Views: 22
Solidernews.com – Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan. Hal tersebut dilakukan guna meningkatkan layanan promotif dan preventif bagi masyarakat terkait akses keehatan yang merupakan bagian dari hak dasar.
Sangat disayangkan banyak pihak, dalam pembahasannya pemerintah tidak memberi ruang partisipasi kepada masyarakat. Padahal muatan pasal dalam peraturan tersebut sangatlah penting bagi kemaslahatan masyarakat umum. Tanpa ada pembahasan yang partisipatif, akan sulit untuk membayangkan aturan yang mengakomodir kebutuhan nyata bagi masyarakat.
Peraturan Pemerintah yang telah resmi tersebut meninggalkan beragam pertanyaan, banyak hal yang hilang dari pembahasan. Pertanyaan seperti: di bagian pasal manakah yang memberi kepastian tentang pemulihan kesehatan korban kekerasan seksual, yang merupakan perlindungan bagi kelompok rentan? Atau pertanyaan seperti: mungkinkah PP ini bisa memberi kepastian layanan terselenggara tanpa adanya stigma dan diskriminasi? Dan sederet pertanyaan lain muncul dan berdinamikan masyarakat.
Bukan hanya dari kalangan masyarakat umum yang mendesak agar layanan kesehatan terselenggara secara adil dan inklusif. K.H. Ma’ruf Amin, Wakil Presiden RI pun turut bersuara agar aturan tersebut ditinjau ulang, demikian juga dengan Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang meminta peraturan tersebut untuk segera direvisi.
Sekilas tentang kontroversi PP No. 28 Tahun 2024
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan, memuat 1.171 pasal pelaksana yang mengatur aspek-aspek kesehatan mulai dari upaya preventif hingga akses layanan.
Regulasi yang baru ditandatangani Presiden Jokowi pada 26 Juli 2024 ini telah banyak menuai kontroversial. Pasal yang banyak disoroti publik adalah terkait adanya substansi tentang alat kontrasepsi, selain pasal-pasal lain yang dinilai masih mendiskriminasikan difabel dan kelompok rentan lain.
Pada PP No. 28 Tahun 2024 di pasal 103 ayat 4 menyatakan, pemerintah menyediakan alat kontrasepsi sebagai bagian dari upaya kesehatan reproduksi pada remaja usia sekolah.
Pasal tersebut menimbulkan banyak persepsi yang membutuhkan edukasi lagi di masyarakat terkait implementasinya di lapangan. Aturan ini juga dipertanyakan kelompok rentan dan difabel yang selama ini secara tidak tertulis, pemaksaan menggunakan alat kontrasepsi banyak dilakukan terhadap mereka untuk mencegah kehamilan yang tidak diharapkan.
“PP ini juga harus melihat pemahaman masyarakat terutama pada korban,” ungkap Mike Verawati Tangka dari Koalisi Perempuan Indonesia.
Menurut Mike, pasal terkait kontrasepsi yang ramai diperbincangan publik memang belum harmoni dalam implementasinya nanti, karena masih memiliki celah kerawanan bagi korban kekerasan seksual yang mengakibatkan kehamilan.
Masih ada diskriminasi dan stigma terhadap difabel dalam PP No. 28 Tahun 2024
Dalam PP No. 28 Tahun 2024 masih menggunakan nomenklatur atau istilah mencegah kedifabelan dan beberapa catatan pada regulasi kesehatan ini masih menemukan celah adanya diskriminasi dan stigma terhadap masyarakat difabel.
Disampaikan Salwa Paramitha, staf Advokasi dari Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS), seharusnya dalam sebuah regulasi dapat menempatkan difabel dalam perspektif Hak Asasi Manusia sebagaiman yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 dan Undang-Undang retivikasi CRPD.
“Menempatkan kedifabelan yang dianggap sebagai suatu penyakit yang bisa dicegah atau di sembuhkan justru melanggengkan stigma dan diskriminasi kepada difabel,” terang ia.
Permasalahan lain yang ditemukan juga ada beberapa persetujuan-persetujuan tindakan medis yang mengatur orang yang alami gangguan jiwa berat dianggap orang yang tidak cakap dalam mengambil keputusan.
Sebagai contoh ada pasal yang menuliskan, ‘Memberikan persetujuan atas tindakan medis yang dilakukan terhadapnya kecuali yang mengalami gangguan jiwa berat yang dianggap tidak cakap dalam mengambil keputusan dan tidak memiliki pendamping serta dalam keadaan kedaruratan.’
“Perlu ada penjelasan rinci dari contoh pasal seperti demikian. Mengapa? jika tidak nantinya akan terjadi tindakan kesewenang-wenangan pengaturan tindakan medis. Jadi perlu diatur lebih rinci lagi mengenai batasannya, waktunya, dan hal-hal terkait persetujuan tindakan,” papar ia.
Catatan lain juga tentang pengaturan layanan kesehatan jiwa berbasis masyarakat, seperti panti rehabilitasi dan panti berbasis pesantren apakah menjadi tanggung jawab dinas sosial, lembaga keagamaan. Termasuk dibidang ketenagakerjaan untuk jabatan tertentu diwajibkan melakukan pemeriksaan kesehatan jiwa, seharusnya pemeriksaan tersebut digunakan untuk pemberian akomodasi yang layak di lingkungan kerja.
Dibagian kesehatan jiwa ada register nomor bunuh diri, dimana register nomor bunuh diri tersebut berasal dari kepolisian, juga kependudukan dan catatan sipil.
“Kami berpendapat bahwa ini adalah bukan tufoksi dari kepolisian dan dukcapil,” kata Salwa.
Berdasarkan data dari kesehatan jiwa, perihal yang termasuk bunuh diri merupakan data yang konfidensial. Artinya data yang seharusnya negara melalui sektor kesehatan dapat menjamin kerahasiahan dan menyimpan data tersebut.
Hal yang perlu diapresiasi dari PP No. 28 Tahun 2024 terkait bidang kesehatan jiwa adalah di pasal 166 ayat 2 poin d, menyebutkan profesi psikolog klinis sebagai tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi dan kewenangan dalam bidang kesehatan jiwa.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan Arief