Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Progres BPHN dan Polri dalam Penuhi Akomodasi Yang Layak Difabel Berhadapan dengan Hukum

Views: 8

Solidernews.com – Audi Murfi, Penyuluh Utama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) dalam webinar yang dihelat oleh Sigab bekerja sama dengan Kantor Staf Presiden (KSP), Selasa (24/9) memaparkan terkait peran BPHN  sebagai bantuan hukum untuk kaum miskin dan kelompok rentan lainnya karena semua orang mempunyai kedudukan yang sama termasuk difabel. Dalam catatan BPHN, tahun ini pemerintah memberikan bantuan kurang lebih 56 milyar.

Sebaran pemberian bantuan hukum tahun 2022-2024, di 619 lembaga pemberi bantuan hukum  paling banyak adalah di Jawa Timur yakni 65, Jawa Tengah 60 disusul Sumatera Utara 37 dan Sulawesi Selatan adalah 30.

Difabel pengakses bantuan hukum pada tahun 2022 adalah 8 orang, tahun 2023 jumlahnya 13 dan tahun 2024 hingga bulan ini 8 kasus.

Pada tahun 2021 dalam masa pandemi, BPHN mengeluarkan dua regulasi sebagai bentuk komitmennya  dalam memberi layanan bantuan hukum yang berkualitas sekaligus memperluas penerima bantuan hukum, yaitu kepada kelompok rentan lainnya seperti perempuan, anak, difabel dan masyarakat adat. Dua regulasi itu adalah Permenkunham  nomor 3 tahun 2021, tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum dan Permenkumham nomor 4 tahun 2021 tentang Standar Layanan Bantuan Hukum (STARLA) dirumuskan bahwa dalam rangka penerapan Starla Bankum, Pemberi Bantuan Hukum Berkewajiban assesment kondisi kerentanan dan kebutuhan hukum. Penerima bantuan Hukum terkait permasalahan yang dihadapi.

Bantuan Hukum dalam Rencana Aksi Nasional sejauh ini ada tiga sebagai berikut:

Dalam RAN HAM : sasarannya adalah terpenuhinya hak dan layanan bantuan hukum bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum, meliputi : Penyediaan layanan bantuan hukum, kesehatan dan psikosisial yang efektif bagi difabel yang berhadapan dengan hukum.

RAN Penyandang Disabilitas : Dalam upaya pelindungan dan akses politik dan keadilan bagi penyandang disabilitas, telah dilakukan upaya pemerataan akses bantuan hukum bagi difabel di seluruh wilayah Indonesia.

RAN Open Goverment Indonesia : Komitmen untuk Pemberian Bantuan Hukum yang berkualitas dan aksesibel bagi difabel di Indonesia dengan adanya panduan penyusunan standar operasional (Stopela) pemberian layanan hukum.

Kemajuan Polri dalam Mengimplementasikan PP 39/2020

Narasumber webinar lainnya Ema Rahmawati, Kanit PPA Bareskrim Polri, menerjemahkan Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas seperti yang diamanatkan PP 39 tahun 2020 adalah modifikasi dan penyesuaian yang tepat yang diperlukan untuk menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan fundamental untuk difabel berdasarkan Kesetaraan

 

Dalam pemenuhan Akomodasi Yang Layak (AYL), adapun yang sudah dilakukan kepolisian RI dalam pelayanan adalah : 1. Perlakuan non diskriminatif, 2. Pemenuhan rasa aman dan nyaman, 3. Komunikasi yang efektif, 4  Pemenuhan informasi terkait hak penyandang disabilitas dan perkembangan proses peradilan, 5. Penyediaan fasilitas komunikasi audio visual jarak jauh, 6. Penyediaan standar pemeriksaan difabel dan standar pemberian jasa hukum, dan, 7. Penyediaan pendamping difabel  dan/atau penerjemah.

Sarana dan Prasarana yang disediakan

dalam pemenuhan Akomodasi yang Layak berupa sarana dan pra sarana yang disediakan lembaga penegak hukum kepada difabel berdasarkan ragam difabel yang disesuaikan  dengan kondisi difabel yang memiliki hambatan : a. Difabel penglihatan, aplikasi pembaca layar, dokumen,huruf Braille, dan komunikasi audio, b. Pendengaran, papan  informasi/media komunikasi visual dan alat peraga.c. Wicara, papan informasi/media komunikasi visual dan alat peraga. d. Mobilitas: kursi roda, tempat tidur beroda, alat bantu mobilitas lain sesuai kebutuhan. e. Mengingat dan konsentrasi : gambar, maket, boneka, kalender. f. Intelektual : obat-obatan, fasilitas kesehatan dan fasilitas lain sesuai kebutuhan. g. Hambatan lain yang ditentukan berdasarkan  penilaian personal.

 

Penyidik dalam penanganan difabel yang berhadapan dengan hukum (PP 39/2020) 1. Penyandang Disabilitas yang menjadi korban dan mengalami trauma tidak dipertemukan dengan pelaku. 2. Mengembangkan komunikasi yang efektif dengan difabel sehingga dapat memberikan keterangan dalam berbagai bentuk media komunikasi sehingga dapat memberikan keterangan dalam bentuk berbagai bentuk media komunikasi. 3. Wajib menyampaikan hak difabel termasuk informasi perkembangan penyidikan kepada difabel, keluarga korban dan pendamping. 4. Mengembangkan standar pemeriksaan difabel sesuai dengan kewenangannya orang meliputi : kualifikasi penyidik, fasilitas bangunan gedung, fasilitas pelayanan, dan prosedur pemeriksaan. 5. Menyediakan difabel, penerjemah dan atau petugas lain yang terkait. 6. Menyediakan dokter atau tenaga kesehatan lainnya mengenai kondisi kesehatan: psikolog dan psikiater (bekerja sama dengan dinas kesehatan) mengenai kondisi kejiwaan, dan atau pekerja sosial mengenai kondisi psikososial. 7. Penyidik harus memastikan bahwa difabel atau keluarganya menyetujui pendamping difabel  dan/atau penerjemah yang disediakan 8. Menunda proses pemeriksaan jika pendamping difabel tidak hadir.

 

Pendampingan dalam Proses Penyidikan

Pendampingan dalam Proses Penyelidikan dan Penyidikan diperlukan dalam rangka :

  1. Asesment kebutuhan korban. 2. Pemeriksaan. 3. Identifikasi pelaku. 4. Pendampingan selama proses olah TKP (jika dibutuhkan). 5. Perlindungan dari ancaman. 6. Bantuan informasi berupa : a. Informasi perkembangan perkara. b. Informasi hak-hak korban (restitusi, pemulihan dll). c. Informasi penahanan tersangka. d. Perlindungan alat bukti untuk pemeriksaan forensik.e. Informasi mengenai bantuan medis. f. Pemeriksaan forensik dan pencegahan viktimisasi lanjutan.

Sinergitas Pendamping dan Penyidik

  1. Pendampingan dapat dimintakan oleh penyidik sejak penyidik menerima laporan atau pengaduan
  2. Permohonan pendampingan dapat oleh penyidik disesuaikan dengan kebutuhan korban (penyidik dapat meminta lebih dari satu pendamping).
  3. Pendamping meruapakan Mitra terdekat dan penting bagi penyidik dalam proses lidik/sidik.
  4. Informasi dari pendamping terkait korban merupakan hal yang penting dalam proses lidik/sidik.
  5. Laporan sosial anak korban yang dibuat oleh persis wajib memintakan informasi terkait kesiapan korban longsor dalam memberikan keterangan.
  6. Dalam pemeriksaan korban, penyidik wajib  memintakan informasi terkait kesiapan korban dalam memberikan keterangan.
  7. Penyidik bekerja sama dengan pendamping dalam hal penyampaian pertanyaan kepada korban apabila korban masih dalam keadaan trauma berat.

Tentang Penilaian Personal :  adalah upaya untuk menilai ragam, tingkat, hambatan, dan kebutuhan difabel baik secara medis maupun psikis untuk menentukan Akomodasi yang Layak :

Penilaian personal dimintakan kepada

  1. Dokter atau tenaga kesehatan lainnya dan/atau 2. Psikolog.

Penilaian personal dilakukan guna menentukan : 1. Mengetahui kebutuhan penyandang disabilitas dalam proses peradilan dalam memenuhi hak-haknya.

  1. Kualifikasi pendamping yang dibutuhkan.
  2. Penerjemah orang yang pandai bergaul dengan pelaku, saksi dan/atau korban penyandang disabilitas. 4. Ahli yang dapat memberikan penjelasan berdasarkan keahliannya mengenai peristiwa, hambatan, kecenderungan kondisi difabel tertentu, akurasi keterangan, usia mental, serta segala keterangan untuk menguatkan atau menjernihkan keadaan yang dijelaskan dalam keterangan terdakwa, saksi, dan/atau korban difabel.

 

Peran praktis penyidik dan petugas layanan kepolisian dalam memenuhi hak penyandang disabilitas.

  1. Menyediakan alat transportasi yang aksesibel bagi difabel. Penjemputan dilakukan di rumah kemudian ke tempat pemeriksaan lalu kembali ke rumah.
  2. Mendesain jalan masuk menuju ruang pemeriksaan dengan cermat.
  3. Memasang rambu-rambu atau tanda-tanda taktual (signase) dalam bentuk Braille serta petunjuk-petunjuk lain berupa gambar dan tulisan.
  4. Melakukan asesmen yang disertai dengan pembuatan laporan tentang kebutuhan difabel.
  5. Menyediakan toilet yang aksesibel untuk difabel.
  6. Membuat ruangan pemeriksaan menjadi aksesibel, baik saksi, korban dan tersangka.
  7. Membuat ukuran pintu dann lorong dengan lebar minimal satu meter. Hal ini akan memberikan keleluasaan bagi difabel pengguna kursi roda, Walker, dan alat bantu berjalan lainnya. Lantai dalam lorong juga tidak boleh licin.
  8. Membuat lokasi dan desain penempatan loket pelayanan yang dapat dijangkau dengan mudah, termasuk bagi pengguna kursi roda. Ketinggian maksimalnya adalah tujuh puluh centimeter.
  9. Memerhatikan jenis disabilitas tersangka yang ditahan di ruang tahanan kepolisian.
  10. Menyediakan mobil tahanan dan ruang tahanan yang aksesibel bagi difabel yang menjadi tersangka dan ditahan.

 

Tantangan dalam Penyediaan Akomodasi yang Layak Bagi Difabel Korban Kekerasan Seksual

 

  1. Masih kurangnya kemampuan dan pemahaman penyidik dalam penanganan difabel yang berhadapan dengan hukum.
  2. Pendamping, penerjemah bagi difabel masih terbatas.
  3. Petugas yang melakukan penilaian personal terbatas.
  4. Saat ini kejaksaan agung telah memilki Peraturan Jaksa Agung (PERJA) nomor 2 tahun 2023 tentang Akomodasi yang Aksesibel dan Inklusif bagi difabel dalam proses peradilan (didalamnya mengatur juga tentang kelengkapan formil dan material proses penyidikan terhadap difabel dalam berkas yang dikirim penyidik)
  5. Polri dan Mahkamah Agung belum memiliki pedoman/SOP terkait penanganan difabel di tingkat penyidikan.
  6. Sarana dan pra sarana serta anggaran masih terbatas.
  7. Polri belum memiliki data terpilah penanganan difabel yang berhadapan dengan hukum.

Strategi Polri dalam penyediaan Akomodasi Yang Layak bagi difabel

  1. Meningkatkan kemampuan/pemahaman penyidik dalam penanganan penyandang disabilitas dengan memasukkan kurikulum tentang penanganan difabel dalam pelatihan dan Dibangspes penyidik (Lemdiklat Polri telah bekerja sama dengan UII dalam penyusunan kurikulum penanganan difabel yang berhadapan dengan hukum).
  2. Meningkatkan koordinasi dengan stakeholder terkait baik pemerintah maupun yang berbasis masyarakat tentang penyediaan pendamping, penerjemah dan petugas yang melaksanakan penilaian personal.
  3. Saat ini sedang menyusun pedoman/SOP Polri terkait penanganan penyandang disabilitas.
  4. Membangun RPK di Polda dan Polres (sejak tahun 2018 telah dibangun 23 RPK).
  5. Meningkatkan struktur unit PPA menjadi direktorat PPA-PPO (di Bareskrim dan Polda) dan menjadi Satres PPA-PPO di Polres.

Saat ini juga sedang ada upaya penyusunan Rancangan Perkabareskrim Polri tentang Pedoman Penanganan Perkara Difabel Berhadapan dengan Hukum di Lingkungan Polri.

Harmonisasi dalam Proses Peradilan :

  1. Pendefinisian PDBH (di dalam PERJA 2/2023  tidak ada definisi khusus, di dalam Skep Dijen Badilum: korban, saksi dan Terdakwa).
  2. Pemenuhan penilaian personal : Kesepahaman persepsi bahwa penilaian personal hanya untuk mengetahui ragam disabilitasnya, hambatan, dan kebutuhan antara lain pendamping, penerjemah, medis dan psikis.
  3. Terkait kecakapan mental, penyandang disabilitas dalam menjalani proses Peradilan dan kemampuan TSK dan Terdakwa difabel dalam pertanggungjawaban pidana dituangkan dalam VeR PSIKITRIKUM (PERJA 2/2023).
  4. Penyediaan pendamping/penerjemah atau petugas lainnya yang terkait.
  5. Penyediaan dan pemahaman dokter atau tenaga kesehatan lainnya tekait kondisi kesehatan, psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan dan peksos mengenai kondisi psikososial.
  6. Pemenuhan alat bukti sesuai pasal 184 KUHP : Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk, Keterangan Terdakwa.[]

 

Reporter: Astuti

Editor      : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air