Views: 16
Solidernews.com. “ALHAMDULILLAH, Yoga menjadi Finalis UOB Painting of the Year. Yang mendaftar seribu lebih. Yoga sebagai salah satu di antara 49 besar finalis. Kini karyanya turut dipamerkan, di Gedung AA Maramis, Jakarta pusat”. Kabar gembira diterima solidernews.com melalui pesan whatsapp, pada akhir Oktober lalu. Tepatnya, Selasa (22/10/2024) oleh Dyah Widi (Widia), ibunda Tangguh Zhafran Prayogatama (Yoga).
Selanjutnya Widia menjelaskan apa itu kompetisi UOB Painting of the Year. Yaitu salah satu even kompetisi yang digelar di berbagai negara. Indonesia, satu di antaranya. Ibu tunggal itu juga menceritakan, bagaimana dirinya berproses mendampingi anaknya yang autis, menemukan bakat melukisnya.
Kompetisi UOB Indonesia Painting of the Year 2024, kata Widia, tahun ini adalah yang ke-14 kalinya. Tujuannya, untuk merayakan bakat-bakat baru dalam dunia seni Indonesia. Kompetisi ini mendorong para seniman, baik pendatang maupun profesional, untuk mengeksplorasi kreativitas mereka dalam memotret isu-isu sosial, budaya, dan lingkungan. Kompetisi ini juga tidak dibatasi usia, dan berlaku untuk siapa pun seniman. Tak hanya difabel perupa saja, terang dia.
Terinspirasi pengalaman terapi
Lanjutnya, Yoga bisa masuk finalis itu sungguh tidak menyangka. Pada eksibisi ini Yoga mengirimkan karya tentang PECS (picture exchange communication symbol). Karya-karya yang dibuat berdasarkan pengalaman Yoga sendiri, saat mendapatkan terapi wicara.
PECS adalah kartu bergambar yang dikembangkan oleh Andy Body, Ph.D, dan Lori Frost MS tahun 1985. Difungsikan sebagai sarana berkomunikasi, pada anak-anak dengan spektrum autisme disorder (ASD).
Menurut penelitian Dr Leo Kanner dari Universitas Johns Hopkins (1943) dan Ni Wayan P dari UGM (2015), orang dengan autisme memiliki hambatan dalam berkomunikasi secara verbal. Dalam penelitian tersebut autisme biasa menggunakan bahasa non verbal untuk berkomunikasi. Salah satu bahasa non verbal tersebut adalah, bahasa visual yang berupa gambar atau simbol.
Kali ini, Yoga mengadopsi metode PECS berdasarkan pengalamannya saat mendapatkan terapi wicara. Karya lukisnta berisi 49 kolase lukisan, sebagaimana kartu dalam PECS. Berisi pesan tentang: hal-hal yang disukai dan yang tidak disukai, kenangan, cita-cita dan harapan, komitmen, imajinasi dan ajakan kepada masyarkat.
Harapan diselipkan Yoga melalui karyanya. Bahwa bahasa visual, bisa menjadi jembatan komunikasi bagi orang dengan autisme dengan lingkungan sekitarnya. Sehingga, lingkungan dapat memahami dunia autisme.
Berproses mengikuti naluri
Sebagai seorang ibu dengan anak pertama dan satu-satunya, Widia awalnya tidak memahami keadaan putranya. Saatnya sekolah, Widia pun menyekolahkan anaknya, di sekolah reguler. Komplain dan bulian, karena Yoga yang tidak bisa diajak berkomunikasi tak pelak menghampiri. Demikian juga dengan Yoga yang memiliki keasyikan sendiri.
Hingga pada akhirnya, seorang dokter menyatakan bahwa Yoga adalah seorang anak dengan autism (ASD). Ketika itu Yoga duduk di kelas tiga sekolah dasar. Yang Widia tahu, bahwa setiap saat Yoga melukis, di berbagai media. Di tanah, tembok, kertas.
Menyiapkan kertas dan alat gambar, pada akhirnya dilakukan Widia. Benar saja, Yoga menikmati waktunya dengan mencorat-coret kertas dengan crayon warna-warni. Hingga seorang seniman memaham goresan karya Yoga, yang tak disadari bahkan oleh ibunya sendiri.
“Awalnya kami tidak paham bakat Yoga. Karena orang bilang, gambar Yoga jelek. Gambar kok dicorat-coret. Sementara anak lain gambarnya rapi. Tapi ada seorang seniman yang memperhatikan. Namanya Pak Bayu Asmoro. Dia yang tahu goresan Yoga, kalau saya tidak tahu,” ujar Widia.
Setelah satu tahun belajar, Yoga semakin terlihat potensinya. Guru melukisnya mulai mengarahkan Yoga mengikuti pameran karya lukis. Kini karya Yoga sudah ribuan. Karena hampir setiap hari, anaknya itu melukis. Yoga juga sudah puluhan kali mengikuti pameran. Pameran terakhir, sebelum UOB Painting Of the Year, ialah di ARTJOG. Pameran lukisan kontemporer bergengsi, berskala internasional juga. Yoga merupakan salah satu dari 4 difabel seniman yang berpameran ketika itu.
Dan kini, segala upaya yang dilakukan sang ibu dan anaknya, berhasil mengantarkan Yoga yang kini duduk di kelas 2 SMP itu, sebagai salah satu finalis pada UOB Painting Of the Year ke-14 di Indonesia.
“Sebagai ibu memang harus menerima dan memahami anak yang kita lahirkan. Selanjutnya berusaha menemukan bakat anak kita. Setelah ketemu, carikan jalan. Memang lelah, tapi itu harus dilakukan orang tua,” imbuh Widia.
Pada kesempatan berbincang dengan solidernews.com, Widia menitipkan harapan. “Semoga prestasi yang telah diraih Yoga, dapat menginspirasi anak-anak dengan autisme di Indonesia. Dia menyadari betul pentingnya sebuah penerimaan. Karena dari sana, akan lahir usaha orang tua. Untuk apa? Untuk mengantarkan anak-anak difabel menemukan masa depannya,” pungkasnya.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan