Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Foto Suasana presentasi dari pejabat publik kepada audiens

PPDI DIY Refleksikan Aksesibilitas Fasilitas Publik

Views: 8

Solidernews.com – Fasilitas publik yang dapat diakses oleh seluruh elemen masyarakat adalah sebuah keharusan. Begitu pula bagi masyarakat difabel. Fasilitas publik seharusnya memenuhi unsur aksesibilitas sehingga masyarakat difabel dapat bermobilitas dan beraktivitas dengan nyaman. Sudahkah Yogyakarta memenuhi berbagai unsur dan syarat  tersebut?

Meninjau perkembangan beberapa tahun terakhir, Pemerintah Indonesia semakin menunjukkan komitmennya terhadap hak aksesibilitas bagi masyarakat difabel dengan menghadirkan berbagai kebijakan dan regulasi untuk menciptakan ruang publik yang inklusif dan bebas hambatan. Salah satu langkah nyata adalah terbitnya Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14/PRT/M/2017, yang menegaskan pentingnya penerapan prinsip desain universal. Prinsip ini mencakup kesetaraan dalam penggunaan ruang, keamanan untuk semua, akses yang tanpa hambatan, penyediaan informasi yang mudah diakses, penggunaan ruang secara mandiri, efisiensi upaya pengguna, serta kesesuaian dimensi dan ergonomi.

Selain itu, hadir pula Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 yang mengatur aksesibilitas difabel dalam fasilitas publik, pemukiman, hingga perlindungan untuk kelompok difabel dalam situasi bencana. Regulasi ini mengharuskan agar semua fasilitas publik dan pemukiman dirancang agar dapat diakses oleh seluruh kelompok difabel, termasuk mereka yang memiliki hambatan visual, pendengaran, fisik, maupun intelektual. Lebih jauh lagi, peraturan ini mewajibkan fasilitas baru untuk mematuhi prinsip desain universal sejak awal pembangunan, sementara fasilitas yang sudah ada diberi tenggat waktu tertentu untuk direnovasi agar menjadi lebih aksesibel.

Langkah-langkah ini menjadi bagian penting dalam upaya menciptakan ruang hidup yang ramah dan inklusif bagi semua warga negara, termasuk masyarakat difabel. Menyadari pentingnya hal-hal di atas, Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) DPD Yogyakarta pada Kamis, 19 Desember 2024 mengadakan TalkShow yang bertajuk; “Refleksi aksesibilitas fasilitas publik di lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta,” bertempat di ruang teatrikal Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dalam sambutannya, Tafrikhuddin selaku Kepala Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga mengucapkan terimakasih atas kebersamaan dan sudah berkenan berkegiatan di UIN Sunan Kalijaga. Dirinya merasa terhormat sudah dilibatkan dalam agenda PPDI. Selain itu, ia berharap semoga jalinan inklusif ini bisa terus ditingkatkan.

“Saya ikut berbangga, berbahagia, atas kehadiran bapak ibu semuanya, yang menyemarakkan agenda hari ini. Dengan spirit semangat perjuangan untuk meraih kesetaraan. Saya yakin kalau setiap orang memiliki keistimewaan. Tidak terkecuali pada rekan-rekan difabel. Maka dari itu, semangat inklusif harus menjadi kesadaran bersama,” ujar Tafrikhuddin.

 

Upaya Terus Mengawal Inklusifitas Publik Yogyakarta

Agenda yang berjalan pada pagi menjelang siang ini masih dalam suasana hari Disabilitas Internasional (HDI) 2024. Guna menghormati jasa para pahlawan difabel dan mensyukuri HDI 2024, PPDI Yogyakarta merayakan momen tersebut dengan kegiatan perenungan dan refleksi akhir tahun tentang aksesibilitas fasilitas publik di Yogyakarta.

Acara ini mengajak mahasiswa, Rekan Difabel, Anggota PPDI seluruh Yogyakarta, dan pihak UIN Sunan Kalijaga untuk bersama-sama membincangkan dan berdiskusi tentang aksesibilitas fasilitas publik. Pada sambutannya, Soleh selaku Ketua PPDI DPD Yogyakarta menjelaskan, “Meski undang-undang sudah ada, perda sudah ada, namun perjuangan kita belumlah selesai. Masih banyak hal yang harus kita kawal dan perjuangkan. Salah satunya adalah fasilitas publik yang ramah bagi pengguna disabilitas.”

“Selain itu, agenda ini kami laksanakan sebagai wujud komitmen guna terus memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas Yogyakarta,” imbuh Soleh.

Aksesibilitas sendiri terdiri dari dua hal yaitu, Aksesibilitas fisik dan non-fisik. Dimana keduanya saling melengkapi. Pelatihan, evaluasi, monitoring, pelibatan kelompok difabel, bisa menjadi poin untuk meningkatkan aksesibilitas dan inklusifitas layanan publik.

Penyediaan aksesibilitas memang belum maksimal. Meskipun peraturan dan perundangan sudah ada secara sah. Maka dari itu kita harus terus berbenah dan mengawal pemerintah untuk memenuhi hak-hak layanan publik yang ramah bagi difabel. Yogyakarta akan makin indah bila difabel nyaman dan dapat mandiri saat mengakses fasilitas publik tanpa hambatan.

 

Yogyakarta Harus Terus Berbenah

Pada tahun 2024, upaya peningkatan aksesibilitas fasilitas publik bagi masyarakat difabel di Yogyakarta menunjukkan perkembangan yang berarti. Meskipun di beberapa bagian masih menghadapi sejumlah tantangan. Bisa dibilang Yogyakarta sudah mengupayakan aksesibilitas yang baik untuk fasilitas publik yang ada.

Contohnya pada lini transportasi, Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta (Dishub DIY) berkomitmen untuk mewujudkan sarana dan prasarana transportasi umum yang ramah difabel. Pada Oktober 2024, Dishub DIY mengadakan sosialisasi layanan transportasi ramah difabel, membahas tantangan seperti keterbatasan lahan halte dan kebutuhan perbaikan layanan Trans Jogja serta Teman Bus. Beberapa halte telah dilengkapi dengan ramp sesuai standar kemiringan maksimal 7%, dan direncanakan penambahan halte baru yang lebih aksesibel.

“Secara kualitas, masih banyak fasilitas aksesibilitas yang perlu di-update. Seperti pembenahan ramp curam, toilet difabel, guiding block yang putus, dan penyesuaian-penyesuaian agar sebuah fasilitas publik itu naik level menjadi universal desain yang dapat diakses oleh seluruh masyarakat,” ujar Hari Kurnia selaku pemateri kedua dalam kegiatan tersebut.

Hari yang juga seorang praktisi desain publik dan aksesibilitas dari UGM menyadari betul pentingnya desain fasilitas publik yang ramah difabel. Namun, akan lebih maksimal lagi fungsinya bila dinaikkan menjadi universal desain yang dapat diakses seluruh elemen masyarakat tanpa terkecuali.

Kini museum di Yogyakarta seperti Sonobudoyo, Vredeburg, dan beberapa tempat rekreasi dan edukasi lain juga sudah mulai merancang aksesibilitas di lingkungan mereka. Namun, memang semua bertahap dan harus terus dikawal.

Pada lini lain, Soleh juga turut menyoroti tentang aksesibilitas fisik puskesmas ramah lansia dan difabel di Kota Yogyakarta berada pada tingkat sedang. Meskipun jangkauan pelayanan puskesmas bagi lansia tergolong tinggi, pelayanan sistem jaringan transportasi ramah lansia dan difabel masih rendah. Diperlukan evaluasi terhadap akses pelayanan rute angkutan umum ke puskesmas, lokasi halte, kualitas jalur pejalan kaki, dan penyediaan ruang parkir prioritas untuk meningkatkan aksesibilitas bagi lansia dan difabel.

“Karena ada juga difabel yang memang terhambat mobilitasnya. Sehingga layanan Puskesmas akan lebih maksimal bila memang ada pelayanan kendaraan yang bisa menjemput pasien dengan kategori difabel atau lansia yang susah bermobilitas,” ujar Sholeh.

Bukan menjadi hal sulit bila kerjasama, saling berdiskusi, audiensi, pelibatan, dan keikutsertaan kelompok difabel dalam perancangan tata kota akan membuat Yogyakarta memiliki image yang baik  dari sisi tingkat kota yang ramah bagi difabel. Komitmen, konsisten, dan keberlanjutan dalam realisasi undang-undang disabilitas juga menjadi suplai kekuatan untuk terus membentuk layanan publik yang ramah bagi kelompok rentan.[]

 

Reporter: Wachid Hamdan

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content