Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Rak Buku Tertutup; Tantangan Difabel Menikmati Perpustakaan di Bali

Views: 6

Solideernews.com – Bali, sebagai salah satu tempat yang sangat dikenal dengan keindahan alam dan budayanya yang kaya, ternyata terdapat tantangan yang kurang terlihat namun signifikan yaitu mengenai kurangnya aksesibilitas perpustakaan untuk difabel. Meskipun pulau ini memiliki berbagai fasilitas yang mendukung inklusi, perpustakaan sering kali masih menjadi tempat yang sulit diakses bagi banyak individu dengan berbagai jenis difabel.

 

Laporan terbaru menunjukkan bahwa banyak perpustakaan di Bali belum memenuhi standar aksesibilitas dasar yang diperlukan untuk memastikan bahwa semua orang, termasuk difabel, dapat menikmati layanan mereka. Banyak bangunan perpustakaan yang tidak dilengkapi dengan fasilitas seperti ramp untuk kursi roda, pintu otomatis, atau fasilitas toilet yang ramah bagi difabel. Hal ini membuat difabel, baik fisik maupun sensorik, sering kali menghadapi kesulitan ketika mencoba mengakses buku dan sumber daya informasi yang mereka butuhkan.

 

Misalnya, Perpustakaan Umum Denpasar, salah satu perpustakaan terbesar di Bali, memiliki beberapa masalah aksesibilitas. Seperti belum adanya ramp, tangga yang cukup curam,  pintu yang sempit, serta belum adanya fasilitas penunjang seperti toilet khusus disabilitas, komputer bicara sebagai alat pendukung baca difabel ataupun buku dalam bentuk teks braille/audio. Sementara itu, perpustakaan di daerah-daerah lebih terpencil, seperti di Gianyar dan Klungkung, sering kali tidak memiliki fasilitas dasar untuk memudahkan akses bagi difabel.

 

Kondisi ini tentu berdampak signifikan terhadap kesempatan belajar dan perkembangan difabel khususnya yang masih berada di usia produktif. Hanya sedikit dari mereka yang bisa memanfaatkan sumber daya perpustakaan secara optimal, dan banyak yang akhirnya terpaksa mencari alternatif lain yang kurang memadai atau justru mereka menjadi apatis dan tidak berminat datang ke ruang-ruang baca seperti perpustakaan. Ini tentu berlawanan dengan prinsip inklusi yang seharusnya dipegang oleh lembaga-lembaga publik khususnya pemerintah.

 

Penulis sebagai salah satu difabel netra yang berdomisili di Bali pernah datang langsung ke sebuah perpustakaan Kab. Badung Bali yang kabarnya mempunyai ruang pojok braille khusus difabel netra. Namun ternyata kondisinya pun belum memadai karena buku yang tersedia masih sangat minim dan sudah terbitan lama. Dalam hal ini,  belum pernah ada pembaharuan. Serta kurangnya media pendukung seperti buku audio dan komputer bicara sebagai alternatif bagi teman-teman difabel netra yang kurang bisa membaca braille.

 

Tantangan yang masih sering kali terjadi ialah datang dari persepsi masyarakat sekitar, bahwa difabel tidak memiliki minat membaca atau tidak mampu memahami buku. Hal ini membuat mereka merasa kurang nyaman dan enggan mengunjungi perpustakaan. Selain itu Tidak semua petugas/staf  dari perpustakaan memiliki pemahaman yang cukup tentang kebutuhan khusus terkait  difabel. Akibatnya, mereka kesulitan memberikan pelayanan yang baik dan membuat difabel merasa tidak diterima.

“Selama ini yang saya tahu untuk teman-teman dari difabel memang jarang sekali yang pergi ke perpustakaan, terlebih difabel netra. Saya sendiri sebagai mahasiswi difabel low vision hanya pernah pergi sekali ke perpustakaan itu pun dengan teman saya waktu teman saya ingin mencari buku” ujar Melisa salah satu mahasiswi difabel Universitas Negeri di Bali yang terhubung melalui telepon.

 

Lebih lanjut Melisa mengatakan “kami teman-teman mahasiswa difabel jarang atau bahkan tidak pernah pergi ke perpus bukan karena kami malas belajar tetapi memang kalau kami harus pergi ke perpustakaan harus membawa seorang volunter yang bisa menemani kami dan hal itu sangat tidak menentu. Jika tidak membawa pendamping rasanya tidak ada artinya kita  pergi ke perpustakaan karena kesulitan mengakses buku bacaan yang ada di perpustakaan.”

 

Beruntung, ada beberapa inisiatif positif yang mulai muncul. Beberapa organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat mulai berkolaborasi dengan pemerintah setempat untuk meningkatkan aksesibilitas perpustakaan. Project seperti pelatihan staf perpustakaan tentang cara melayani pengunjung dengan kebutuhan khusus dan perancangan ulang fasilitas untuk memenuhi standar aksesibilitas merupakan langkah awal yang baik seperti penyediaan alat bantu komputer bicara/buku braille serta aksesibilitas fisik seperti ramp dan  guiding block. Di samping itu, peningkatan kesadaran akan pentingnya aksesibilitas juga menjadi fokus utama dalam beberapa program pelatihan dan seminar.

 

“Saya sebagai perwakilan bidang SDM khususnya anak muda di DPD Pertuni Bali selalu menyuarakan saat ada forum diskusi bersama pihak-pihak terkait dan terus mendorong melalui organisasi Pertuni agar bagaimana aksesibilitas di Bali untuk mengakses tempat-tempat publik agar ramah dengan disabilitas, salah satunya perpustakaan. Saya kebetulan pernah pergi ke beberapa perpustkaan khususnya perpustakaan kampus saya maupun kampus lain yang ada di Bali untuk mencari buku yang saya perlukan sebagai bahan refrensi tugas akhir kuliah saya waktu itu, saya begitu sangat kesulitan karena banyak hal yang belum akses seperti komputer bicara yang bisa saya gunakan untuk mencari informasi ketersediaan buku apa saja yang ada di perpus walau sebenarnya komputer di perpus tersebut ada. Lalu belum adanya buku digital yang mudah diakses oleh difabel netra,  membuat saya enggan untuk datang ke perpus jika tidak ada benar-benar orang yang bersedia mendampingi. Sementara posisi rak-rak buku yang terlalu tinggi juga tidak memungkinkan bagi difabel dengan korsi roda untuk mengakses buku dan kontruksi bangunan yang terkadang di beberapa perpus masih tidak bisa dilalui oleh kursi roda karena jalanan tidak rata dan banyak tangga tentu membuat tidak nyaman” ujar Gusde Surya perwakilan DPD Pertuni bidang kepemudaan yang juga seorang mahasiswa difabel pasca sarjana kepada solidernews melalui pesan suara.

 

Gusde surya juga menambahkan, bahwa jika kita ingin sebuah perubahan di Bali khususnya memang diperlukan sebuah komitmen tinggi dalam jangka panjang dan investasi yang signifikan. Para pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah hingga komunitas lokal, perlu bersatu untuk menciptakan solusi yang lebih inklusif. Ini tidak hanya akan membuka pintu bagi penyandang disabilitas untuk mengakses informasi dan pengetahuan, tetapi juga mencerminkan semangat kemanusiaan dan keadilan sosial yang menjadi fondasi masyarakat Bali yang harmonis.

 

Dengan upaya bersama, Bali dapat menjadi contoh bagaimana sebuah masyarakat dapat memastikan aksesibilitas untuk semua warganya, menjadikannya sebagai tempat di mana setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan belajar.[]

 

Reporter: Harisandy

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air