Views: 33
Solidernews.com – Mengenakan pakaian putih rapi dan peci hitam, Rafik Akbar berdiri tegak di depan kelas dengan tongkat putih di tangannya. Di hadapannya, belasan siswa sekolah dasar berseragam batik merah muda duduk rapi di bangku kayu, tekun mengerjakan tugas mereka. Meski tak dapat melihat secara fisik, Rafik hadir sebagai penerang ilmu bagi murid-muridnya di Sekolah Dasar Negeri Pengadilan 5 Kota Bogor.
Perjalanan Rafik sebagai pendidik berawal dari sebuah panggilan hati yang tulus, “Saya senang berbagi wawasan dan pengalaman yang saya miliki kepada siapapun,” ungkapnya mengenang awal mula karirnya. Langkah pertamanya dimulai saat bergabung dengan sebuah Majelis Taklim, tempat ia menimba ilmu. Setelah menyelesaikan seluruh pembelajaran, kemampuannya mendapat pengakuan.
Perjalanan karirnya mencapai babak baru pada tahun 2019, ketika ia memutuskan untuk mengikuti tes CPNS, “Saya mengikuti tes CPNS sebagai guru Pendidikan Agama Islam karena ijazah S1 saya memang dari alumni Prodi pendidikan agama Islam dan Alhamdulillah lulus di tahun 2019,” kenangnya.
Dalam mempersiapkan pembelajaran untuk siswa reguler, Rafik memiliki metode yang beragam dan disesuaikan dengan kebutuhan, “Kalau persiapan untuk mengajar anak-anak yang awas sebetulnya jauh lebih sederhana, karena anak-anak awas itu tidak banyak membutuhkan alat bantu khusus seperti anak-anak ABK,” jelas pria kelahiran Jakarta tersebut.
Sebagai seorang guru yang selalu ingin memberikan yang terbaik, ia tidak hanya mengandalkan buku paket sebagai referensi utama. Ia aktif mencari tambahan informasi melalui Google dan YouTube untuk memperkaya wawasan siswanya.
Di dalam kelas, Rafik menerapkan berbagai metode pembelajaran yang variatif untuk menjaga semangat belajar siswanya, dan tidak monoton menggunakan metode ceramah yang cenderung membuat siswa menjadi bosan. Dengan menggabungkan metode ice breaking dalam pembelajaran, ia menciptakan suasana kelas yang lebih hidup dan interaktif, “Saya tidak hanya berceramah di depan kelas tetapi menyampaikan materi dengan cara yang lebih menarik, sehingga siswa kecil kemungkinannya untuk mengantuk,” jelas pria 35 tahun tersebut.
Inovasi pembelajaran juga ia tunjukkan melalui pemanfaatan teknologi. Untuk materi-materi tertentu seperti sejarah Islam, ia menggunakan media video dari YouTube yang telah ia edit dan presentasikan melalui PowerPoint, membuat pembelajaran menjadi lebih dinamis dan mudah dipahami.
Pembelajaran di kelas yang diampuh oleh Rafik tidak hanya berlangsung secara teoretis, tetapi juga menekankan praktik langsung. Dengan pendekatan pembelajaran aktif, ia mengajak siswanya untuk memahami nilai-nilai yang diajarkan melalui pengalaman nyata. Simulasi berbagi dan menukar hadiah merupakan contoh cara yang ia terapkan untuk menanamkan nilai-nilai sosial pada siswanya, “Bagaimana rasanya berbagi? Bagaimana rasanya memberikan hadiah? Saya langsung mengajak mereka praktik tukar kado,” ceritanya.
Tidak hanya itu, untuk materi yang membutuhkan pemahaman konkret seperti zakat, ia membawa contoh langsung ke dalam kelas, “Untuk memahami ukuran zakat 2,5 kilogram, kita membawa beras sebanyak itu ke kelas,” jelasnya.
Dalam hal evaluasi pembelajaran, Rafik menerapkan beragam metode untuk menilai pemahaman siswanya secara menyeluruh, “Untuk evaluasi yang sifatnya tertulis, ada banyak model yang saya gunakan. Ada yang isian, uraian, pilihan ganda, atau benar salah,” jelasnya tentang metode evaluasi konvensional yang ia terapkan.
Rafik pun mengembangkan pendekatan evaluasi yang lebih dinamis. Ia memanfaatkan konsep ice breaking untuk menciptakan suasana penilaian yang tidak membuat siswa tertekan, “Kadang evaluasinya saya menggunakan sistem ice breaking dengan pertanyaan. Saya desain seperti punishment, mereka menjawab pertanyaan dan saya atur bagaimana caranya agar semua mendapat giliran,” ungkapnya.
Perjalanan Rafik sebagai guru difabel netra di sekolah umum tidak selalu mulus. Ia menghadapi berbagai tantangan, terutama terkait kesalahpahaman tentang konsep inklusif itu sendiri, “Tantangan sebagai guru yang bertugas di sekolah umum sangat banyak karena persepsi inklusif bagi kebanyakan orang awas sangat keliru. Bagi mereka, istilah inklusif justru seakan-akan diartikan sebagai eksklusif,” ujarnya.
Menurutnya, ketika orang mendengar istilah pendidikan inklusif, yang ada di pikiran mereka hanyalah tentang penanganan ABK (Anak Berkebutuhan Khusus). Padahal, pendidikan inklusif seharusnya dipahami sebagai lingkungan yang menghargai keberagaman, tidak hanya dalam hal suku, ras, atau agama, tetapi juga kondisi fisik.
Dalam hal keterlibatannya dalam kegiatan sekolah, Rafik pun merasa terkadang ada perlakuan yang terasa berbeda, “Contohnya saja dalam kepanitiaan penerimaan peserta didik baru, saya sangat jarang dilibatkan. Akibatnya, ketika ada siswa berkebutuhan khusus yang mendaftar, anak tersebut hanya bertahan satu semester karena tidak terfasilitasi dengan baik. Mungkin kalau saya dilibatkan, saya bisa memberikan referensi atau saran yang bermanfaat bagi pihak sekolah,” tambahnya.
Tantangan lain muncul dalam interaksi dengan rekan sejawat, “Di awal-awal, banyak yang sungkan untuk mendekati dan akrab dengan saya. Bagi mereka, berinteraksi dengan orang disabilitas itu sulit dan membingungkan, terutama bagaimana cara memulainya,” ungkap ayah tiga anak tersebut. Namun, setelah hampir empat tahun, hubungan dengan rekan kerjanya pun semakin membaik. Meskipun masih ada bentuk diskriminasi yang terkadang mereka tidak sadari.
Tantangan serupa juga hadir dalam interaksi dengan orangtua siswa, “Tidak semua orangtua bisa berinteraksi secara natural dengan saya. Banyak yang seakan-akan menganggap kehadiran saya sama seperti ketidakhadiran saya,” ungkapnya. Menyikapi hal tersebut, Rafik memilih berusaha berpikir positif, terlebih jika hal tersebut tidak mempengaruhi tugas pokoknya sebagai guru.
Sementara itu, hubungannya dengan para siswa justru sangat dekat, terutama yang telah ia ajar selama dua tahun dari kelas 4 hingga kelas 6, “Mereka sudah sangat mengenal saya dan tahu sisi asli saya yang manis dan humoris, sehingga mereka nyaman mengobrol dengan saya. Bahkan beberapa anak SD ada yang manja dengan saya,” ceritanya dengan bangga.
Rafik berharap pemerintah dapat memberikan perhatian lebih kepada para difabel yang berprofesi sebagai guru, “Pemerintah seharusnya menyediakan tunjangan hidup bagi disabilitas yang jadi guru, karena kondisi ini bukan suatu pilihan, melainkan takdir dari Tuhan yang harus dijalani dan perlu mendapat fasilitas maksimal dari pemerintah, terlebih dalam menjalankan tugas profesi kita terkadang mengeluarkan biaya lebih akibat kondisi kedisabilitasan,” ungkapnya.
Ia juga mengusulkan pembentukan pusat layanan dan informasi difabel di setiap instansi, mulai dari tingkat kementerian hingga dinas-dinas di daerah. Dengan adanya layanan ini, ia berharap tidak ada lagi miskomunikasi atau anggapan bahwa difabel hanya bisa bekerja di lingkungan khusus, “Pemerintah juga harus memastikan bahwa disabilitas adalah bagian dari keberagaman bangsa, bagian dari Bhinneka Tunggal Ika.”[]
Reporter: Syarif Sulaeman
Editor : Ajiwan