Views: 14
Solidernews.com – Undang-Undang Penyiaran di Indonesia sudah disahkan sejak tahun 2002. Selama perjalannya, kebijakan ini memang harus direvisi seiring pesatnya perkembangan teknologi penyiaran. Namun, revisi yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dinilai bermasalah dalam proses penyusunan sehingga mengancam keberagaman, kebebasan pers dan hak kelompok rentan.
Revisi Undang-Undang Penyiaran tersebut ditargetkan sah menjadi Undang-Undang pada September 2024 mendatang, dan publik memiliki sisa waktu singkat untuk mengawalnya.
Sejumlah organisasi/lembaga, dan masyarakat sipil tergabung dalam Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi mencatat ada 4 poin masalah dalam revisi Undang-Undang Penyiaran yang sedang dibahas di DPR RI saat ini.
Empat Poin Permasalahan dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran
(1) Perluasan kewenangan KPI ke ranah digital.
Revisi UU Penyiaran meluaskan cakupan wilayah penyiaran konvensional dan penyiaran digital. Konsekuensinya, kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jadi luas. Selain mengurusi penyiaran dalam konten konvensional di layar kaca, dan layar lebar, juga meluas pada ranah digital.
Semisal Pasal 1 Nomor 4, 9, dan 17, KPI turut akan mengawasi dan mengatur konten-konten penyiaran yang tayang di platform digital. Artinya, platform YouTube, Instagram, TikTok, dan lainnya akan diatur mengikuti draf RUU Penyiaran tersebut.
Pasal 94 menjelaskan platform digital penyiaran meliputi layanan siaran suara atau layanan siaran suara – gambar. Artinya, platform radio dan podcast pun akan ikuti aturan ini.
Platform digital penyiaran tidak memproduksi konten sendiri, melainkan diproduksi oleh para conten creator, maka RUU ini juga mengarah kepada conten creator.
Yovanta Arief, Direktur Remotivi menyampaikan, perubahan ini akan mengancam kebebasan pers penyiaran dan kreativitas di ruang digital.
“Undang-Undang ini memaksakan pola pengaturan penyiaran konvensional di ranah digital. Padahal, kedua teknologi tersebut berbeda, hal ini bukannya melindungi tetapi membatasi kreasi,” terang ia.
(2) RUU Penyiaran membungkam pers.
Dalam revisi UU Penyiaran tersebut juga ada kewajiban produk jurnalisme penyiaran untuk tunduk pada aturan KPI.
Nany Afrida, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan, aturan tersebut dapat menyebabkan tumpang tindih kewenangan antara KPI dan Dewan Pers, karena selama ini produk jurnalisme diatur dan diawasi oleh Dewan Pers seperti mandat Undang-Undang Pers. Pembungkaman terhadap pers artinya membungkam terhadap kelompok marginal, karena pembatasan ini membuat ruang gerak pers dalam memberitakan kelompok rentan jadi semakin sempit.
“Undang-Undang Penyiaran memang sudah outdated (ketinggalan jaman), kita memang butuh revisi. RUU Penyiaran boleh direvisi, tapi revisi yang kali ini justru memberangus kebebasan pers. Ini bukan cita-cita revisi yang kita inginkan, ini merugikan banyak pihak,” ujar ia.
(3) KPI yang diskriminatif dan standar ganda.
Revisi UU Penyiaran juga akan memperburuk kualitas demokrasi Indonesia di ruang digital dan diskriminasi kelompok rentan.
Pasal 56 ayat 2 (g) termasuk merugikan masyarakat dan diskriminatif terhadap minoritas gender, karena larangan isi siaran dan konten siaran.
“RUU ini melihat adanya kemunculan media baru sebagai ancaman keamanan nasional. Padahal, ini adalah wadah untuk kelompok marginal menyampaikan ekspresinya di ranah digital, jangan-jangan ini bukan menjadi RUU Penyiaran, tapi RUU Penyensoran,” kata Nenden S Arum, Direktur SAFEnet.
Menurut Astried dari Jakarta Feminist, RUU Penyiaran akan membatasi kreativitas kalangan muda, dan influencer/content creator yang aktif menyuarakan dan berekspresi pada isu-isu sosial.
“RUU Penyiaran ini luput perspektif gender, banyak pasal yang rancu dan multi tafsir sebab tidak ada pelibatan stekholder dalam penyusunannya. Misal, jika jurlanisme investigasi dilarang, ini akan berpengaruh pada liputan-liputan mendalam terkait isu kekerasan atau femisida terhadap perempuan,” ujarnya.
Selain itu Astrid juga menambahkan, pasal-pasal ‘karet’ dalam revisi membahayakan anak muda yang mengkritisi banyak isu sosial. RUU ini berupaya untuk pembungkaman masyarakat sipil.
Menyoroti pembatasan persyaratan untuk menjadi Komisioner KPI, Sarah dari Perempuan Mahardika menyatakan, penghilangan hak warga negara melalui pembatasan kebebasan mendaftar menjadi komisioner, sama dengan penghilangan hak mereka sebagai warga negara dalam kesamaan hak.
“Pembatasan ekspresi-ekspresi tertentu melalui penyensoran sebagai bentuk penyempitan ruang ekspresi marginal adalah bentuk pemiskinan struktural,” imbuhnya.
Ma’ruf Bajammal dari LBH Masyarakat mengatakan, pelarangan peliputan jurnalisme penyiaran yang relevan untuk warga dan atau pelarangan muatan konten yang mengandung narkotika dalam RUU Penyiaran dapat menghambat kebijakan narkotika, khususnya terkait penggunaan ganja untuk keperluan medis.
“Dalam pasal 50 B ayat 2, terdapat pasal terkait penyensoran tayangan yang mengandung narkotika. Padahal, narkotika tidak selalu sifatnya jahat, ada juga yang diperuntukan bagi kepentingan medis. RUU ini memperkuat stigma terhadap narkotika dan penggunanya itu sendiri karena ada penyensoran tersebut,” papar ia.
(4) Sistem Siaran Jaringan (SSJ) yang terkonsentrasi pada perluasan kepemilikan media.
Penegakan SSJ tidak berjalan baik karena aturan turunan maupun regulatornya, sehingga konsentrasi kepemilikan dan geografis penyiaran semakin kuat.
Dalam draf revisi UU Penyiaran 2024, pasal terkait konsentrasi kepemilikan dan kewajiban SSJ memang dihapus yang ‘melegalkan’ konglemerasi media serta konsentrasi kepemilikan dan konten. Namun ironisnya, naskah akademik RUU Penyiaran ini justru mencantumkan pemutusan kepemilikan dan konten.
“Industri penyiaran dikuasai oleh segelintir penguasa. Ini mestinya dilarang dalam RUU Penyiaran, tapi justru dilegalkan, sehingga tidak akan tercipta keadilan ekonomi,” ungkap Yoventra Arief.
Pernyataan sikap Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi
Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi meninta menghentikan pembahasan RUU Penyiaran dalam prolegnas 2024 dan memulai kembali penyusunan RUU tersebut di periode DPR RI selanjutnya dengan pelibatan yang berarti dari stakeholder dan publik.
Beberapa catatan penting dari koalisi ini adalah:
(a) Menghapus pasal-pasal diskriminatif dalam revisi UU Penyiaran karena mendiskriminasi orang-orang atau kelompok tertentu melanggar Konvensi CADAW yang diretifikasi pemerintah Indonesia pada 1984 dan kini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, dan melanggar Konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan.
(b) Menghapus pasal-pasal pembungkaman pers, ketumpangtindihan kewenangan KPI dan Dewan Pers, serta stop memperbesar pemusatan kepemilikan media.
Mereka yang tergabung dalam anggota Koalisi Penyiaran Stop Diskriminasi adalah: Kalyanamitra, Perempuan Mahardhika, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), LBH Masyarakat, The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Jakarta Feminist, Remotivi, Konde.co, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Yayasan Ragam Berdaya Indonesia (YRBI), SEJUK, Arus Pelangi, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), PIKAT Demokrasi, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LETSS Talk, YAPESDI, JALA PRT, WeSpeakUp.org.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief