Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

PSHK Gelar GembiraFest ke-2 dan Gaet Teman Tuli Berpartisipasi

Views: 39

Solidernews.com – Generasi Muda Berani Bersuara atau disingkat GembiraFest adalah festival yang dihelat oleh Pusat Studi Kebijakan dan Hukum (PSHK ) dan tahun ini adalah tahun kedua. Kali ini PSHK  menjalin kerja sama dengan 10 komunitas yakni Social Justice Indonesia, Lingkar Studi Feminis, Yayasan Rumah Jahe, Social Justice Indonesia, Pojok Literasi Bogor, Bekasi Ambil Peran, Indonesia Education Watch, Pemoeda, Bloc Politik Pelajar, dan Lab Demokrasi. Festival yang berlangsung dari pagi hingga malam hari pada 17/8 ini diselenggarakan di M Bloc Space, Jakarta Selatan.

 

Selain memberi ruang pamer berupa booth-booth, sayangnya ruang pamer ini letaknya di lantai dua dan bertangga yang pastinya sulit dijangkau oleh orang berkursi roda. Ada juga ada booth bertajuk Warung Ekspresi, booth ini letaknya di lantai 1 sehingga akses  dan sebagai  menampung tuntutan para pemuda yang ditujukan kepada negara. Tuntutan bisa berupa tulisan yang dimasukkan ke kaleng kerupuk  atau dengan menggambar doodle yang tidak boleh mengandung unsur SARA, diskriminatif dan pornografi. Warung Ekspresi ditandai dengan tulisan dan gambar ekspresif (doodle) tentang bagaimana kualitas demokrasi Indonesia saat ini menurut anak muda. Juga tulisan tentang Undang-Undang ITE, KUHP Lama, KUHP Baru dan Undang-Undang  Ormas yang membatasi masyarakat sipil, ditambah tulisan “Dimana Wiji Thukul dan Para Aktivis ’98 yang Hilang?

 

Acara dihelat dengan konsep ramah anak, karena bebas asap rokok juga menyediakan Posko Aman bagi peserta seandainya mengalami kekerasan seksual atau membutuhkan bantuan medis. Petunjuk berupa scan QR code yang ditempel di banyak dinding dan mudah terlihat oleh peserta.

 

Pada sesi talkshow dengan narasumber Zen RS, chief Narasi TV menuturkan tentang eksistensi kaum muda di zaman sekarang. Menurutnya di tengah Hustle Culture yang menyatakan bahwa kita saat ini sudah tidak bisa lagi mendefinisikan waktu, maka definisikanlah kembali waktu luang. Rebutlah waktu luang dan politisasilah waktu luang oleh  pemuda secara otonom. “Kita butuh tindakan kepahlawanan sehari-hari. Ciptakan pahlawan sendiri. Ciptakan mitos pahlawan, ” ujarnya.

 

Menurut Zen, definisi pemuda adalah mereka yang tidak dibatasi oleh usia tapi juga sosiologis, artinya jika dia konservatif, berapapun usianya, dia bukan pemuda.

 

 

Sedangkan Bivitri Susanti dalam talkshow sesi berikutnya mengajak semua untuk re-imajinasi Indonesia dengan pertama-tama membongkar pikiran mapan supaya tidak terbatas. Ia juga berbicara tentang esensi negara yang harusnya ada untuk memenuhi hak-hak warganya.

 

 

Harapan Fanny tentang Inklusivitas

 

Fanny, salah seorang teman Tuli yang solidernews temui adalah salah satu dari enam peserta Tuli ditambah dua Juru Bahasa Isyarat (JBI) yang mengikuti berbagai sesi acara dari awal. Fanny juga mengikuti sesi Alteraksi yakni pemutaran film berjudul “13 September”, sebuah film yang dirilis tahun 2005 dan disutradarai oleh Shalahuddin Siregar bercerita tentang Tori (14) tahun yang pulang ke rumah keluarganya di Kupang NTT setelah 4 tahun  tinggal di penampungan pengungsi anak-anak di Yogyakarta. Orangtuanya termasuk rakyat Timor Leste yang memihak Indonesia, usai jajak pendapat.

 

Sesudah pemutaran film lantas para peserta diajak untuk berinteraksi dan saling tukar pendapat/pandangan tentang makna film, khususnya memaknai kata merdeka bagi mereka. Menurut Fanny, mengawali cerita tentang momen ulang tahun berkesan selama ini adalah saat berumur 7 tahun. Kaitannya dengan film, ada salah satu adegan tentang ulang tahun Tori.

 

Waktu itu Fanny diberi hadiah oleh kakeknya yang seorang pelukis, alat lukis dan diajarkan bagaimana melukis. Ia merasa momen itulah yang akhirnya membawa dirinya hingga saat ini menyukai melukis dan bekerja di bidang desain. Di sesi ekspresi bebas berpendapat memaknai kemerdekaan, Fanny menulis bahwa merdeka itu hidup di lingkungan yang mau menerima dirinya, yakni lingkungan yang inklusif dan aksesibel.

 

Eca, salah seorang peserta mahasiswa memaknai kata merdeka dengan menyatakan bahwa merdeka adalah memberi ruang kepada perempuan  untuk duduk sebagai pimpinan, yakni seperti apa yang saat ini tengah ia lakukan, menjadi ketua bidang di organisasi kemahasiswaan.

 

PSHK Memfasilitasi Kelompok Muda yang Tidak Terpapar Informasi Secara Baik

Di tengah acara, penulis mewawancarai Fajri Nursyamsi, Deputi Direktur Eksekutif PSHK yang menyatakan bahwa Gembira Fest kedua konsepnya sama dengan tahun lalu. Jika tahun lalu bintang tamunya adalah Sal Priadi maka tahun ini bintang tamunya Band Efek Rumah Kaca. Dari rangkaiannya pun juga sama, ada sesi nonton film, talkshow dan ada kegiatan seni lainnya. Harapannya adalah PSHK bisa menggaet lebih banyak lagi peminat terutama para anak muda generasi  Z atau Gen Z, yang sasarannya memberikan  pemahaman tentang kebebasan berekspresi dan berpendapat.

 

Menurut Fajri, sekarang ini ada semacam sindrom, orang ketakutan kalau mau berpendapat sebab takut dikriminalisasi dan lain sebagainya. Jadi kriminalisasi itu nyata adanya dan bukan hanya anak muda. Pihaknya di NGO pun juga punya ketakutan itu, lantas sadar bahwa ilmu yang mereka punya untuk membentengi diri itu tidak semua orang tahu. Maka ke depan para pemuda harusnya  lebih berani untuk berbicara, berpendapat, punya pandangan, karena lewat jalur itulah demokrasi bisa hidup. Bukan kemudian terlalu kebablasan tetapi pada akhirnya paham tentang cara membentengi diri, cukup untuk mereka menimbang-nimbang kira-kira untuk lebih berani berpendapat. “Makanya ruang-ruang seperti ini terus dimunculkan untuk berani berekspresi, berpendapat dan ke depan mereka bisa merespon apa isu-isu terbaru terutama isu politik karena hari ini kekuasaan perlu diseimbangkan sama masyarakat sipil  biar tidak kebablasan. Biar ada warna demokrasinya, “terang Fajri.

 

Sebenarnya kekhawatiran pihaknya sudah mulai muncul di tahun lalu sebelum pemilu dengan melihat terjadinya kriminalisasi di banyak tempat.

 

Karena PSHK konsen di undang-undang, fenomena bahwa undang-undang banyak yang dibentuk tanpa partisipasi masyarakat, tanpa ada keterlibatan dengan pihak terkait, waktu itu pihaknya sudah mulai cemas. Oleh karenanya muncullah ide untuk meningkatkan partisipasi, menguatkan hak berpendapat mulai ada dan itu sebelum pemilu. Dan ternyata pemilu kemarin lebih menyadarkan lagi bahwa akhirnya ada segmentasi kelompok masyarakat yang tidak terpapar secara baik, terkait informasi dan hal-hal yang diperjuangkan oleh teman-teman NGO, terutama kolega NGO hukum, lewat pemilu capres dan cawapres. Itulah kemudian yang membuat semakin menguatkan PSHK untuk maju terus dan harus terus melakukan pemahaman di masyarakat sipil terutama kaum muda.

 

Fajri menambahkan ke depan selain acara tahunan, PSHK juga ingin membuat acara semacam di banyak daerah. Jadi bukan hanya di Jakarta tapi di banyak daerah. Memang sasarannya masih di Pulau Jawa. Dia berharap ada yang mau support, karena even semacam ini butuh support. “Hari ini, even ini jadi prototipe yang bagus. Sehingga kami bisa jual gagasannya, konsepnya, ke para pendukung, supporter terutama terkait pendanaan, jadi bisa diduplikasi di banyak tempat. “pungkas Fajri.[]

 

Reporter: Astuti

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air