Views: 20
Solidernews.com – Gerakan organisasi difabel di kota Makassar dalam kurun waktu satu dekade belakangan ini mengalami perkembangan pesat. Sederet keberhasilan seperti regulasi yang dirumuskan bersama-sama, pelibatan difabel dalam agenda pemerintah dan terbukanya universitas untuk segala bentuk keberagaman menjadi tanda bukti kesuksesan. Organisasi difabel kota Makassar sudah patut berbangga diri atas semua keberhasilan yang akhirnya dicapai setelah memaksa pemerintah untuk mulai memikirkan nasib kelompok marjinal.
Program-program pembangunan sumber daya kerja sama antar Indonesia dan negara lain pun, mulai terarah ke Makassar dan menjadi angin segar bagi keberlangsungan gerakan. Pengarus utamaan isu kesetaraan hak bagi difabel ini sudah terjadi khususnya dalam bidang ketenagakerjaan, kesehatan dan pendidikan. Makassar memiliki komitmen untuk menjadi kota inklusi, yang salah satu buktinya adalah dengan menunjuk semua sekolah negeri tanpa terkecuali menjadi sekolah inklusif.
Ini tertuang dalam peraturan walikota Makassar nomor 90 tahun 2013 tentang Layanan Pendidikan Inklusif, yang mendorong semua sekolah di Kota Makassar dari jenjang PAUD, SD dan SMP untuk membuka akses yang luas bagi difabel usia sekolah untuk mendapatkan layanan pendidikan. Semua sekolah adalah sekolah inklusif yang wajib menerima dan memberi pelayanan bagi anak murid difabel.
Makassarpun sudah berbangga diri dengan adanya penghargaan sebagai kota inklusi yang diberikan oleh Komisi Nasional Disabilitas (KND) pada tahun 2023. Tetapi kenyataannya, dalam bidang pendidikan khususnya tingkat sekolah dasar dan menengah, pemerintah kota Makassar jauh dari kata sukses dalam mengimplementasikan peraturan walikota tersebut.
Sekolah-sekolah negeri belum menyediakan fasilitas yang layak bagi siswa siswi difabel. Belum ada guru pendamping khusus (GPK) yang disediakan di setiap sekolah. Bahkan penolakan demi penolakan pada difabel yang ingin bersekolah di sekolah negeri pun, masih sering terjadi. Khususnya bagi anak didik dengan kondisi neuro diversity.
Orang tua dengan anak neuro diversity yang kebetulan bertempat tinggal tidak dekat dari sekolah luar biasa, kebanyakan tidak sepenuhnya percaya menitipkan anak mereka di sekolah negeri. Kekhawatiran akan penanganan yang diberikan masih selalu membayangi. Pilihannya hanya dua. Tetap menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah negeri, tetapi dengan pelayanan yang tidak masimal. Atau menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah swasta, tetapi dengan pembayaran yang jauh lebih tinggi.
“Arung sekolah di sekolah swasta. Dan ada tambahan biaya untuk shadow teacher. Itu sebulan 3 juta. SPP untuk ABK juga lebih mahal. Bisa beda 1-2 juta lebih mahal dibanding non ABK,” ungkap Minyoman Anna Martanti, orang tua yang memiliki anak neuro diversity, Senin 25 November 2024.
Hal yang sama juga disampaikan oleh Nur, Orang tua dengan anak neuro diversity yang sekarang duduk di bangku kelas 3 SD. Dalam sesi wawancara yang dilakukan oleh solidernews pada Jumat, 22 November 2024 mengatakan bahwa pengeluaran untuk sekolah itu sampai di angka 4 jutaan, ya perbulan. Itu pun sudah diirit-irit sekali. Tidak pakai guru pendamping khusus, saya yang dampingin sendiri. Sekolahnya pun di sekolah swasta yang terbilang terjangkau. Tapi ya SPP sama uang transport itu ya tetap habisnya juta-jutaan juga.”
Sudah menjadi rahasia umum, sekolah swasta di Makassar dengan label inklusif selalu jauh lebih ramah difabel ketimbang sekolah reguler negeri dengan label yang sama. Keterbatasan anggaran selalu menjadi alasan pihak sekolah untuk menolak atau tidak memberikan akomodasi yang layak bagi anak didik difabel. Mungkin, sekolah-sekolah negeri ini lupa. Bahwa dana BOS dan gaji setiap tenaga pendidik di sekolah itu berasal dari pajak yang saban hari diambil dari aktivitas perekonomian masyarakat, tak terkecuali masyarakat difabel.
Padahal, selain pendidikan, orang tua dengan anak neuro diversity pun tetap harus menanggung biaya lain seperti layanan kesehatan, terapi, diet dan lain sebagainya. Seperti yang dibeberkan oleh Minyoman Anna Martanti dalam kesempatan yang sama, “Kalau dari segi kesehatan, sebenarnya antara Arung dan adiknya yang nondifabel itu sama saja biayanya jika sakit. Tapi untuk terapi, perbulan kami harus mengeluarkan budget 4 sampai 5 jutaan untuk permulaan. Kalau makanan, awal diet CFGFSF bisa lebih melonjak karena mesti ayam kampung, ikan tawar, beras organik, minyak sayur dan minyak biji matahari (dulu 1 botol kecil 80ribu), alat masak yang kaca sekitar 700ribu / pcs dll.”
Sekolah Swasta Ramah Difabel Namun Mahal
SDIT Nurul Fikri Makassar, adalah salah satu sekolah swasta yang juga menerima murid difabel. Bangunan fisik, alat pembelajaran dan sampai tenaga pendidiknya pun sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan keadaan setiap anak didik. Tak terkecuali anak didik yang memiliki keberagaman cara otak bekerja atau yang akrab kita sebut neuro diversity. Sarjana lulusan dari prodi pendidikan luar biasa Universitas Negeri Makassar (UNM) pun banyak yang akhirnya bekerja di SDIT Nurul Fikri, mengingat jumlah murid difabel di sana yang terbilang banyak.
“Lebih baik sekolah di sini, walau dibayar ya. Setidaknya anak saya bisa dapat pendidikan yang bagus, dapat guru yang bagus, benar-benar diperhatikan. Dibanding di sekolah biasa, ya. Anak yang nondifabel saja suka kenapa-kenapa karena tidak dapat perhatian intensif,” kata I, salah satu orang tua murid difabel SDIT Nurul Fikri.
Permasalahan belum cukup ramahnya sekolah reguler negeri pada murid difabel ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Makassar. Jakarta sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan, bahkan, juga memiliki jejak-jejak ketidak inklusifan dalam hal sekolah milik pemerintah. Seperti yang dialami oleh Reihan El Saputra (pengguna kursi roda) saat mendaftarkan diri di SMKN 15 Mustikajaya, yang kemudian ditolak oleh pihak sekolah.
Tetapi pengelompokan berdasarkan kondisi fisik, segregasi dan diskriminasi dalam dunia pendidikan ini sudah harus ditinggalkan. Sampai kapan orang tua dengan anak difabel harus merogoh kocek yang lebih dalam hanya untuk mendapatkan hak dasar untuk mendapatkan pendidikan? Yang memiliki kewajiban untuk memenuhi hak pendidikan adalah negara, diperantarai oleh pemerintah. Yang juga menggunakan uang rakyat melalui adanya seabrek pajak. Pemerintah tak boleh lepas tangan begitu saja hanya dengan alasan belum adanya akomodasi dan guru khusus yang tersedia.
Belum ada bukan berarti selamanya tak ada atau ihak sekolah dan dinas pendidikan setempat bisa berleha-leha mengabaikan hak pendidikan murid difabel. Belum ada berarti harus diupayakan, secepatnya, untuk terpenuhi dan bisa dinikmati oleh masyarakat yang sudah berlelah-lelah membayar pajak. Jika SDIT Nurul Fikri, SIT Atira dan sekolah-sekolah swasta lainnya bisa memberi harapan pada orang tua dengan anak neuro diversity, mengapa sekolah-sekolah reguler yang dilabeli inklusi di Makassar tidak bisa melakukan hal yang sama?[]
Reporter: Nabila May
Editor : Ajiwan