Views: 14
Solidernews.com – Pekan Paralimpik Nasional (Peparnas) merupakan ajang olahraga paling bergengsi bagi masyarakat difabel. Ajang olahraga prestasi tersebut dilaksanakan empat tahun sekali Layaknya Pekan Olahraga Nasional (PON) untuk atlet nondifabel. Di tahun ini, bukannya turut dilaksanakan di Aceh dan Medan, Jawa Tengah malah ditunjuk sebagai tuan rumah perayaan olahraga empat tahunan tersebut. Padahal biasanya Peparnas selalu dilaksanakan serangkai dengan PON.
Penunjukan Jawa Tengah sebagai tuan rumah merupakan dampak ketidaksiapan Aceh dan Sumatera Utara untuk menjamu atlet yang akan menampilkan prestasi terbaiknya. Aceh – Sumatera Utara sebenarnya sudah diberi waktu yang cukup panjang untuk berbenah dan mempersiapkan diri. Namun pandemi covid-19 yang menyerang Indonesia dan seluruh dunia memaksa setiap provinsi, termasuk kedua calon tuan rumah PON-PEPARNAS tersebut merekofusing (mengalihkan) anggaran daerahnya pada penanganan penyebaran covid-19. Covid memaksa Aceh dan Sumatera Utara menghentikan pembangunan fasilitas utama dan pendukung untuk perayaan PON-PEPARNAS. Dalam hal ini, anggaran dari pemerintah pusat pun tidak bisa banyak membantu. Pemerintah pusat juga menjadi sangat kelabakan akibat pandemi yang berdampak besar.
Setahun menjelang pelaksanaan PON- PEPARNAS, berbagai vanue pertandingan belum juga tuntas dikerjakan. Masalah kemampuan tuan rumah dalam menyiapkan anggaran pembangunan fasilitas utama dan fasilitas pendukung PON-PEPARNAS semakin sulit dengan adanya agenda demokrasi yaitu pemilihan presiden (Pilpres), pemilihan legislatif (pileg), hingga pemilihan kepala daerah (Pilkada). Berbagai hambatan tersebut membuat isu PON-PEPARNAS akan ditunda mulai berkembang. Perkembangan isu ini terdengar sebab tidak adanya ketegasan dari pihak tuan rumah maupun pemerintah pusat mengenai keberlanjutan pembangunan vanue pertandingan di provinsi yang ditujuk sebagai tuan rumah. Hingga akhirnya presiden Republik Indonesia, Joko Widodo mengumumkan bahwa PON akan tetap dilaksanakan sesuai dengan jadwal. Hal tersebut menjadi angin segar bagi seluruh atlet, pelatih dan tenaga pendukung diseluruh Indonesia. Kabar bahwa PON akan segera dilaksanakan menyebar keseluruh penjuru Indonesia. Berita tentang pelaksanaan PON pun dikabarkan oleh media-media serta berbagai kanal pemberitaan lainnya.
Pelaksanaan PON 2024 dapat disaksikan melalui nyaris semua sumber pemberitaan seperti media online, televisi, dan bahkan radio. Penyebaran informasi melalui media yang beragam itu membuka akses bagi masyarakat Indonesia untuk dapat menyaksikan seluruh tahapan PON. Dimulai dari opening ceremony pada tanggal 9 Oktober 2024 di stadion Harapan Bangsa kota Banda Aceh, yang dihadiri langsung oleh presiden ketujuh Republik Indonesia, Joko Widodo. Seluruh penyelenggaraan pertandingan setiap cabor, sampai dengan closing ceremony, yang dihadiri oleh Mentri Koodinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Prof. Dr. Muhadjir Effendy yang ditunjuk untuk menutup perhelatan olahraga tersebut. Masifnya pemberitaan tentang PON menandakan apresiasi media dan pemerintah terhadap kemajuan perstasi anak bangsa.
Tetapi sayangnya, paraatlet (sebutan untuk atlet disabilitas) tidak dapat menikmati semarak perayaan yang sama. Renovasi yang dilakukan oleh pemerintah Aceh dan Medan sebagai upaya tetap melaksanakan PON, tidak mempertimbangkan kebutuhan difabel. Di tengah semarak perayaan PON, tidak ada pemberitaan mengenai paraatlet yang mau tak mau, harus legowo batal menunjukkan kemampuan terbaiknya di venue yang sama dengan atlet non-difabel.
Secara tidak langsung, diskriminasi menyasar paraatlet. Tentu saja empat tahun belakangan ini, paraatlet telah membayangkan dan mempersiapkan diri untuk mengikuti PEPARNAS di pulau Sumatera. Mengingat Informasi mengenai Medan yang menjadi tuan rumah pelaksanaan PON PEPARNAS telah menyebar dan diketahui seluruh atlet saat 2021 lalu, setelah penyelenggaraan PON PEPARNAS Papua. Paraatlet tentu saja telah mengira dan berharap akan membawa nama kebanggaan provinsi masing-masing ke salah satu provinsi paling ujung pulau Sumatera. Tetapi nyatanya, paraatlet tidak dilibatkan dalam perayaan olahraga di Aceh dan Medan. Kekecewaan paraatlet ini sepertinya tidak dipikirkan oleh banyak pihak seperti pemerintah dan media.
Ini menjadi koreksi besar betapa timpangnya perayaan PON dan PEPARNAS. Tentang polemik anggaran dan fasilitas yang tidak aksesibel membuat PEPARNAS harus gagal dilaksanakan di Aceh dan Sumut. Tentang venue yang direnovasi atau pun yang dibangun baru ternyata tidak menerapkan prinsip desain universal sehingga menjadi salah satu alasan atlet difbel tidak dapat menikmati perayaan PEPARNAS di tempat yang sama dengan PON.
Jika media luas dan masyarakat menyoroti pelaksanaan PON dengan segala kurang lebihnya, maka pelaksanaan PEPARNAS tahun ini tidak dirayakan dengan setimpal melalui pemberitaan media dan antusias masyarakat. Penyiaran pertandingan PEPARNAS yang minim, pemberitaan media online yang tak banyak dan kurangnya antusias masyarakat dapat dirasakan langsung oleh paraatlet. Penulis sendiri, pada saat berada di Solo untuk mengikuti perlombaan, kerap mendapat pertanyaan sedang mengunjungi apa dari driver ojek online, pegawai kereta sampai dengan pedagang jalanan bahkan ketika menggunakan atribut kontingen.
Timpangnya pemberitaan antara PON dan PEPARNAS menandakan apresiasi dan perlakuan yang berbeda yang diberikan bagi atlet dan paraatlet. Lagi-lagi difabel menjadi masyarakat nomor dua yang bisa menampilkan kebanggaannya di depan masyarakat Indonesia. Ruang untuk tampil dengan prestasi menjadi sempit akibat dianggap tak menarik dan kurang bergengsi.
Bisa terhitung berapa media yang memberitakan pelaksanaan PEPARNAS. Spanduk dan baliho PEPARNAS pun sangat sedikit terpasang di jalan-jalan. Bahkan tidak banyak warga Jawa Tengah, khususnya Solo yang menjadi lokasi utama pelaksanaan PEPARNAS mengetahui bahwa mereka adalah tuan rumah dari perayaan olahraga nasional.
Pada persoalan pemindahan tuan rumah PEPARNAS pun tidak kalah problematik. Berbagai aturan baik Undang-Undang, peraturan Pemerintah, sampai Peraturan Menteri sudah mengatur bagaimana standarisasi pembangunan fasilitas publik yang harus mengakomodir seluruh kemampuan tanpa terkecuali. Namun masih saja pelanggaran atas hak warga negara dilakukan, bahkan oleh pemerintah yang notabenenya adalah sang pemilik kekuasaan. Venue yang dibangun seolah hanya disiapkan untuk orang yang berjalan dengan dua kaki, berjalan dengan mata yang mampu melihat dengan jelas dan mendengar dengan dua telinga. Satu pembangunan yang dibuat asal-asalan dan tidak berorientasi pada aspek kebermanfaatan untuk semua berarti menyumbangkan satu kerentanan besar terhadap jutaan manusia dengan perbedaan kemampuan. Dan ini dengan jelas menunjukkan adanya gap, antara perlakuan bagi masyarakat difabel dan masyarakat non difabel yang menjadi bagian yang perlu untuk tetap diperjuangkan.
Segala perbaikan memang telah terjadi. Misalnya, penyamaan bonus yang diberikan kepada atlet dan paraatlet di beberapa provinsi. Tapi hal-hal yang keliru, yang menunjukkan adanya ketimpangan perlakuan, tetap harus disoroti dan dibenahi bersama-sama. Juga mengenai nasib paraatlet di Indonesia, di mana tidak atau belum ada sistematika pakem terkait monitoring dan evaluasi organisasi olahraga yang membina paraatlet. Membuat paraatlet sangat rentan menjadi korban dari pihak-pihak tak bertanggungjawab. Masih banyak di luar sana paraatlet yang tidak menerima pembinaan dari provinsinya dan hanya mendapati bonus kemenangannya dipotong sekian persen entah untuk apa. Sekali lagi. Hal-hal yang merentankan paraatlet perlu menyita perhatian pemerintah untuk keberlanjutan prestasi paraatlet ke tingkat internasional.[]
Penulis: Yoga Indar Dewa
Editor : Ajiwan