Views: 6
Solidernews.com – Melalui program Future Cities: Transisi menuju transportasi rendah karbon yang inklusif melalui perbaikan aspek keselamatan bagi kaum rentan, Arup Indonesia dan Kota Kita, didukung oleh Kementerian Perhubungan dan UK PACT menyelenggarakan program di dua kota (Makassar dan Semarang). Sepanjang tahun 2022 sampai dengan sekarang, program ini pun telah melibatkan komunitas dan organisasi difabel. Terdiri dari riset, aksi partisipatif, dan diskusi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dari warga hingga perwakilan pemerintah, rangkaian kegiatan bertujuan untuk mengidentifikasi kerentanan dan tantangan-tantangan serta merancang solusi bersama seluruh kelompok rentan.
Khususnya di kota Makassar, pelibatan difabel dalam program ini terbilang cukup intensif. Sekitar empat kali pertemuan telah diselenggarakan untuk mengumpulkan keluhan dan saran dari masyarakat difabel. Hal-hal yang disampaikan oleh masyarakat difabel pun selalu sama dan berulang. Tidak adanya trotoar yang ramah difabel, program teman bus Maminasata yang belum mengakomodir kebutuhan difabel, kendaraan yang ugal-ugalan di jalanan dan yang paling meresahkan, got-got yang tidak tertutup. Melalui program ini, semoga, jalur pejalan kaki dan khususnya transportasi rendah karbon di Makassar dapat menguntungkan difabel, bukan malah merugikan difabel.
Hal yang menarik dari trend kendaraan rendah karbon, adalah fakta bahwa aksesibilitas dan akomodasi yang layak bagi difabel belum sepenuhnya dipertimbangkan. Bahkan sekadar untuk menjamin keamanan masyarakat difabel dalam trend rendah karbon ini pun belum banyak dilakukan. Kita bisa mengambil contoh dari kendaraan listrik yang tidak berbunyi, yang semakin membahayakan posisi difabel netra dalam bermobilitas.
Untuk melengkapi kegiatan riset dan advokasi yang telah dilakukan dua tahun terakhir ini, diselenggarakan pula sebuah kampanye berupa serangkaian kegiatan untuk mendorong penggunaan transportasi rendah karbon, terutama jalan kaki dan bersepeda di Makassar pada hari Sabtu, 23 November 2024. Melalui kampanye bertajuk ‘Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Depan Mobilitas di Makassar’, Arup Indonesia dan Kota Kita kemudian mengajak warga Makassar untuk bersama-sama merefleksikan, mengawasi, dan membayangkan kondisi mobilitas kota yang lebih aman dan nyaman bagi semua kalangan.
Kegiatan ini berkolaborasi dengan tiga komunitas lokal di kota Makassar, yaitu KataKerja, Teman Jalan dan Kedai Buku Jenny. Perubahan signifikan transportasi yang digunakan oleh masyarakat kota Makassar dipertontonkan melalui penampilan teater dari Teater Anak Kecil dan talkshow bersama narasumber yang menjalani kota Makassar selama ini.
Teater Anak Kecil mempersemmbahkan pertunjukan musikal berjudul “Membayangkan Masa Depan”. Berlangsung sekitar 30 menit, Teater Anak Kecil menampilkan rangkaian teater musikal yang menggugah hati penonton. Teater itu menceritakan tentang kehidupan anak-anak di kota suburban. Mulai dari permainan tradisional anak-anak di kota Makassar, sampai dengan bagaimana jahatnya pembangunan menggusur taman-taman kota dan tidak menyisakan sejengkal pun tanah lapang untuk tempat bermain. Keseluruhan teater musikal itu pun bisa dinikmati oleh Andi Arfan (Ketua Gerkatin Sulawesi Selatan) melalui fasilitas juru bahasa isyarat yang disediakan oleh penyelenggara. Sayangnya, panitia belum menyediakan pembisik yang bisa membantu difabel netra dalam mendepskripsikan tampilan fisual yang tersaji.
Juga dalam proses talkshow setelah penampilan teater musikal, tidak terlihat adanya perwakilan dari komunitas atau organisasi difabel yang diundang menjadi narasumber. Dalam gerakan difabel, kita mengenal prinsip “nothing about us without us”. Yang jika diterjemahkan secara kongkrit, berarti tidak ada pembicaraan tentang difabel tanpa melibatkan pemikiran dari gerakan difabel itu sendiri. Ini sesuai dengan etika ilmu pengetahuan, di mana informasi yang diakses harusnya adalah informasi yang berasal dari sumbernya langsung. Sumber langsung yang penulis maksudkan bukan hanya individu difabel, tetapi juga individu non difabel yang telah terlibat panjang dalam gerakan dan memiliki pengetahuan yang memadai terkait dunia kedifabelan. Sementara program ini bertajuk Future Cities: Transisi menuju transportasi rendah karbon yang inklusif melalui perbaikan aspek keselamatan bagi kaum rentan. Dalam proses riset pun, terbilang cukup sering mengambil prespektif difabel. Bagaimana difabel menjalani kota Makassar, tantangan yang dihadapi dan harapan-harapan pembangunan yang bisa memudahkan aktivitas mobilitas masyarakat difabel. Tapi talkshow yang diadakan oleh Arup Indonesia dan Kota Kita tersebut, sama sekali tidak melibatkan pihak yang berkompoten mengulik hubungan antara aksesibilitas sarana pablik dan kenyamanandifabel, sehingga talkshow itu terasa kurang. Kurang menghadirkan prespektif masyarakat difabel.
“saya berharap semua orang, tidak terkecuali lansia dan disabilitas, bisa dapat haknya untuk bermobilitas di dalam kota dengan aman,” ujar Aini yang bertindak selaku narasumber, perwakilan dari Forum Anak kota Makassar.
Argumen yang disampaikan mengenai kebutuhan dan hak difabel oleh seluruh narasumber hanya berputar di hal-hal klise. Tidak ada yang akhirnya dapat menyampaikan hambatan yang dialami oleh masyarakat difabel di Makassar. Terkait kurangnya armada bus maminasata yang aksesibel, trotoar dengan guading block yang mayoritas rusak, got besar-besar yang tidak tertutup, kendaraan listrik yang membahayakan difabelnetra, tangga dan undakan di ruang pablick yang menghambat pengguna kursi roda, aplikasi teman bus yang tak dapat diakses secara utuh oleh scan reader dan lain sebagainya. Akhirnya banyak hal dari kebutuhan difabel pengguna transportasi yang tidak tersampaikan. Difabel menghadapi tantangan yang lebih kompleks, yang menghambat mereka dalam mengunjungi tempat-tempat pablik seperti taman kota, mall, pantai, kantor pemerintah dan lain sebagainya. Maka dari itu aksesibilitas dan akomodasi yang layak mestinya disediakan di setiap tempat.
“Kami merasakan juga ya, apa yang difabel rasakan. Kami mengerti betul. Biaya yang membengkak, transportasi yang belum aman dan lain sebagainya. Kita terus mencoba untuk menjadi solusi dari semua pihak,” ucap Pak Fuad, salah satu narasumber, perwakilan Kota Kita.
Tidak bisa dipungkiri, isu transportasi yang ramah kelompok rentan tak bisa dipisahkan dengan prespektif dari masyarakat difabel. Terlebih lagi di kota Makassar. Mengingat bahwa sampai dengan sekarang, kota Makassar belum memiliki sistem transportasi terpadu yang diciptakan sebagai bentuk konsesi terhadap biaya transportasi yang lebih tinggi, yang harus dikeluarkan oleh masyarakat difabel. Tidak tersedianya trotoar yang layak bagi pengguna kursi roda dan difabelnetra, misalnya. Membuat mau atau tidak mau, difabel fisik dan difabelnetra harus menggunakan transportasi publik untuk berpindah tempat. Dan karena bus Maminasata, sebagai model transportasi publik yang disediakan oleh pemerintah, belum menyediakan halte di banyak titik. Akhirnya difabel ragam tertentu yang tidak terpenuhi kebutuhan mobilitasnya, mesti mengandalkan model transportasi yang bisa diakses seperti ojek online atau taxi online. Yang membuat pengeluaran mereka semakin membengkak.
“Satu bulan itu saya bisa pesan ojol 40 sampai 50 kali, untuk berangkat ke kampus dan untuk pulang lagi ke rumah. Kalau ditotal-total ya untuk ojol sendiri pengeluaranku sampai 500 ribu perbulannya,” ungkap Tiara, seorang mahasiswa difabelnetra di Makassar.
Diharapkan, kedepannya, riset oleh lembaga-lembaga yang memiliki perhatian pada transportasi bisa lebih masif lagi melihat isu ini dari sudut pandang masyarakat difabel. Terlebih lagi difabel dengan ragam tertentu, yang tidak memungkinkan untuk mengakses dan menggunakan kendaraan pribadi, sehingga berpotensi untuk menjadi pengguna tetap transportasi publik di perkotaan.[]
Reporter: Nabila
Editor : Ajiwan