel yang berprestasi. Beberapa atlet difabel Papua menguatkan hal tersebut. R.H., salah seorang atlet, mengungkapkan, “Intinya, kami merasa terbohongi, merasa tidak dipedulikan, dan tidak dihargai. … Atlet yang dapat medali benar-benar diperhatikan, sedangkan yang tidak mendapat medali tidak lagi dipedulikan. Nasib kami pun tidak jelas, seperti digantung begitu saja” Menurutnya, belum ada pernyataan resmi dari NPCI Papua menyikapi kondisi ini.
D.A. bercerita bahwa ia awalnya tertarik mengikuti judo karena janji pengurus, namun kenyataannya para atlet hanya mendapatkan janji-janji. “Dijanjikan gaji dua juta per bulan, tapi saat pembayaran, kami hanya diberi satu juta… Intinya, kami sangat sakit hati karena sering dibohongi; kepedulian NPCI Papua kepada kami nyaris tidak ada,” ujarnya. Ia menambahkan bahwa saat cedera hampir seluruh biaya pengobatan harus ditanggung sendiri.
A.F., salah satu atlet lain menceritakan pengorbanan besar demi latihan judo. Ia meninggalkan pekerjaan dan memboyong keluarga agar bisa berlatih penuh waktu karena percaya NPCI Papua akan mengubah hidupnya. “namun kenyataannya sejak 2023 kami latihan intensif tanpa gaji layak”
Ia melanjutkan bahwa para atlet baru menerima dua kali gaji kecil pada 2024 (Juni dan Oktober) dan berharap NPCI minimal segera membayar gaji yang tertunda.
Harapan Respons
Hingga saat ini belum ada tanggapan resmi dari NPCI Papua maupun pemerintah daerah atas harapan para atlet tersebut. Mereka berharap surat terbuka yang mereka sampaikan membuka mata para pemangku kebijakan untuk memberikan respons nyata. Para atlet menegaskan bahwa perjuangan difabel netra Papua bukan hanya tentang medali, tetapi soal keadilan bagi semua yang berjuang mengharumkan nama daerah.
Lampiran: Surat Terbuka Asli
Surat Terbuka Kepada Pemangku Kebijakan Papua: Matras yang Menangis Menanti Keadilan yang Tak Kunjung Datang
Yth. Eksekutif, Legislatif, dan NPCI Provinsi Papua
Salam olahraga dan salam keadilan,
Kami berharap surat ini menjangkau hati Bapak/Ibu pemangku kebijakan yang masih menyisakan kepedulian bagi kami, para atlet Judo Tunanetra Papua. Pekan
Paralimpik Nasional 2024 di Jawa Tengah telah usai, meninggalkan kebanggaan sekaligus duka. Teman-teman peraih medali memperoleh bonus apresiasi, namun
nominalnya jauh di bawah janji saat penyelenggaraan di Papua 2021. Sementara itu, kami yang belum berdiri di podium justru tenggelam dalam keheningan.
Sejak 2022, sebagian dari kami menempuh latihan mandiri dan mulai menempati mess pada awal 2023. Setiap hari kami jalani dengan sepenuh hati, meski kenyataannya
asupan gizi kurang memadai, vitamin dan suplemen nyaris tak pernah tersedia, serta fasilitas hunian jauh dari standar atlet profesional. Keyakinan kami
tetap tumbuh—Papua sedang berbenah, dan suatu saat perhatian pasti datang.
Namun di balik semangat itu, kami berlatih tanpa gaji. Tabungan menipis, beberapa dari kami terpaksa meninggalkan pekerjaan atau menunda pendidikan demi
fokus latihan, bahkan ada yang berutang hanya untuk bertahan. Saat cedera atau sakit, dukungan hampir nihil; biaya pengobatan sepenuhnya ditanggung sendiri
agar bisa kembali berlatih. Kami percaya bahwa begitu dana tersedia, dukungan akan mengalir—sebagaimana pernah terjadi dahulu.
Nyatanya, meski resmi tercatat sebagai pelatda pada Mei 2024, kami hanya menerima gaji Rp 1.000.000 pada Juni dan “uang menjelang pertandingan” Rp 2.000.000
pada bulan Oktober. Setelah itu, senyap. Kami diinstruksikan tetap aktif di grup WhatsApp pelatda untuk berhak mendapat apresiasi, tapi ironisnya manajer
pelatda justru keluar grup tanpa penjelasan, memupus harapan kami akan kepastian.
Pada 2021, setiap atlet—termasuk non-medalis—dihargai dengan tali asih. Kini, mereka yang belum meraih medali seperti kami seakan tak lagi dianggap. Di
manakah kepedulian atas darah, keringat, dan air mata yang kami korbankan? Apakah setiap tetesan perjuangan hanya dihargai jika berujung medali?
Kami bukan menuntut. Kami hanya bertanya seraya berharap. Karena apalah daya kami, kami berada pada posisi lemah dan dilemahkan. Kami hanya ingin didengar,
dipahami, dan dihargai. Bayarlah hak gaji kami yang tertunda sebagai bukti bahwa Papua masih mempedulikan setiap atletnya, bukan hanya mereka yang berdiri
di podium. Bayangkan jika bertahun-tahun perjuangan hanya dibayar dua atau tiga bulan saja—jumlah yang tak sebanding dengan pengorbanan kami.
Dengan kerendahan hati, surat ini kami kirim sebagai pengetuk hati. Semoga Bapak/Ibu sudi membuka mata dan hati, memberikan respons nyata, agar semangat
juang kami tidak padam dalam kesunyian.
Hormat kami,
Beberapa Atlet Judo Tunanetra Papua yang Memberanikan Diri untuk Angkat Suara,
Dengan darah, keringat, dan harapan yang tak pernah padam.[]
Reporter: Andi Syam
Editor : Ajiwan









