Views: 40
Solidernews.com – Bicara soal pendidikan inklusif, Sanggar Inklusi Tunas Bangsa yang berlokasi di Kecamatan Nguter, Sukoharjo, bisa menjadi inspirasi. Didirikan pada tahun 2012 dengan semangat untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, sanggar ini menjadi ruang bagi anak-anak difabel dapat belajar bersama tanpa diskriminasi. Pendirinya Puji Handayani, perempuan yang mampu membuka mata pentingnya pendidikan bagi difabel.
Siang yang panas saat itu saya berkunjung ke Sukoharjo untuk menemui Puji Handayani, kawan lama saya yang bersama bergerak di isu difabel dan kusta. Kami berdua membuka percakapan dengan hangat di salah satu ruangan di Sanggar Inklusi. Situasi di samping ruangan ada beberapa difabel yang tengah asyik menyelesaikan batik ciprat, sementara sekelompok ibu-ibu sedang meracik masakan untuk makanan pesanan. Saya merasa senang bisa singgah kembali di sanggar tersebut.
Tempatnya sangat strategis dan tidak jauh dari jalan raya. Dari kalimat-kalimat obrolan kami, saya mengetahui jumlah anggota sanggar yakni 68 orang dengan usia anggota paling kecil di usia 2 tahun dan paling dewasa 25 tahun. Kegiatan pendidikan yang dilakukan untuk anak difabel yakni pembekalan pendidikan informal, hingga layanan terapi. Bagi difabel di usia dewasa kegiatan yang dilakukan terkait pemberdayaan dan peningkatan ekonomi bagi difabel maupun keluarganya.
“Ya kayak gini mbak kegiatan saya bareng-bareng dengan mereka (difabel) untuk kegiatan memang sudah beragam tidak hanya sekolah saja sudah ada kegiatan pemberdayaan”, ungkap Puji dengan suara pelan.
Sembari dihidangkan es teh yang segar, saya menggali informasi tentang Sanggar Tunas Inklusi lebih dalam. Sejak tahun 2014, pemerintah daerah Sukoharjo telah memberikan bantuan pengadaan bangunan bagi Sanggar Inklusi Tunas Bangsa sehingga saat ini bisa diperluas untuk menampung cukup banyak anggota.
Kegiatan sanggar didukung penuh oleh Dinas Kesehatan Sukoharjo untuk pembayaran terapis, operasional, dan program PMT (Pemberian Makanan Tambahan). Adapun dukungan dinas lainnya seperti Dinas PPKBP3A untuk kegiatan yang bersinggungan dengan penyuluhan KB dan Baznas dengan kegiatan pelatihan. Dana CSR (Corporate Social Responsibilty) diperoleh dari pihak BKK, BPD atau instansi lainnya di sekitar Sukoharjo.
Pertanyaan saya langsung soal berapa besaran biaya bulanan yang harus diberikan kepada sanggar oleh orang tua atau anggota sanggar.
“halah mbak, saya tentukan biaya yang terjangkau sejumlah 10.000 ribu, atau semampu dari keluarga. Pungutan biaya ini untuk mengganti biaya operasional misal untuk terapi atau layanan kesehatan atau makanan penunjang”, ungkap Puji Handayani sembari tertawa.
Dari percakapan kurang lebih satu setengah jam, saya bisa membuat kesimpulan yang semoga bisa kita pahami bersama.
Misi Mulia: Pendidikan untuk Semua
Bagi penggiat pendidikan yang peduli pada isu inklusi, Puji Handayani mengantarkan Sanggar Inklusi Tunas Bangsa memastikan setiap anak mendapatkan hak pendidikan yang setara. Prinsipnya adalah “semua anak setara”, sanggar ini tidak hanya menyediakan ruang belajar informal tetapi juga menjadi tempat untuk mengasah keterampilan hidup dan sosial.
Program pendidikan di sanggar ini dirancang khusus agar sesuai dengan kebutuhan dari difabel. Anak-anak difabel secara tidak langsung mendapatkan dukungan personal. Hal yang dilakukan Puji meyakinkan bahwa difabel diajak belajar bersama dengan menciptakan ruang aman dan nyaman.
Ciptakan Metode Adaptif dan Interaktif
Sanggar Inklusi Tunas Bangsa memadukan metode pembelajaran yang interaktif dan menyenangkan. Salah satu keunggulannya adalah penggunaan alat bantu belajar yang ramah bagi difabel, komunikasi visual, dan permainan edukatif. Tenaga pengajar bertugas di sini pun telah mendapatkan pelatihan khusus dalam menangani siswa dengan berbagai latar belakang dan kebutuhan.
Selain itu adanya layanan terapis yang terjangkau bagi anak difabel. Hal ini sangat membantu bagi keluarga yang mungkin memiliki keterbatasan ekonomi dan jarak tempuh bila melakukan layanan terapis di lokasi lain.
Setiap kegiatan di sanggar ini tidak hanya berfokus pada akademik, tetapi juga pada pengembangan bakat dan keterampilan anak.
“Yang paling penting kan membekali anak-anak ini nanti bisa memiliki kemandirian mbak, walaupun gak sepenuhnya ya tapi setidaknya hal dasar bisa mereka lakukan”, jelas Puji.
Keterlibatan Keluarga Dalam Pengasuhan
Salah satu misi terbesar Sanggar Inklusi Tunas Bangsa adalah mengubah cara pandang masyarakat terhadap anak difabel. Puji Handayani aktif melakukan sosialisasi ke lembaga dan komunitas di sekitar Sukoharjo, mengajak semua pihak untuk mendukung pendidikan inklusif.
“Pendidikan inklusif bukan sekadar konsep, tetapi komitmen. Kami ingin setiap anak merasa diterima, didukung, dan dihargai, justru pelibatan orang tua itu penting sekali”, terang Puji.
Seiring terus berkembangnya sanggar, peran orang tua dari anak difabel sangat dibutuhkan karena untuk mempertahankan semangat sanggar perlu semangat dari orang tua agar terus mendampingi putra putrinya. Diceritakan pula ada yang awalnya orang tua acuh dan abai, semenjak anaknya di sanggar mulai pelan-pelan menyadari dan menerima kondisi anak.
Sanggar Inklusi Tunas Bangsa yang sudah berusia 12 tahun, akan terus melakukan kolaborasi dengan berbagai pihak, baik pemerintah, LSM, maupun komunitas. Sejauh ini banyak mahasiswa yang PKL (Praktek Kerja Lapangan) atau penelitian dosen atau mahasiswa di sanggar. Puji tentu berharap bisa menjangkau lebih banyak pihak yang dapat meningkatkan layanan bagi anak-anak di sanggar.
Sanggar Inklusi Tunas Bangsa adalah bukti nyata bahwa pendidikan inklusif dapat diwujudkan di mana saja, selama ada keinginan, dedikasi, dan dukungan dari masyarakat. Melalui upaya di bidang pendidikan, masa depan yang lebih cerah bagi semua anak difabel perlahan sedang disemai.[]
Reporter: Erfina Cahya
Editor : Ajiwan