Views: 62
Solidernews.com – Pelayanan kesehatan BPJS mengalami perjalanan yang tidak sederhana. Banyak pengalaman pahit manis didalamnya. Sebut saja seperti komplain dari para pengguna, peraturan yang membingungkan, dan kebijakan-kebijakan rumah sakit mengenai pembatasan kuota pasien BPJS yang kadang kurang tersampaikan dengan baik. Termasuk kepada saya yang seorang difabel netra. Masalah tersebut, kadang bikin saya berpikir harus bagaimana sih sebenarnya hasil dari pelayanan ini?
Beberapa kawan difabel menyampaikan keluhan pada pelayanan BPJS. Saat saya tanya-tanya terkait program BPJS dan berikut pelayanan di dalamnya, baik di tingkat puskesmas hingga rumah sakit, saya mendapatkan fakta dan masalah hampir mmirip.
Dion seorang difabel netra yang aktif di Pertuni Sleman memberikan informasi saat dihubungi via telepon pada 15 Mei 2024, bahwasanya pelayanan BPJS bagi difabel memang belum maksimal. Banyak sekali kerancuan dan kebingungan saat menggunakan BPJS sebagai penjamin kesehatan. Apa lagi bila seorang difabel, khususnya untuk difabel fisik dan difabel netra akan sangat sulit melengkapi administrasi BPJS bila sendirian.
“Ndak selalu kita sebagai difabel itu bisa menghadirkan pendamping. Sedangkan pemeriksaan kesehatan, kontrol, atau keluhan mendadak tidak selalu bisa menjamin ketersediaan para pendamping. Jadi akan cukup repot bila harus mengurus sendiri pemberkasan BPJS yang kadang terletak berbeda lantai atau ruangan. Saya berharap ada petugas khusus yang membantu pendaftaran administrasi difabel minimal sampai menuju ruang dokter,” tegas Dion.
KRIS Hapus Sistem kelas BPJS
Melalui perpres No. 59 Tahun 2024 presiden merubah beberapa peraturan BPJS. Salah satunya adalah isu tentang KRIS yang melebur kasta kelas 1, 2, 3 dalam sistem BPJS yang kini berlaku.
Apa sih itu KRIS? Dilansir Dari peraturan.BPK.go.id , Belum lama ini pada tanggal 8 Mei 2024 Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Peresiden (Perpres), No. 59 Tahun 2024 tentang perubahan ketiga atas Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan. Dalam peraturan presiden itu, ada sebuah mekanisme baru pada pelayanan BPJS. KRIS sendiri merupakan akronim dari (Kamar Rawat Inap Standar).
Salah satu tujuan dari poin KRIS adalah memenuhi dan menjalankan aspek prinsip ekuitas. Ekuitas merupakan persamaan pelayanan tanpa memandang besaran iuran yang dikeluarkan dari pasien KRIS. Jadi, semua pasien BPJS mendapatkan pelayanan yang sama, sesuai peraturan yang disahkan.
Semoga KRIS membawa dampak yang lebihbaik dan manusiawi, terkusus pada difabel. Karena mulai 30 Juni 2025 program ini akan dilaksanakan secara menyeluruh pada rumah sakit yang memiliki kerja sama dengan BPJS, dengan penyesuaian fasilitas secara sebagian dahulu atau sudah bisa sepenuhnya yang memenuhi standar dari KRIS, sesuai Pasal 103B Ayat 2 Perpres No. 59 tahun 2024.
Semua golongan rakyat pun Bisa Merasakan Pelayanan yang Sama
Dikutip dari Kompas.com dalam artikel “Kelas 1, 2, 3 BPJS Dihapus, Pemerintah Ganti Dengan KRIS,” Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan melalui KRIS nantinya pelayanan di rumah sakit akan disamakan.
Masih dalam artikel yang sama, Budi mencontohkan kalau nantinya dalam satu kamar itu hanya berisi empat ranjang. Sehingga pasien tidak perlu berdesakan. Fasilitas AC juga ada. Kondisi ruangan pun akan dikaji sesuai pada peraturan yang disahkan.
Selain itu, bila meninjau dari pasal 103A dan 104 mengenai standar fasilitas yang ada di pelayanan KRIS itu meliputi 12 poin, yaitu bangunan tidak boleh memiliki porositas tinggi, ventilasi memenuhi kriteria pertukaran udara minimal 6 kali per-jam, Pencahayaan ruangan buatan mengikuti kriteria standar 250 lux untuk penerangan dan 50 lux untuk pencahayaan, adanya kamar mandi dalam, nakas di dekat ranjang, ranjang maksimal ruangan berjumlah empat buah, tombol pemanggil perawat, dan sebagainya.
Ada pun terkait besaran iuran pembayaran dan Penerima Bantuan Iuran Kesehatan (PBI) pada program KRIS di BPJS akan disampaikan pada 1 Juli 2025 mendatang. Apakah ada perubahan atau yang lain, kita tunggu pengumuman selanjutnya. Karena hal tersebut tengah dikoordinasikan pihak terkait.
Permasalahan Pelayanan Difabel yang Tak Pernah Rampung
Ada banyak hal permasalahan akses kesehatan bagi golongan difabel. Mulai dari pelayanan tenaga kesehatan yang kurang ramah, prasarana publik yang belum mendukung, dan pelayanan BPJS yang belum bisa membuat SOP yang pasti terkait pelayanan difabel. Mulai dari pendaftaran hingga bertemu dokter.
Terlihat dari kasus-kasus yang bertebaran di media masa, Saat saya searching dengan keyword “Kasus dan masalah pelayanan BPJS,” muncul banyak problem di pelayanan BPJS. Apakah karena banyaknya persoalan itu, sehingga masalah-masalah difabel yang menggunakan BPJS kurang tertangani dengan baik?
Belum lagi kasus yang heboh di akhir Juli 2023 bertempat di Kota Malang, bahwa sebanyak 600.000 lebih peserta BPJS PBID (Penerima Bantuan Iuran Daerah) dicoret hak kartu bantuannya untuk beralih ke BPJS mandiri, yang alasan dari pihak pemerintah daerah dinilai kurang bisa diterima dengan nalar sehat. Yang PDI D saja diseperti itukan. Lantas bagaimana dengan para difabel yang membayar iuran mandiri?
Tugimin ketua organisasi difabel Ikhwanul Qolbi saat penulis temui pada 15 Mei 2024 menyatakan keluhan yang hampir mirip dengan Dion. Namun, ia juga merasakan kadang pendistribusian rumah sakit untuk pasien, informasinya kurang jelas. Bila ingin bertanya lebih lanjut, ia pernah mendapat respons kurang baik dari petugas administrasi tempatnya memeriksakan diri.
“Kadang saya juga harus berusaha lebih mas. Pernah suatu kali BPJS salah satu keluarga saya tiba-tiba dikabarkan non-aktif, dan kabar itu saya ketahui justru ketika sedang mau periksa. Sehingga hari itu saya putuskan untuk mengurus BPJS dahulu,” jelas Tugimin.
- Sosok perempuan difabel fisik yang aktif di salah satu lembaga difabel Yogyakarta, ditemui solidernews di forum santai di salah satu seminar, menceritakan pengalamannya mengapa ia jarang menggunakan BPJS saat memeriksakan tubuh. Alasan paling kuat adalah rumitnya pemberkasan di BPJS yang harus mengurus di beberapa tempat.
“Saya kan menggunakan kursi roda, jadi agak susah juga bila harus wara-wiri mengurus berkas yang kadang tidak satu tempat. Belum lagi, aksesibilitas rumah sakit di Jogja yang berkerja sama dengan BPJS itu tidak semua memiliki standar bagus terhadap fasilitas publik bagi difabel. Makanya aku lebih memilih ke dokter yang buka praktit di rumahnya,” jelas perempuan tersebut.
Saat ini KRIS tengah dilakukan uji coba di beberapa rumah sakit, seperti: Dr. Sardjito Yogyakarta, RSUD Soedarso, RSUD Sidoarjo, dan lainnya yang berjumlah 10 titik di Indonesia. Semoga didalamnya terdapat training dan pembahasan mendalam terkait pelayanan kepada pasien difabel. Jadi, pasien non-difabel nyaman, pasien difabel aman.[]
Reporter :Wachid Hamdan Nur jamal
Editor : Ajiwan Arief