Views: 5
Solidernews.com – Kementerian PPN/Bappenas menyelenggarakan Rapat Pembahasan Tahap II Sasaran Strategis 7 terkait Akses dan Pemerataan Layanan Kesehatan bagi Masyarakat difabel pada Selasa, 23 Juli 2025 di Coworking Space, Lantai Dasar Menara Bappenas, pukul 09.00–12.00 WIB dan turut mengundang peserta rapat melalui media zoom meeting.
Rapat ini merupakan bagian dari proses penyusunan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN PD) 2025–2029, khususnya pada Sasaran Strategis 7 yang menitikberatkan pada peningkatan sistem layanan kesehatan yang inklusif dan berbasis hak asasi manusia.
Kegiatan diskusi dipimpin oleh Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial, Bappenas, dan dihadiri oleh perwakilan dari kementerian dan lembaga serta mitra pembangunan, juga organisasi difabel yang ada di Indonesia.
Dwi Rahayuningsih dalam sambutannya menyampaikan bahwa rapat ini lanjutan dari rapat yang sebelumnya untuk membahas pemenuhan hak atas kesehatan yang setara bagi difabel. Rapat ini menjadi bagian penting dari proses finalisasi dokumen RAN Penyandang Disabilitas 2025–2029 yang akan menjadi rujukan nasional dalam mewujudkan pemenuhan hak-hak difabel, khususnya dalam sektor kesehatan.
Rapat membahas target capaian, bentuk kegiatan dan indikator capaian dari mang-masing kebijakan antara lain seperti peningkatan aksesibilitas fasilitas dan informasi kesehatan, perluasan manfaat jaminan kesehatan bagi difabel. Seluruh proses dilakukan secara deliberatif (konsultatif atau musyawarah) dengan pelibatan organisasi difabel (online atau offline) untuk ikut memberikan usulan.
Turut hadir melalui online, Yeni Rossa dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menyampaikan informasi yang ada di lapangan terkait layanan psikiater bagi orang dengan difabel psikososial.
“Kami mengusulkan adanya layanan telemedicine untuk menjangkau orang dengan difabel psikososial yang membutuhkan layanan psikiater. Saat ini distribusi psikiater di Indonesia sangat timpang. Sekitar 68–69 persen psikiater berada di Pulau Jawa, sementara hanya 31 persen yang tersebar di luar Jawa. Bahkan, di seluruh wilayah Papua hanya ada tiga psikiater, dan ada tiga provinsi lain yang sama sekali tidak memiliki psikiater. Di luar Jawa pun, psikiater biasanya hanya tersedia di ibu kota provinsi, sehingga akses layanan menjadi sangat terbatas,” ujar Yeni Rosa.
Eka Prastama dari Komisi Nasional Disabilitas (KND) turut memberikan pendapat tentang pelayanan kesehatan yang inklusif sering kali tidak mempertimbangkan akomodasi yang layak dan aksesibilitas secara penuh. Istilah inklusif sering digunakan secara generalisasi, padahal dalam praktiknya banyak layanan yang secara fisik mungkin bisa diakses, tapi tidak menyediakan akomodasi yang sesuai dengan kebutuhan ragam difabel.
Selaras dengan yang disampaikan Eka, Nena dari PJS ikut menyoroti bahwa aksesibilitas dan akomodasi yang layak adalah dua hal yang berbeda, tapi sama-sama penting. Dalam banyak kasus, fasilitas layanan kesehatan dianggap inklusif hanya karena sudah memiliki ramp atau lift. Padahal, banyak ragam difabel yang membutuhkan bentuk akomodasi berbeda yang tidak tercakup dalam standar universal.
“Kami mengusulkan agar pada target capaian pertama dimasukkan penyusunan kebijakan atau pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan inklusif yang menjamin aksesibilitas dan akomodasi yang layak berdasarkan ragam difabel. Selain itu, aspek akreditasi juga penting untuk menilai sejauh mana fasilitas kesehatan memenuhi standar tersebut”, jelas Nena.
Fahmi Arizal dari NLR Indonesia menyampaikan kritik konstruktif terhadap rumusan kegiatan terkait pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi (KESPRO) dalam rancangan RAN PD. Menurutnya, dua kalimat yang tercantum dalam dokumen tersebut belum cukup menjelaskan bentuk konkret dari peningkatan layanan KESPRO bagi difabel.
Sebagai tindak lanjut, Fahmi mengusulkan agar kegiatan yang dimuat dalam dokumen diperluas dan dirinci secara lebih spesifik. Ia menyampaikan sejumlah usulan strategis, antara lain: penyusunan dan diseminasi standar pelayanan KESPRO yang inklusif dan responsif terhadap kebutuhan difabel, pelatihan tenaga kesehatan tentang pendekatan KESPRO yang ramah difabel dan berbasis hak asasi manusia, serta penyediaan informasi KESPRO yang dapat diakses oleh seluruh kelompok difabel.
“Pentingnya konseling KESPRO yang berbasis keluarga dan komunitas, khususnya bagi anak dan remaja difabel, serta penjangkauan layanan KESPRO untuk kelompok yang hidup dengan atau pernah mengalami kusta (OYPMK), termasuk mereka yang tinggal di wilayah terpencil atau ekskluster kusta”, ungkap Fahmi.
Rapat Tahap II ini menjadi forum strategis untuk memastikan bahwa dokumen RAN PD 2025–2029 benar-benar mencerminkan kebutuhan nyata di lapangan, dengan mengedepankan prinsip inklusivitas, aksesibilitas, serta partisipasi bermakna. Melalui masukan yang beragam dan konstruktif dari berbagai pemangku kepentingan, diharapkan RAN PD ini dapat menjadi acuan kebijakan yang kuat dalam mewujudkan layanan kesehatan yang adil, setara, di Indonesia.[]
Reporter: Erfina
Editor : Ajiwan






