Views: 11
Solidernews.com – Mengalami depresi di usia muda bukanlah suatu yang harus ditutupi oleh Regisda Machdy Fuadhy. Perjalanan depresinya mengantarkan ia menulis buku “Loving Wounded Soul” hingga menjadi best seller. Sosoknya sangat inspiratif untuk anak muda yang relate dengan kehidupan dan isu kesehatan mental.
Kesempatan bertemu dengan Regis, saya manfaatkan untuk mencecap sisi lain Regis yang saya kenal sebagai orang ramah dan periang. Kali pertama tatap muka dengan penulis buku, konsultan dan pendidik di salah satu sekolah di Thailand. Saya ikuti instagram pribadi Regis yang dari sanalah saya tahu, ia mengadakan Meet and Greet di kampus UNS bersama mahasiswa jurusan Psikologi.
Hari itu cukup cerah dan saya segera masuk dalam ruangan yang sudah ditentukan panitia. Saya dapat masuk karena sudah dapat lampu hijau dari Regis untuk gabung dalam acara tersebut. Ternyata hampir 100 orang yang ada dalam ruangan tersebut dan semuanya mahasiswa. Tentu saya tidak ragu untuk mengambil barisan depan agar leluasa mendengar dan mengambil gambar.
Regis dengan santai berbicara kepada para mahasiswa, ia menggunakan bahasa yang ‘anak muda banget’ namun penuh makna. Regis, mengawali pembicaraan dengan ceritanya mengalami depresi.
“Saya dulu ambis (berambisi) banget. Depresi membuat saya bisa memaknai hidup. Dulu saya gak bisa nangis lho”, ucap Regis.
Hampir 40 menit saya menikmati cerita Regis yang membagikan pengalaman pribadi sebagai penyintas depresi. Konseling dan terapi yang dijalani juga diceritakan kepada para peserta.
“Manusia kan kompleks ya, dalam diri itu ada emotion, mind dan body. Kadang kita hanya fokus di mind atau pikiran aja, lupa ke emosi dan tubuh kita”, terang Regis.
Melalui cerita-cerita yang Regis rangkai, ia mulai mengajak generasi muda untuk mengenali diri mereka, menerima kekurangan, dan memahami bahwa it’s okay to be broken. Kalimat ini bagi saya sangat dalam karena selayaknya manusia biasa, merasa sedih dan kecewa adalah hal lumrah. Bagi orang yang pernah terluka hingga depresi, hal itu bukanlah aib dan sangat dianjurkan untuk mencari pertolongan kepada orang yang tepat.
Tidak hanya perempuan, lelaki pun punya kesempatan untuk menangis dan bersedih. Hal ini yang disampaikan pada awal sesi kedua. Regis berpesan tentang Toxic Masculinity yang seharusnya banyak orang pahami. Maskulinitas tentu tidak salah, tetapi aspek kelembutan dan emosi bukan hanya milik perempuan. Lelaki berhak dan tentu memiliki kesetaraan dalam meluapkan emosi dan tidak harus merasa kuat.
Dari penuturan Regis mengenai isu kesehatan mental di anak muda, saya mulai membayangkan apa jadinya jika anak muda tidak mampu mengenali diri sendiri dengan baik. Berita yang makin banyak didengar saat ini yakni anak muda mulai mengambil jalan pintas untuk mengakhiri hidup sebagai solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi. Tentu hal ini perlu dicegah dengan sebaik mungkin dimulai dari sendiri hingga lingkungan yang sehat.
Tekanan Hidup: Perjuangan yang Nyata
Anak muda yang sedang dalam masa sekolah atau kuliah seringkali menghadapi tekanan yang luar biasa baik dari keluarga atau lingkungan. Tuntutan nilai akademik, ekspektasi keluarga, pergaulan sosial, hingga pencarian jati diri sering menjadi beban yang tidak terlihat. Regis mencontohkan dirinya depresi dari ringan ke berat saat berkuliah baik di dalam atau luar negeri. Latar belakang kuliahnya di jurusan Psikologi membantunya untuk bisa mencari solusi terbaik dengan melakukan konseling ke psikolog dan terapis yang ia percaya.
Dalam kisahnya, Regis cukup berat saat kesehatan mentalnya di titik terbawah dan dihadapkan dengan studi yang harus segera selesai (saat itu Regis kuliah di luar negeri). Untungnya pihak kampus mau mengerti dan memberikan kesempatan pada Regis untuk melakukan ‘penyembuhannya’ dan tetap bisa menyelesaikan studi dengan baik. Saya rasa hal inilah yang harus dimiliki di sekolah dan kampus-kampus di Indonesia. Lingkungan yang sehat bagi orang yang mengalami masalah dalam kesehatan mental tidak di judge atau diberikan stigma negatif melainkan didukung untuk bisa ‘sembuh’.
Anak Muda Harus Mengenal Diri: Siapa Kita?
Regis mengungkapkan pentingnya mengenali emosi, pikiran, dan luka yang ada di dalam diri. Baginya, “brokenness” atau perasaan hancur adalah bagian dari pengalaman manusia yang universal. Terkadang kita terlalu keras pada diri sendiri sehingga lupa untuk mengenali bagaimana perasaan kita yang seharusnya perlu kita sikapi dengan bijak.
Lebih jauh, kemampuan mengenali diri memungkinkan anak muda untuk membangun hubungan yang sehat dengan diri sendiri dan orang lain. Ketika seseorang memahami apa yang ia rasakan dan mengapa, ia dapat mengelola konflik internal dan eksternal dengan lebih baik. Hal ini juga memupuk rasa kasih sayang terhadap diri sendiri, yang menjadi pondasi penting dalam membangun rasa percaya diri dan ketangguhan mental.
Penghormatan Pada Penyintas
Dalam salah satu sesi yang paling menyentuh bagi saya, Regis berbagi cerita tentang pengalamannya menghadapi krisis identitas di masa muda. Ia berpuluh-puluh kali terapi berbagai macam hingga ia menemukan dirinya kembali. Ia juga menekankan bahwa berbicara tentang perasaan kepada orang yang dipercaya adalah langkah penting.
Jika saat ini telah digaungkan isu kesehatan mental secara masif, tentu kita perlu tahu istilah disabilitas psikososial. Disabilitas psikososial merujuk pada kondisi kesehatan mental yang berdampak signifikan pada kemampuan seseorang untuk menjalani aktivitas sehari-hari, berinteraksi dengan orang lain, atau berpartisipasi dalam masyarakat. Kondisi ini mencakup berbagai gangguan mental seperti depresi berat, gangguan kecemasan, gangguan bipolar, skizofrenia, dan PTSD (post-traumatic stress disorder) dan lain-lain.
Difabel psikososial bukan hanya soal gejala yang dialami, tetapi juga bagaimana labelling, stigma, atau diskriminasi yang diperoleh dari lingkungan memperparah kondisi dari individu. Hal ini membuat mereka sering kali merasa berbeda, asing, kehilangan kesempatan, dan kurang dihargai dalam berbagai aspek kehidupan.
Kesadaran masyarakat untuk menerima keberadaan dan menghormati serta memberikan dukungan emosional maupun sosial menjadi langkah penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi penyintas. Seperti halnya Regis yang mampu untuk menjadi role model bagi penyintas depresi yang mampu berkarya dan mengekspresikan diri dengan baik.
Menerima Kondisi : It’s Okay to Be Broken!
Pesan utama yang disampaikan Regis adalah bahwa perasaan hancur atau gagal adalah hal yang wajar. Ia mengingatkan bahwa tidak ada hidup yang selalu mulus.
“Enggak apa-apa kalau kita tidak sempurna,” jelasnya.
Dalam buku yang ia tulis juga menjelaskan bahwa menerima diri sendiri dengan segala kekurangan, serta belajar memaafkan orang lain, adalah kunci utama untuk melepaskan beban emosional. Loving Wounded Soul mengingatkan kita bahwa meski sedang terluka, jiwa tetap memiliki potensi untuk mencintai dan sembuh. Setiap orang memiliki perjalanan menuju penyembuhan yang berbeda dan tentu ada tantangan, tetapi hal itu adalah proses yang layak dijalani demi menemukan jati diri.[]
Reporter: Erfina Cahya
Editor : Ajiwan