Views: 8
Solidernews.com – Menurut Anis Hidayah, Komisioner Komnas HAM, catatan data kasus Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada Komnas Perempuan 2022-2023 ada 4.179 kasus, Komnas HAM antara Mei 2022 – Juni 2024 : 274 kasus. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) 2023 ada 391 kasus, 2022: 11.682 kasus, 2023: 13.156 kasus, dan 2024: 5.302 kasus.
Komnas HAM sendiri memiliki inisiatif membuat kebijakan pencegahan dan penanganan TPKS melalui satgas TPKS di lingkungan Komnas HAM melalui peraturan Komnas HAM nomor 2 tahun 2024.
Inilah mengapa alasan pemilihan tema kolaborasi pemerintah daerah dan masyarakat sipil dalam pencegahan dan penanganan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi salah satu pleno, bahkan pleno pertama untuk didiskusikan pada Festival HAM 29-31 Juli di Kota Bitung, bahwa TPKS adalah salah satu pelanggaran HAM.
Dalam setiap hari berapa perempuan dan anak kelompok rentan yang menjadi korban. Anis menyebut kasus terbaru, Meila pendamping korban di Jogja yang dijadikan tersangka karena ia mendampingi puluhan korban. Ini bisa diartikan bahwa hadirnya Undang-undang TPKS yang sudah berusia lebih 2 tahun belum berjalan efektif karena berbagai hal. Maka perlu penekanan pentingnya kolaborasi dibangun bersama untuk mencegah dan menangani TPKS berbasis HAM. “Keberadaan UU TPKS tidak hanya jadi payung hukum untuk memastikan bahwa efek jera ditegakkan tetapi perlindungan bagi para korban sesuai HAM dan bagaimana seluruh lingkungan dengan berbagai usia bisa dicegah,” terang Anis.
Lantas pertanyaannya adalah mengapa TPKS masih terjadi? Menurut Anis sebab masih ada budaya patriarki sehingga kekerasan terus terjadi. Sebab kedua pasca disahkan UU TPKS suara korban hadir di ranah online/publik yang sebelumnya rumah gelap, karena korban takut diintimidasi dan mendapat serangan balik. Seperti yang bisa publik lihat beberapa waktu lalu seorang pejabat publik (Ketua KPU) dicopot dari jabatannya karena terjerat kasus kekerasan seksual.
Kemudian Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) menjadi salah satu jenis kekerasan yang banyak terjadi dengan statemen-statemen perekaman untuk mengintimidasi para korban muncul di permukaan.
Anis menandaskan bahwa semua orang berpotensi untuk menjadi korban kekerasan seksual. Ia bertestimoni jika 24 tahun lalu pernah menjadi korban kekerasan seksual. Trauma 24 tahun lalu sampai saat ini masih ia rasakan.
Lantas hal yang sering ditemui di lapangan pada kasus-kasus kekerasan dan sangat fundamental adalah bagaimana tindak kekerasan seksual ini terjadi di relasi kuasa. Maka terjadilah kasus-kasus didalam keluarga, kasus di pejabat kpu, kasus di perguruan tinggi, pesantren, dan betapa relasi kuasa menjadi modus paling besar sehingga di UU TPKS diatur agar tidak disalahgunakan. Kenapa ada penekanan relasi kuasa? Karena harus menjadi prinsip dasar bagaimana undang-undang ini tidak hanya menjerat pelaku tetapi upaya menjadikan lingkungan bebas kekerasan seksual.
Saat ini baru ada 7 Peraturan Pemerintah (PP) dari 9 yang diharapkan terbit. Maka Komnas HAM berharap ke depan ada percepatan aturan turunan yang belum terbit.
Perbaikan sistem hukum yang sadar gender dan keberpihakan pada korban, hak korban mendapat restitusi dan pencacahan daya lagi dengan kampanye, Melibatkan komunitas dan organisasi dalam usaha pencegahan kekerasan seksual dan mendorong upaya-upaya pencegahan dibentuk yang dibentuk secara masif.
Statemen Ketua Komnas Perempuan
Ada beberapa hal yang menjadi catatan Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan dalam sesi tanya jawab dan diskusi pleno, ia mempertanyakan yang menjadi masalah hukum di Indonesia ini adalah perspektif dulu atau willingness (kesediaan/kemauan_red) dulu? Karena yang terjadi kadang sudah ada bukti kasat mata di depan pun kasus tidak selesai sama sekali. Menurutnya ini adalah dua muka dalam koin yang sama untuk satu penegakan hukum. Baik itu perspektif maupun keinginan untuk menyelesaikan perlu sekali diupayakan melalui pengembangan- pengembangan yang dapat dilakukan oleh berbagai pihak termasuk pemerintah daerah.
Andy menceritakan seminggu lalu ia baru pulang dari konferensi nasional satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) dengan peserta berbagai universitas. Harapannya Satpas PPKS saat ini yang sedang banyak bergulat untuk memastikan pencegahan dan penanganan yang lebih baik, dikaitkan dengan unit terpadu yang ada di setiap daerah. Satu persoalan adalah ada universitas yang tidak mempunyai misalnya fakultas psikologi, menurutnya ini akan menjadi pekerjaan rumah tersendiri.
Ke depan, Andy berharap ada harmonisasi peraturan pemerintah dan ke depan ada banyak ruang kolaborasi.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan