Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Buku Nikah

Rumah Tangga Difabel: Mampu Atau Ditidak Mampukan?

Views: 6

Solidernews.com – Ada banyak hal yang sulit saat dibayangkan. Misalnya seperti bagaimana pasangan berkursi roda bisa menikah, membuat keluarga percaya, membangun rumah tangga dan merawat anak-anak mereka dengan mandiri. Atau bagaimana pasangan suami istri difabel netra tinggal hanya berdua, membagi pekerjaan rumah tangga, bepergian dan hidup saling membahagiakan. Hal-hal yang saat dijalankan, ternyata ya sangat mudah.

Dalam ilmu psikologi, fenomena ini dapat dijelaskan melalui teori kognitif. Khususnya pada konsep penghindaran dan kecemasan. Singkatnya, teori ini membahas bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku saling memengaruhi, serta bagaimana individu merespons situasi yang menimbulkan ketakutan atau kecemasan yang berasal dari dalam dirinya pribadi, bukan berasal dari luar dirinya. Kecemasan dan ketakutan menyita lebih banyak ruang dalam pikiran dan perasangka, sehingga menguasai mereka dan membuat mereka tak mampu melihat hal-hal baik selain kecemasan dan ketakutan itu sendiri.

Keluarga dengan anak difabel biasanya berharap anak mereka berjodoh dengan pasangan yang nondifabel. Keluarga dengan anak nondifabel biasanya menentang anak nondifabel mereka yang menjalin hubungan percintaan dengan difabel. Sebagian difabel juga ada-ada saja, yang berharap berjodoh dengan pasangan non difabel. Fenomena-fenomena ini secara tidak langsung memberi gambaran tentang bagaimana masyarakat membayangkan rumah tangga seorang difabel. Merujuk pada teori kognitif di atas, masyarakat yang membayangkan ini dihadapkan oleh dampak kecemasan dan ketakutan yang berlebih. Sehingga mereka tidak lagi dapat memikirkan hal lain di luar dari kecemasan dan ketakutan yang terlanjur dibayangkan.

Apakah keadaan fisik, sensorik, intelektual dan mental seseorang secara penuh akan berpengaruh terhadap kondisi rumah tangga yang dia bangun?

Tentu saja, jawabannya adalah tidak. Kondisi fisik, sensorik, intelektual dan mental seseorang seperti kedifabelan ragam tertentu, tidak akan sepenuhnya berpengaruh terhadap kemampuannya dalam membangun rumah tangga. Mungkin akan ada perbedaan-perbedaan tertentu. Misalnya seorang difabel netra yang menjadi Ayah tak mampu mengendarai motor untuk mengantar anaknya ke sekolah, atau seorang difabel mental yang menjadi ibu tak bisa selalu menggendong bayinya. Tapi itu tidak lantas membuat mereka disebut dis-ability (tidak mampu). Difabel netra yang menjadi ayah tetap dapat mengantar anaknya ke sekolah menggunakan layanan kendaraan online, dan difabel mental yang menjadi ibu tetap bisa menggendong anaknya setelah meminum obat yang ia butuhkan. Mereka tetap mampu, dengan cara-cara tertentu yang biasanya bisa didapatkan dengan mandiri, atau didapatkan setelah bertukar pengalaman dengan orang lain yang mengalami kondisi serupa.

Ketidak percayaan keluarga, pasangan dan bahkan diri difabel itu sendiri diakibatkan oleh banyak hal, salah satu penyebabnya adalah stigma negatif yang terjadi di Indonesia. Difabel dianggap tak mampu, apa-apa perlu dibantu, lemah dan tak berdaya. Penyebabnya mungkin saja dari banyak sisi. Salah satunya  seperti segelintir difabel yang turun ke jalan mengenadahkan tangan (mengemis). Sehingga sampai dengan sekarang, difabel masih terlabel sebagai individu yang lemah, perlu dibantu, kasihan dan tak mampu berkontribusi secara aktif di masyarakat.

Padahal pada nyatanya, rumah tangga yang dibangung oleh pasangan yang nondifabel pun sangat banyak yang mengalami kegagalan. Menurut CNBC Indonesia, penyebab perceraian nomor satu di Indonesia adalah pertengkaran atau perselisihan. Disusul dengan masalah ekonomi, salah satu pihak yang meninggalkan pihak lainnya, kekerasan dalam rumah tangga dan penggunaan obat-obatan terlarang. Kelima penyebab perceraian tertinggi ini bukan hanya berpotensi dilakukan oleh difabel, tapi juga berpotensi dilakukan oleh nondifabel.

Kembali membahas teori kognitif dalam ilmu psikologi di atas. Individu biasanya hanya berkiblat pada apa yang mereka rasakan saat membayangkan sesuatu. Biasanya perasaan yang muncul saat membayangkan rumah tangga dengan salah satu, atau bahkan kedua belah pihak adalah difabel adalah perasaan cemas dan takut. Ini kemudian mempengaruhi segala respon baik internal diri, sampai dengan eksternal keputusan yang diambil oleh individu tersebut.

Difabel adalah seseorang yang ability (mampu) melakukan apapun yang menjadi pilihannya. Jika merujuk pada prespektif sosial dan human right, ketidak mampuan difabel hanya disebabkan oleh konstruksi sosial. Difabel fisik yang menggunakan kursi roda tak mampu ke Mall karena pelataran Mall penuh dengan undakan tangga. Difabel Tuli tak bisa menikmati siaran berita di televisi karena tak ada juru bahasa isyarat atau subtitel. Difabel menjadi tak mampu bukan karena pribadi diri mereka, tetapi karena desain dunia yang tidak mempertimbangkan kemampuan mereka.

Dalam konteks rumah tangga, di mana membangun rumah tangga nyaris sama dengan membangun keluarga. Sesuatu non fisik, ikatan emosional, aturan kehidupan yang disepakati bersama, jalan dan pilihan hidup yang baru. Pasangan yang memutuskan untuk menikah dan membangun keluarga akan mendesain kehidupan mereka sendiri. Poinnya ya di kata desain itu.

Karena mereka, entah itu suami difabel dan istri non difabel ataupun keduanya sama-sama difabel yang akan mendesain rumah tangga tersebut. Otomatis proses desainnya akan berbasis pada kemampuan difabel itu sendiri. Proses desain atau perancangan yang melibatkan difabel dan mempertimbangkan kemampuan difabel, berpotensi besar dapat memberi ruang difabel untuk menjadi ability (mampu) dalam hal tersebut.

 

Jadi, kecemasan dan ketakutan dalam membangun rumah tangga dengan pasangan difabel harus dibumi hanguskan. Difabel dan nondifabel sama saja. Karena dalam rumah tangga, komitmen dan keinginan untuk berjuang bersama adalah kunci utama. Pasangan difabel atau pasangan non difabel, semuanya punya peluang yang sama besar untuk sukses atau bahkan gagal dalam membina rumah tangga.[]

 

Reporter: Nabila May

Editor     : Ajiwan

 

 

Referensi :

https://www.cnbcindonesia.com/research/20240615093818-128-546846/5-penyebab-perceraian-paling-banyak-di-ri-ternyata-bukan-selingkuh

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content