Views: 17
Solidernews.com – “Sebenarnya Pekerjaan Rumah (PR) para penyusun draft Peraturan Mahkamah Agung (Perma) bukan hanya di permasalahan hukum secara material dan formalnya tetapi bagaimana budaya hukum. Soal dukungan pengambilan keputusan atau support decision making itu belum menjadi prinsip utama dalam Raperma. Pada pasal masih ditulis bahwa orang dengan disabilitas itu bisa menunjuk orang lain. Itu belum menempatkan supportif decision making sebagian prinsip yang utama untuk membuat difabel mental psikososial lebih bermartabat.” Demikian dikatakan Agus Hidayat dari Remisi, dalam diskusi pada Difabel Lawyer Club, Jumat (20/9).
Agus Hidayat mengakui memang yang menjadi perhatian utama dalam draft Perma karena ada beberapa hal yang masih problematik. Menimbang salah satunya adalah Undang-undang nomor 11 tahun 2019 yakni pasal 16 dan general coment pertama adalah kesamaan di hadapan hukum bagi seluruh difabel mental tanpa terkecuali. Ketika sudah jadi peraturan yang lebih teknis seharusnya ada empat yang menjadi perhatian utama yang bisa dielaborasi atau diskusikan lagi ke depannya. Pertama soal pengampuan. Sudah dijelaskan bahwa di negara-negara Amerika Latin seperti di Peru, pengampuan sudah tidak ada. Terakhir di tahun 2024 Mexico City sudah menghapus pengampuan orang dengan disabilitas termasuk lansia dan orang yang punya penyakit tertentu dengan menggunakan supported decision making sebagai negara yang punya aturan hanya untuk negara bagian Mexico City.
Agus mengharapkan sebenarnya hal itu bisa dijadikan contoh juga. Di Indonesia yang pengampuannya masih ada, secara tertulis dan secara material masih ada dan bagaimana prosesnya masih amburadul, seperti yang dibaca dari penelitan LBH Masyarakat. Dan juga terkait permasalahan budaya. Yang ia dengar di beberapa negara Amerika Latin pengampuan tidak ada lantas bagaimana dengan struktur hukum dan budaya hukumnya?
Di lembaga Remisi, ada difabel psikososial yang tidak diampu secara formal tetapi keuangannya dipegang oleh orangtuanya karena dia tidak dianggap sebagai orang yang “cakap” atau dianggap sebagai orang yang boros. Juga ia dianggap sebagai yang memiliki tanggung jawab kurang jadi menurut Agus, permasalahan legal capacity dan mental capacity itu masih abu-abu atau blunder.
Ada pula soal personal asesmen yang ini menurutnya agak tricky dan mungkin agak membingungkan. “Saya baru mendengar bahwa di PP 39/2020, Personal Asesment itu yang ia angkat adalah dia bukan kewajiban tapi dia sebagai hak yang kita minta untuk menentukan dilihat ragam disabilitas apa, kebutuhan apa, hambatan apa, dan kita ada di low support need, mid support atau di high support need. Kebutuhannya apa?”ungkap Agus.
Personal asesemen ini tujuannya adalah untuk akomodasi yang layak. Untuk adjusment supaya difabel didengar di hadapan hukum, supaya difabel sama dan setara di hadapan hukum. Bukan menjadi alat bahwa difabel itu tidak cakap hukum. Personal asesmen itu bukan tools untuk membuat disabailitas apapun ragam disabilitasnya menjadi dia tidak cakap hukum atau bukan, tetapi personal asesmen itu gunanya untuk menentukan hambatan dan ragam kedisabilitasannya supaya setiap orang bisa duduk dan memberikan keterangan dan dia posisinya sama di hadapan hukum sesuai dengan CRPD pasal 12.
Apakah Personal Asesment yang Ada di Raperma Punya Indikasi diskriminasi?
Menurut Agus, personal asesmen dalam raperma masih ada indikasi diskriminasi, saat dibaca secara letter lux sebab ia punya catatannya. Itu bisa dipertanyakan kepada para ahli, terkait usia mental dan usia kalender. ia juga belajar tentang psikologi dan ada riset tahun 2022 yang melibatkan 44 psikolog klinis dan di Irlandia mengenai usia mental. Kesimpulan dari riset ini : 1. Usia mental itu mereduksi, atau mempermalukan, mendegradasi atau menurunkan ekspektasi kelompok disabilitas dan tidak sesuai dengan identitas seksual. Di sini dalam konteks yang diteliti adalah disabilitas intelektual. Jadi begitulah pandangan para psikolog yang ahli terhadap usia mental. 2. Usia mental IQ sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan best practice. Di Irlandia ada undang-undang yang supported decision making. 3. Keinginan umum untuk meninggalkan usia mental. Para ahli dalam hal ini punya keinginan meninggalkan usia mental. Usia mental hanya untuk kegunaan historis saja. Konsep itu ketinggalan zaman dan bertentangan dengan HAM yang moderen, kekinian. Mereka, para profesional ini mendorong secara kritis merefleksikan penggunaan istilah-istilah yang menghormati otonomi individu difabilitas dalam hal ini difabilitas intelektual walaupun perlu riset lagi bagi difabel psikososial, perkembangan dan yang lain.
Jadi pada diskusi Raperma ini Agus menyimpulkan kalau menggunakan usia mental, maka harus didiskusikan ulang karena ia keberatan sebab bertentangan CRPD dan bagaimana akan menghargai keberagaman yang tak hanya fisik tetapi mental dan bentuk intelektual orang beda-beda. Padahal ini bagian dari kultur yang menganggap bahwa ada orang yang lebih waras, lebih intelektual, lebih superior dan ada orang yang lebih inferior.[]
Reporter: Astuti
Editor : Ajiwan