Views: 3
SoliderNews.com, Yogyakarta – Seleksi Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) tahun ini (2023) telah dibuka, di berbagai lembaga pemerintahan. Tak kurang dari 24 kementerian dan lembaga negara, juga membuka formasi rekrutmen mereka untuk penyandang disabilitas (difabel).
Peluang ini, sejatinya dapat memperbanyak jumlah difabel di sektor ketenagakerjaan formal. Menyerap sekian banyak difabel sarjana, yang dalam 10 tahun terakhir ini angkanya meningkat dari 1% menjadi 3%. Peluang ini juga memberi peluang kepada masyarakat secara umum, untuk melibatkan difabel di berbagai lingkup sosial.
Tujuannya sudah benar, tapi proses rekrutmennya sendiri tampaknya belum ramah. Bahkan cenderung mempersulit para difabel untuk bisa melamar.
Persyaratan memberatkan dan intimidatif
Setidaknya ada tiga hal yang perlu disoroti dalam proses rekrutmen CPNS khusus bagi penyandang disabilitas. Pertama, adanya persyaratan untuk menyertakan video bagi difabel pendaftar. Berdasarkan ketentuan, video tersebut diharuskan berdurasi maksimal 5 menit, menampilkan seluruh badan dan bagian tubuh yang mengalami disabilitas, dan dapat menunjukkan kegiatan sehari-hari pelamar dalam menjalankan aktivitas sesuai jabatan yang akan dilamar.
Sementara, video aktivitas keseharian pendaftar tidak sepenuhnya dapat menggambarkan kondisi disabilitas, atau bagaimana pendaftar dapat bekerja dengan baik. Demikian juga dengan difabel mental dan psikososial, serta orang dengan ragam disabilitas yang tak kasat mata (invisible disabilities), disleksia sebagai contoh, dalam keseharian terlihat sebagaimana orang tanpa disabilitas. Karenanya video kegiatan keseharian mereka, tak akan menampakkan profil seorang difabel.
Jika saja, tujuan dari penyertaan video adalah untuk mengetahui sejauh mana peserta seleksi mampu bekerja secara mandiri, hal ini dapat ditelusuri dengan wawancara kepada yang bersangkutan. Jika merunut tahapan dalam proses seleksi, hal ini dapat dilakukan di tahap selanjutnya, bukan dalam proses aplikasi.
Terlebih lagi, penyertaan video tersebut hanya berlaku bagi pendaftar difabel. Ini tidak hanya memberikan tambahan persyaratan yang memberatkan, namun juga bentuk diskriminasi terhadap para difabel. Tidak setiap orang, terutama difabel netra, dapat dengan mudah merekam video, mengedit, dan mengirimkannya tanpa bantuan orang lain.
Kedua, persyaratan mampu memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (tech-savvy) untuk menunjang pekerjaan. Syarat ini tidak dicantumkan bagi pendaftar nondifabel. Apakah dengan demikian, pendaftar difabel harus tech-savvy, tidak dengan para pendaftar nondifabel?
Jika ukuran tech-savvy yang dimaksud adalah seperti kemahiran menggunakan media digital bagi difabel netra, tanpa disyaratkan demikian pun mereka tidak akan bisa mendaftar jika mereka tidak tech-savvy.
Di tengah ketimpangan aksesibilitas dan inklusi digital di Indonesia, difabel yang tech-savvy pun akan terdiskriminasi. Jika, pemerintah tidak memastikan aksesibilitas digital dan teknologi informasi.
Ketiga, masih abainya panitia rekrutmen CPNS pada aksesibilitas dan akomodasi peserta seleksi dengan disabilitas.
Setelah pengisian ragam disabilitas di formulir pendaftaran, tidak ada pertanyaan atau isian lanjutan yang berkenaan dengan hal yang lebih spesifik, terkait spesifikasi kedisabilitasan. Apakah disabilitas daksa tertentu, disabilitas sensorik (tuli, netra), dan sebagainya. Hal ini akan berdampak pada tidak terpenuhinya, kebutuhan spesifik para difabel.
Jika pendaftar memilih “disabilitas daksa” di formulir, hal tersebut belum jelas apakah daksa yang dimaksud adalah pengguna kursi roda, pengguna kruk, atau orang dengan disabilitas daksa tangan, atau bahkan kombinasi dari dua atau tiga kondisi disabilitas daksa tersebut. Begitu pula jika pendaftar mengisi “disabilitas ganda”, tidak ada syarat penyebutan detail kegandaan tersebut terdiri dari disabilitas apa saja.
Isian lanjutan tersebut juga akan menentukan apa yang harus disediakan penyelenggara seleksi untuk pendaftar penyandang disabilitas. Jika panitia dapat mengumpulkan data sedetail mungkin terkait akomodasi yang dibutuhkan, penyelenggaraan seleksi akan lebih mudah disesuaikan.
Formulir pendaftaran yang mensyaratkan keberadan video justru dapat diganti dengan pertanyaan lanjutan tentang kondisi disabilitas tersebut atau mengenai akomodasi apa yang dibutuhkan penyandang disabilitas selama menjalani seleksi.
Apa yang harus dibenahi?
Pertama, semestinya panitia menanyakan dan memastikan kebutuhan calon peserta pada masing-masing tahapan rekrutmen. Penjelasan lengkap mengenai mekanisme tiap tahapan seleksi akan mempermudah penyesuaian dan memberikan gambaran kepada calon peserta, tentang akomodasi apa yang mereka butuhkan.
Kedua, memastikan aksesibilitas pengumuman, platform pendaftaran, dan soal tes. Meskipun isi pengumuman dapat dibacakan orang lain, pengisian formulir bisa dibantu teman atau kerabat, atau soal tes bisa dibacakan petugas. Aksesibilitas yang aksesibel, dapat memberi pengalaman yang sama bagi pengguna screen reader, sebagaimana orang awas yang tidak menggunakan alat bantu.
Ketiga, memastikan bahwa difabel juga dapat mendaftar di formasi umum. Jika tidak, segregasi jenis pekerjaan akan menjebak para penyandang disabilitas atau difabel.
Pada 2019, sistem pendaftaran cenderung mengeksklui difabel. Mereka hanya dapat mendaftar pada formasi tertentu. Hal ini membuat hak difabel terbatasi. Tidak semua difabel tidak dapat bersaing dengan non-difabel, pada formasi umum.
Keempat, menyediakan template suratketerangan disabilitas. Persyaratan ini perlu ditinjau ulang. Sebab, tidak setiap rumah sakit atau puskesmas terbiasa memberikan surat keterangan disabilitas.
Sepanjang pengalaman Subdirektorat Layanan Disabilitas Universitas Brawijaya, dalam mempermudah calon pendaftar Seleksi Mandiri Penyandang Disabilitas, mendapatkan surat keterangan disabilitas, template telah disiapkan. Dengan demikian, petugas rumah sakit atau puskesmas dapat dengan mudah memahami maksud dan kebutuhan calon pendaftar.
Kelima, keterlibatan penyandang disabilitas, organisasi difabel, atau komisi nasional disabilitas dalam proses rekrutmen sangat penting untuk membuat seluruh tahapan rekrutmen berjalan sesuai dengan kebutuhan aksesibilitas dan akomodasi. Konsultasi atau diskusi dengan berbagai kalangan, terutama kepada penyandang disabilitas dan organisasinya, dapat memberikan kontribusi berupa saran yang signifikan dalam proses seleksi CPNS[].
Penulis : Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan
Dinarasikan dari laman web The Conversation, Selasa (11/10/2023).