Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Rendahnya Tingkat Pencapaian Pendidikan Difabel, Memicu Lingkaran Kemiskinan

Views: 11

 

Solidernews.com. PENDIDIKAN inklusif. Adalah alternatif bagi orang berkebutuhan berbeda (difabel) yang masih mampu mengikuti pelajaran. Banyak difabel yang berhasil mengikuti pembelajaran, yang bahkan secara akademik mengungguli nondifabel.

Dengan bersekolah di sekolah reguler, difabel mendapatkan kesempatan bersosialisasi dengan nondifabel. Secara psikologis, kondisi positif tersebut akan meminimalisir rasa rendah diri. Kondisi sosiologis yang  menimbulkan kesetaraan dengan siswa lainnya.

Karena, mengakses pendidikan adalah hak semua orang. Kemudahan dalam mengaksesnya, menjadi tanggung jawab bersama dalam pemenuhannya. Bagi difabel, kompleksitas tantangan melingkupinya. Ada perjuangan lebih untuk mendapatkan hak pendidikan.

Masa transisi, perlu dipersiapkan bagi lulusan Sekolah Luar Biasa (SLB) yang hendak belajar di sekolah inklusi. Sebagaimana siswa pada umumnya dari jenjang SD ke SMP, SMP ke SMA, membuat masa transisi menjadi penting. Pada saat itu, pelajar mengenal lingkungan sosial, sistem, dan cara belajar yang baru. Hal ini akan berpengaruh pada hasil belajar jenjang berikutnya.

Kemampuan beradaptasi dengan hal-hal baru sangat menentukan pencapaian belajar. Jika adaptasi berjalan baik, maka hasil belajar akan baik juga.

 

Beda beban belajar

Bagaimana transisi lulusan SLB ke sekolah reguler (inklusif)? Jawabannya: akan menjadi sangat tidak mudah, ketika tidak dipersiapkan dengan baik. Perhatian dari sekolah dan orangtua sangat diperlukan. Pendampingan mutlak diberikan. Sebab, terdapat perbedaan beban belajar atau kurikulum di sekolah jenjang berikutnya. Adaptasi yang sangat baik, dibutuhkan siswa lulusan SLB, agar hasil belajarnya juga baik. Minimal tidak tertinggal dari siswa di kelasnya.

Pengalaman di atas dibagikan oleh Laksmayshita Khanza (29). Perempuan tuli, yang pernah menempuh pendidikan inklusi pada jenjang sekolah atas dan perguruan tinggi.

Ia mengungkapkan bahwa terdapat perbedaan antara SLB-B dengan sekolah reguler. SLB-B, ialah sekolah khusus siswa tuli. Sedang di sekolah reguler, berisi siswa dengan beragam latar belakang. Salah satu perbedaan yang dirasakan adalah beban kurikulum. Khususnya dalam cara penyampaian pelajaran.

Dia mencontohkan. Di SLB, guru menggunakan bahasa sederhana dan langsung ke inti. Pada mata pelajaran matematika, instruksi yang diberikan: ‘1 + 1 = 2.’ Sementara di sekolah umum, bahasa yang digunakan lebih kompleks. “Si A membeli minuman 1, ditambah B membelikan A 1 lagi. Berapa jumlah minuman yang dipunyai A?”

Perbedaan cara guru mengajar tersebut, berdampak pada dirinya yang tuli, mengalami kesulitan. Bahkan, Shita mengaku sempat merasa tertekan dan ingin kembali bersekolah di SLB. Terlebih ketika guru di kelas mengajar hanya dengan metode menjelaskan, tanpa menulis di papan tulis. Lalu  guru memberi siswa tugas untuk merangkum apa yang sudah disampaikannya di kelas. Kondisi tersebut semakin memberikan tekanan pada Shita yang tuli.

 

Keterbukaan komunikasi

Kepada solidernews.com, Shita yang kini menjadi ibu dari seorang bayi perempuan, mengaku lega setelah sampai rumah. Karena dia selalu punya tempat membagikan pengalaman belajarnya kepada sang ibu. Dari keterbukaan komunikasi yang sudah terbiasa dibangun, Shita tak sendiri menghadapi tantangan belajar di sekolah inklusi.

Solusi demi solusi pun terbuka. Berbagai tantangan pada proses belajar, diteruskan ke pihak guru dan sekolah. Karenanya, proses inklusivitas, perlahan menuju perbaikan. Dengan dukungan banyak pihak, Shita berhasil melewati setiap tantangan. Menyelesaikan pendidikan menengah atasnya, hingga pendidikan strata satu (S1), di Universitas Sarjana Wiyata Tamansiswa Yogyakarta.

Merever perbedaan beban kurikulum dan perbedaan cara mengajar SLB dengan sekolah reguler. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh. Mengingat, karena berbagai kondisi tak semua siswa bisa memperoleh dukungan dari lingkungannya.

 

Sekolah transisi bermakna

SLB, seyogyanya benar-benar menjadi sekolah transisi yang bermakna. Beban kurikulum dan cara mengajar disetarakan. SLB harus mulai berwawasan visioner. Semua siswa, dipersiapkan bersekolah di sekolah reguler. Pencapaian, adalah hasil dari proses yang dibangun bersama.

Membekali bagaimana siswa difabel berpengetahuan, adalah hal dasar yang perlu dikembangkan di SLB. Jika tidak, maka difabel akan terus menjadi kelompok minoritas yang marginal. Kesadaran kemanusiaan pun harus ditumbuhkan dan dijaga. Bahwa, minimnya difabel yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, hal ini memicu terjadinya lingkaran kemiskinan.

 

Minimalisir batasan

Difabel, merupakan kelompok minoritas terbesar di dunia. Lebih dari satu miliar orang atau setara dengan 15% penduduk dunia, adalah difabel. Sebanyak 190 juta (3,8%) di antaranya berusia 15 tahun ke atas. Menurut World Health Organization (WHO), negara berkembang, memiliki prevalensi penduduk difabel lebih tinggi.

WHO mendefinisikan difabel memiliki tiga dimensi. (1) penurunan struktur atau fungsi tubuh dan mental seseorang, karena gangguan yang disebabkan oleh hilangnya anggota badan dan kehilangan memori, (2) keterbatasan aktivitas, yaitu kesulitan melihat, mendengar, berjalan, atau memecahkan masalah, dan (3) pembatasan partisipasi dalam kegiatan sehari-hari oleh lingkungan, dalam bekerja, terlibat dalam kegiatan sosial dan rekreasi, dan memperoleh perawatan kesehatan dan layananan pencegahan.

Berbagai hambatan dapat membatasi akses mencapai peluang dan layanan dasar kesehatan, pendidikan, dan pekerjaan. Difabel merupakan kelompok heterogen dan memiliki kerentanan, bergantung pada tingkat, jenis, hambatan, serta karakteristik individu dan sosial.

Batasan-batasan yang mereka dihadapi, berdampak pada hilangnya berbagai kesempatan mendapatkan hak hidup. Mereka menjadi menjadi kelompok yang tidak terlihat. Kehilangan akses pendidikan, kehilangan partisipasi dalam bermasyarakat, kehilangan kesempatan mendapatkan pekerjaan, serta difabel tidak termasuk ke dalam strategi pembangunan. Jika sudah demikian, difabel semakin rentan dan marginal. Menjadi sangat erat dengan kemiskinan, bahkan kemiskinan kronis.

Mengambil jeda sejenak menjadi perlu. Untuk menyadari, bahwa batasan yang ada sudah saatnya diminimalisir. Cara pandang, bahwa difabel adalah manusia dengan seluruh haknya yang melekat sama, diresapkan dalam dasar jiwa[].

 

Reporter  : Harta Nining Wijaya

Editor        : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content