Views: 17
Solidernews.com – Berbicara tentang keindahan, pasti setiap orang memiliki pemaknaannya masing-masing. Keindahan bisa didapatkan dari siapa saja dan dari mana saja, termasuk dari dunia seni. Pada hakikatnya, ia tidak terikat oleh ruang dan waktu. Karena ia selalu ada, ada dalam hati dan pikiran kita. Namun, sering kali kita sebagai manusia tidak sadar akan keindahan, sehingga banyak keindahan yang sebenarnya ada di sekitar kita yang terlewatkan begitu saja tanpa bekas.
Tulisan ini mengajak para pembaca untuk mengikuti kisah seorang relawan difabel yang juga pegiat seni untuk melihat dan mengintip suatu bentuk keindahan yang mungkin bagi banyak orang tidak lumrah. Melihat keindahan dari kelompok manusia yang karena konstruksi sosial dianggap berbeda.
Keindahan yang tidak sekadar keindahan. Karena keindahan mereka tercermin dari bagaimana mereka mengubah keterbatasan menjadi satu bentuk pertunjukan yang dapat dipersembahkan untuk mengejawantahkan keindahan dari lorong-lorong sempit yang sering terabaikan dan bahkan dilupakan.
Inilah kisah perjalanan seorang relawan difabel yang juga berprofesi sebagai dosen pada salah satu universitas besar di Makassar (Kota Daeng) yang dapat memaknai dan menemukan keindahan seni bahkan dari kedifabilitasan.
Namanya Selfiana Senal. Ia menyelesaikan pendidikan SD hingga SMAnya di Kabupaten Wajo. Setelah lulus dari SMA, ia diterima masuk ke Universitas Negeri Makassar (UNM) dengan jalur khusus atau yang biasa dikenal dengan jalur undangan. Adapun Prodinya adalah Pendidikan Seni Drama Tari dan Musik yang disingkat Sendratasik. Ia dapat menyelesaikan pendidikan strata 1 nya hanya dalam waktu 3,8 tahun di tahun 2012. Setelah itu, ia melanjutkan jenjang pendidikan strata 2-nya di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta pada jurusan pengkajian seni di tahun yang sama dan selesai di tahun 2014.
Ketika berkuliah di Yogyakarta inilah Selfiana Senal yang lebih akrab dipanggil kak Selfi awal mengenal dunia difabel. “Itu awalnya
Pada saat saya di Yogya pada tahun 2013 itu saya diajak teman saya untuk membantu merias teman-teman tuli di Deaf Art Community Yogyakarta saat mereka akan pentas. Sesampainya di lokasi tepatnya di taman budaya, saya merasa suasananya ramai tapi kayak hening. Jadi, saya bingung yang mana yang harus saya make up. Setelah beberapa saat saya baru tersadar kalau ternyata semua yang ada di ruangan itu adalah teman tuli. Dia tuh semua tuli, jadi sejak itulah saya mulai meraba-raba seperti apa sih berkomunikasi dengan mereka karena saya tidak tahu bahasa isyarat waktu itu jadi dengan inisiatif sendiri saya mencoba berkomunikasi dengan mengetik pesan di handphone. Namun saya rasa itu agak lama karena mengetik satu per satu huruf. Jadi saya mencoba lagi dengan menulis. Pada saat menonton pertunjukannya, saya diperkenalkan oleh mas Broto waktu itu sebagai pendamping mereka. ia bercerita bahwa mereka semuanya itu tuli. Dalam hati saya berkata, wah ternyata teman tuli juga bisa berkesenian seperti menari, berpuisi, bahkan bermain music”.
“Kemungkinan kalau orang lain sudah paham dari dulu tentang hal tersebut. Tapi kalau bagi saya pribadi itu adalah pengalaman pertama. Melihat teman tuli berkesenian. Nah, dari situlah saya mulai tertarik untuk lebih mempelajari seperti apa sih budayanya mereka, seperti apa sih proses belajarnya mereka. Jadi karena menurut saya itu adalah sesuatu hal yang menarik, maka memutuskan untuk mengangkat itu menjadi salah satu topik penelitian. Tesis saya berjudul “proses kreatifitas penciptaan tari “Aku Ingin Menjadi Kupu-Kupu’ di Deaf Art Community Yogyakarta”.
Selfiani ingin mengkaji lebih dalam proses mereka menciptakan suatu karya tari sebab fokus kajiannya pada seni tari. Menciptakan suatu tari ada beberapa cara, ada yang menggunakan ransang visual, ransang audio dam lain sebagainya. “Jadi saya tertarik untuk mengkaji itu. Seperti apa sih proses mereka dalam menciptakan tari hingga mementaskan tari, dan lain-lainnya”.
Di tahun 2015, Selfi dihubungkan dengan teman-teman tuli yang ada di Makassar oleh relasi dari Yogyakarta. Bertepatan dengan tahun yang sama, ia pun diangkat sebagai dosen di UNM pada Fakultas Seni dan Desain.
Pertemuannya dengan komunitas difabel di Yogya dan kemudian dari relasi ke relasi difabel, membuatnya semakin dikenal di Makassar oleh komunitas difabel, baik Gerkatin maupun HWDI untuk melatih difabel menari.
Ia juga bercerita bahwa setelah menikah, ia jarang berkumpul lagi dengan teman-teman difabel, tapi suatu hari ia mendapatkan chat untuk mendata difabel yang sedang berkuliah maupun yang sudah alumni di tempat ia mengajar dan hal itu kembali membuatnya aktif membersamai teman-teman difabel.
Ia ingin ilmu yang dimilikinya dalam kesenian membuat difabel itu dapat menunjukkan bakatnya dalam pertunjukan seni. Harapannnya dengan pertunjukan tersebut, difabel bisa memberikan edukasi dan advokasi kepada nondifabel, bahwa difabel juga dapat berkesenian dengan indah tanpa diskriminasi. Karena bisa jadi diskriminasi itu timbul karena ketidaktahuan akan kemampuan difabel dan nondifabel itu belum tahu cara berkomunikasi dengan difabel.
Selfi yang menaruh minat yang besar untuk memajukan kemampuan seni difabel, sudah pernah mengadakan pertunjukan seni yang mengkolaborasikan beberapa ragam difabel, seperti difabel netra, tuli, dan juga anak dengan down sindrom.
Itulah sekelumit cerita Selfi mengenai awal ia berkenalan dengan dunia difabel yang awalnya seperti asing, namun lama kelaman hal itu membuatnya bisa memberikan sumbangsi nyata bagi difabel.
Ia juga sempat bercerita melalui aplikasi Mesenger, bahwa sejak mengenal mengenal dunia difabel saat kuliah di Jogja 2013. Ternyata Selfi menyadari bahwa ternyata adiknya ada seorang difabel Intelektual. “Teman sekolah ku waktu TK juga ada seorang disabilitas, teman sekelas ku waktu SD ada seorang tuli. Sepupu dan om Ku juga ada disabilitas intelektual. Tetanggaku ada juga 4 orang tuli dan 2 HOH. Keponakan ku juga ada yang disabilitas fisik. Seiring berjalannya waktu saya merasa ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk teman-teman disabilitas jika mereka membutuhkannya. Jadi saya membagikan ilmu dan pengalaman di bidang seni. Walaupun pada dasarnya saya merasa justru saya yang belajar dari mereka.”
Cerita Selfi tidak berhenti di situ saja. Ia juga mengungkapkan segi-segi keindahan dari teman-teman difabel.”Ok. Terkait keindahan, kalau saya pribadi melihat bahwa kehidupan dari beberapa teman disabilitas itu sebenarnya sangat indah kalau saya hubungkan dengan suatu karya seni. Misalnya nih, teman tuli Dia tuh penuh dengan ekspresi. Jadi kemampuan mereka lebih ke visual jadi tentu ekspresi mereka itu secara alami lebih ekspresif. Hal ini manjadi modal ketika kita ingin memberikan mereka pelatihan pentas puisi, teater, kemudian tari bahkan modelling. Mereka mampu untuk itu karena ekspresi mereka itu sudah terlatih. Jadi, ekspresi mereka itu memang sudah alami. Karena kesehariannya penuh dengan ekspresi. Melalui bahasa isyarat dengan gerak tubuh, menurut saya itu adalah suatu kelebihan yang bisa dikembangkan. Menariknya bahasa isyarat yang mereka miliki membantu saya berkomunikasi dalam pementasan seni pertunjukan”.
Selfi juga merasakan suasana yang ramai tapi tanpa suara, dan ia merasa indahnya di situ ketika bersama dengan teman-teman tuli. Kemudian, menurutnya, teman-teman netra sendiri itu memiliki konsentrasi dan fokus yang tinggi, serta kepekaan audio yang sangat luar biasa sehingga mereka
dapat memainkan musik dengan nada-nada yang tepat.
“Jadi, kepekaan mereka itu menangkap suara-suara . Nah kemampuan ini bisa membuat mereka itu sangat mampu di bidang seni musik atau seni vokal gitu. Karena mereka diberikan kelebihan untuk mendengar sesuatu yang boleh dikata sangat peka di situ, dia sangat bisa konsentrasi di situ. Jadi, ya dengan kemampuan
tersebut saya amati rata-rata teman-teman yang buta total atau pun low vision itu suka menyanyi, suka main musik, dan nada-nadanya tepat. Mereka dianugrahi kemampuan itu dan sudah terlatih di situ. Jadi, tidak ada hambatan sih kalau menurut saya untuk memberikan mereka pelatihan semacam menyanyi atau bermain musik. Ya memang karena mereka sudah diberikan kelebihan untuk bisa menangkap nada-nada dengan pas gitu,” jelasnya.
Lebih lanjut, ketika membahas keindahan dalam kehidupan netra, Selfi melihat bahwa teman netra itu suka berkumpul, bergandengan, memegang pundak teman dari depan ke belakang. Mereka bisa bersusun dengan sangat panjang.
“Jadi saya amati ketika mereka berjalan itu indah. Sebab ada gotong royong di antara mereka. Kemudian saya merasa bahwa mereka itu tenang atau senang Ketika bersama-sama melakukan kegiatan. Jadi, indah saja melihat mereka beraktifitas, begitu,” tambahnya.
“Nah. Kemudian, untuk teman yang disabilitas fisik pun, ketika saya memberikan pelatihan tari misalnya atau melihat mereka berkesenian. Menurut saya ada unsur indahnya Contohnya saat mereka tidak bisa melukis dengan tangan, dia bisa menggunakan yang lain. Dia bisa menggunakan kakinya bahkan mulutnya. Jadi, mereka tuh tidak kehabisan akal untuk memaksimalkan apa yang ada dari dirinya. Nah ini adalah salah satu keindahan yang luar biasa sih menurut saya. Sama halnya Ketika mereka mau menari dengan kursi rodanya atau misalnya menari dengan tongkatnya. Orang yang non disabilitas saja belum tentu bisa melakukannya.
Tapi karena mereka diberikan kemampuan, kemudian memaksimalkan apa yang ada dalam dirinya. Jadi, ya menurut saya itu terlihat sangat indah . “Saya melihatnya
apa yang mereka miliki, ketika mereka dilatih maksimal. Maka hasilnya akan sangat estetik,sehingga membuat kita nyaman dan memberikan pengalaman Estetik bagi khalayak banyak”. Ungkapnya.[]
Reporter: ZAF
Editor : Ajiwan