Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Potensi Difabel Menjadi Pelaku Pelecehan Seksual

Views: 445

Solidernews.com,- Akhir November 2024 khalayak ramai dihebohkan dengan adanya kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan seorang pria difabel (penyandang disabilitas atau orang berkebutuhan khusus). Bermula pada 22 November, Polda NTB melalui Kasubdit IV Ditreskrimum Polda NTB AKBP Ni Made Pujawati yang menyampaikan bahwa I Wayan Agus Suartama telah ditetapkan sebagai tersangka karena diduga melanggar pasal 6 huruf c undang-undang RI No 12 tahun 2022 Tentang tindak pidana kekerasan seksual. Sejak saat itu, publik bereaksi melalui media sosial.

Sebagian besar menyampaikan ketidakpercayaannya, mana mungkin seorang yang tidak memiliki dua tangan bisa melakukan pelecehan seksual/pemerkosaan. Ketidakpercayaan itu lalu diarahkan pada kepolisian karena dianggap telah melakukan kekeliruan, kinerja kepolisian menjadi sasaran kritik yang sangat empuk dalam kasus ini.

Sebelum membahas lebih dalam mengenai kasus yang terjadi di Mataram, lebih dahulu penulis akan menyampaikan beberapa hal terkait pengalaman pendampingan selama ini, terhadap difabel yang menjadi korban tindak pidana maupun yang menjadi tersangka. Berdasarkan catatan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia, dari 100 persen kasus yang ditangani, terdapat 80 persen difabel yang menjadi korban tindak pidana dan sebagian besarnya merupakan korban tindak pidana kekerasan seksual. Sedangkan yang 20 persennya adalah difabel yang menjadi pelaku, di antaranya pelaku penyalahgunaan narkoba dan psikotropika.

Masih berdasarkan catatan Sigab, difabel yang menjadi korban tindak pidana terdiri dari berbagai ragam difabel, ada difabel fisik seperti yang tidak memiliki (salah satu) tangan atau kaki, ada juga difabel sensorik yang punya hambatan pendengaran, wicara maupun penglihatan (biasa disebut netra, tuli, runguwicara dll). Namun sebagian besar korban merupakan difabel intelektual dan mental, yaitu orang yang memiliki hambatan berpikir, perilaku adaptif, hambatan untuk berkonsentrasi, hambatan emosional dan lain sebagainya. Sedangkan 20 persen difabel sebagai pelaku juga terdiri dari difabel fisik, sensorik dan intelektual maupun mental.

Mengenai difabel sebagai pelaku, penulis akan sedikit menjelaskan tentang kasus difabel netra (umur 26 tahun) yang menjadi tersangka penyalahgunaan psikotropika. Pelaku sendiri sudah  divonis bersalah dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap pada tahun 2022 dimana terdakwa yang notabene seorang difabel netra dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman penjara.

Ada cerita menarik terkait kasus ini, anggota kepolisian yang menangkap pelaku sangat kaget ketika tahu bahwa yang ditangkap adalah seorang difabel netra. Bagi masyarakat awam yang mendengar cerita ini, awalnya mungkin akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin seorang difabel netra bisa mengetahui bahwa obat yang dikonsumsi adalah obat psikotropika? Bagaimana cara yang bersangkutan mengidentifikasi antara obat psikotropika dengan jenis obat lainnya? Bagaimana cara pelaku membeli obat tersebut, sedangkan pelaku sama sekali tidak bisa menggunakan handphone? Pertanyaan-pertanyaan ini wujud dari ketidak-percayaan sebagian orang, karena sulit diterima oleh akal sehatnya jika seorang difabel netra yang sama sekali tidak bisa melihat tapi faktanya mampu membeli, mengidentifikasi dan mengkonsumsi obat psikotropika.

Untuk menjawab ketidakpercayaan tersebut, maka harus dilakukan penilaian personal atau istilah lainnya profile assesment atau pemeriksaan kedisabilitasan bagi yang bersangkutan, pemeriksaan ini sesuai dengan perintah Pasal 30 ayat 1 Undang-Undang No 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan pemerintah No 39 Tahun 2020 tentang akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan. Ada beberapa tujuan atau manfaat dilakukannya penilaian personal, di antaranya: (1) Untuk memastikan apakah yang bersangkutan memang benar netra, (2) Untuk mengetahui bagaimana cara yang bersangkutan mengidentifikasi sesuatu, (3) Untuk mengetahui akomodasi yang layak yang dibutuhkan selama proses peradilan

Setelah dilakukan penilaian personal, barulah diketahui bahwa benar pelaku adalah seorang difabel netra dan baru mengalami totally blind 3 tahun sebelum ditangkap, karena baru 3 tahun mengalami kenetraan maka yang bersangkutan tidak atau belum bisa mengoperasikan alat elektronik seperti handphone yang akses untuk difabel netra, termasuk membaca huruf braille juga dipastikan tidak bisa.

Lalu untuk mengidentifikasi sesuatu, yang bersangkutan menggunakan tangan untuk meraba, akan tetapi perabaan ini tidak terlalu dominan, karena lebih sering menggunakan bantuan orang lain untuk mengidentifikasi sesuatu. Faktor bantuan orang lain ini jugalah yang membuat pelaku mampu mengidentifikasi obat psikotropika, termasuk meminta orang lain untuk membelikan obat tersebut. Dengan kondisi yang baru 3 tahun mengalami kenetraan maka satu-satunya akomodasi yang layak untuk pelaku selama proses peradilan adalah pendamping. Belajar dari kasus ini, maka kita mendapatkan gambaran bahwa seorang difabel netra yang mengalami hambatan penglihatan pun tetap memiliki cara untuk melakukan suatu tindak pidana.

Lalu bagaimana dengan kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh I Wayan Agus Suartama seorang difabel fisik/daksa (tidak memiliki kedua tangan)?

Difabel fisik atau sering juga disebut disabilitas daksa adalah orang-orang yang memiliki hambatan mobilitas, tidak bisa bergerak secara mandiri dan membutuhkan alat bantu, contohnya adalah orang yang tidak memiliki kaki atau memiliki kaki tapi tidak berfungsi dengan baik, lalu untuk bergerak membutuhkan kursi roda, kruk, tongkat, prostesis kaki (alat buatan pengganti anggota tubuh) dan lain sebagainya.

Begitupun hal nya kedua tangan seperti yang dialami oleh I Wayan Agus Suartama, untuk kebutuhan mobilitas mungkin bisa menggunakan prostesis tangan buatan, atau menggunakan anggota tubuh lainnya seperti kaki yang difungsikan sebagai tangan atau jika memang tidak bisa secara mandiri maka perlu bantuan orang lain, contohnya untuk makan. Jika tidak bisa menggunakan kaki sebagai pengganti tangan, maka solusinya disuapin oleh orang lain. Kira-kira begitulah gambaran hambatan mobilitas pada orang-orang difabel fisik.

Meski memiliki hambatan mobilitas, apa mungkin seorang difabel fisik seperti I Wayan Agus Suartama mampu melakukan pelecehan seksual?

Untuk menjawab itu, mari terlebih dahulu kita pelajari apa yang dimaksud dengan tindak pidana kekerasan seksual, pasal 4 ayat 1 undang-undang RI No 12 tahun 2022 Tentang tindak pidana kekerasan seksual membagi beberapa kriteria tindak pidana kekerasan seksual, yaitu: 1) Pelecehan seksual fisik, 2) Pelecehan seksual non fisik, 3) Pemaksaan kontrasepsi, 4) Pemaksaan sterilisasi, 5) Pemaksaan perkawinan, 6) Penyiksaan seksual, 7) Eksploitasi seksual 8) Perbudakan seksual, 9) Kekerasan seksual berbasis elektronik.

Dari beberapa kriteria tersebut, Polda Nusa Tenggara Barat telah menetapkan I Wayan Agus Suartama sebagai tersangka karena melanggar pasal 6 huruf c undang-undang No 12 tahun 2022 Tentang tindak pidana kekerasan seksual, yaitu diduga melakukan pelecehan seksual fisik. Adapun isi lengkap pasalnya sebagai berikut :

“Setiap Orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp300.0OO.0OO,00 (tiga ratus juta rupiah).”

Dari segi umur, undang-undang ini relatif baru, disahkan pada Mei 2022 dan latarbelakang lahirnya undang-undang ini karena pasal-pasal tentang kekerasan seksual dalam KUHP (lama) diyakini tidak bisa memberikan pelindungan kepada korban karena cara atau modus kekerasan seksual yang terus berkembang.

Hal ini tergambarkan dari bunyi pasal 6 huruf c yang menyebutkan beberapa unsur, yaitu: bahwa setiap orang 1) yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, 2) perbawa yang timbul dari tipu muslihat, 3) hubungan keadaan, 4) memanfaatkan kerentanan, 5) ketidaksetaraan, 6) ketergantungan seseorang, 7) memaksa, 8) dengan penyesatan menggerakkan orang- melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul.

Unsur unsur tersebut tidak harus terpenuhi secara keseluruhan (kumulatif), cukup terpenuhi salah satu atau lebih (alternatif). Unsur-unsur tersebut juga menekankan bahwa pelecehan seksual fisik bisa terjadi tidak hanya semata-mata adanya aktivitas fisik tapi juga karena adanya aktivitas psikis di antara pelaku dan korban.

Terkait dengan aktivitas fisik, dengan tidak memiliki kedua tangan, sebagian masyarakat berasumsi bahwa tidak mungkin bisa dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul. Asumsi ini bisa jadi keliru, jika ternyata pelaku (dalam hal tertentu) bisa menggunakan kedua kakinya yang difungsikan seperti kedua tangan. Tapi persoalannya, pelecehan seksual fisik itu tidak hanya aktivitas fisik saja, bisa jadi juga ada aktivitas psikis yang dimainkan atau dijadikan alat bagi pelaku yang sifatnya memaksa korban untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Berdasarkan kronologi yang beredar di berbagai platform, khusus terkait peristiwa yang terjadi pada 7 oktober 2024 yang diduga dilakukan oleh I Wayan Agus Suartama, setidaknya ada 1 (satu) unsur yang bisa terpenuhi, yaitu pelaku memanfaatkan kerentanan pada diri korban. Kerentanan korban dipahami oleh pelaku melalui proses perkenalan yang terbilang singkat. Konon kabarnya, dalam perkenalannya, korban sempat bercerita kepada pelaku tentang masa lalunya dengan mantan pacarnya dan cerita itu dijadikan langkah awal bagi pelaku untuk mengekploitasi kerentanan korban.

Pemaksaan, ancaman dan cerita manipulatif adalah bentuk eksploitatifnya dan ini yang dimaksud dengan aktivitas psikis. Seorang difabel fisik seperti I Wayan Agus Suartama, punya potensi untuk melakukan aktivitas psikis tersebut, beda ceritanya jika yang bersangkutan adalah difabel intelektual. Makanya, dalam kasus ini, salah satu yang harus dilakukan penyidik adalah melakukan penilaian personal terhadap pelaku yang katanya difabel fisik.

Cerita soal masa lalu yang disampaikan korban juga perlu dibuktikan, tidak hanya dengan mendengarkan keterangan korban, tapi juga dengan mendengarkan keterangan mantan pacar korban. Tujuannya, untuk memastikan kebenaran tentang cerita masa lalu tersebut dan mengetahui tindakan atau perbuatan apa yang pernah dilakukan mantan pacar korban di masa lalu yang membuat korban sangat trauma.

Soal persetubuhan, lagi-lagi merujuk pada kronologi yang beredar di berbagai platform, mungkin ini satu-satunya hal yang tidak dibantah oleh pelaku, pelaku membenarkan terjadinya hubungan seksual dengan korban di salah satu homestay. Hanya saja, menurut pelaku, hubungan seksual itu terjadi atas kehendak korban sendiri. Jika benar atas kehendak korban dan I Wayan Agus Suartama tidak terima, mestinya menunjukan sikap keberatan dan menolak. Tapi faktanya, penolakan itu tidak ada.

Dalam menangani kasus pidana yang pelaku maupun korbannya adalah seorang difabel, hendaknya penyidik maupun pendamping harus ekstra hati-hati, dalam praktik selama ini, setidaknya ada 4 hal yang harus dicermati, yaitu :

Pertama, pura-pura difabel. Di beberapa kasus, ada orang yang melakukan kejahatan dan tiba-tiba mengaku sebagai difabel, terutama difabel mental, pelaku mencoba untuk lepas dari jeratan hukum, membangun kondisi seakan-akan tidak bisa dimintakan pertanggung-jawaban pidana dengan alibi bahwa pelaku adalah seorang difabel mental. Dalam konteks inilah penilaian personal menjadi sangat penting.

Kedua, orang lain memanfaatkan kedifabelan seseorang untuk berbuat jahat. Beberapa kasus juga menunjukan adanya pelaku kejahatan yang memanfaatkan kondisi difabel seseorang untuk membantu melakukan kejahatan, seperti kasus yang pernah diliput Kompas ini. Hal ini juga harus diteliti oleh pihak penyidik, dalam beberapa kasus pelaku utama telah memahami terlebih dahulu hambatan pada seorang difabel (terutama pada difabel sensorik, intelektual dan mental) untuk selanjutnya dimanfaatkan untuk membantu melakukan kejahatan dan karena hambatan itu pula difabelnya tidak memahami atau tidak menyadari bahwa yang bersangkutan sedang dimanfaatkan oleh seseorang.

Ketiga, kerentanan difabel menjadi target kejahatan. Kondisi ini yang justru sering terjadi, dimana seorang difabel (seluruh ragam difabel) menjadi korban kejahatan dan kerentanan sebagai difabel dimanfaatkan pelaku untuk melancarkan aksi kejahatannya.

Keempat, difabel yang memanfaatkan kondisi difabelnya. Kondisi ini sangat mungkin terjadi pada difabel fisik dan sensorik. Pada kasus difabel netra yang sebelumnya telah disampaikan, sangat mungkin pelaku membangun opini bahwa dia tidak mungkin membeli dan mengonsumsi obat psikotropika dengan kondisinya yang sama sekali tidak bisa melihat, bahkan yang bersangkutan bisa saja mengklaim bahwa dia dijebak oleh seseorang atau bahkan mengaku sebagai korban rekayasa pihak kepolisian. Opini yang dibangun seperti ini sangat bisa diterima oleh nalar publik meski faktanya tidak seperti itu.

Begitupun dalam kasus pelecehan seksual yang terjadi di Mataram yang diduga dilakukan oleh I Wayan Agus Suartama, ada potensi pelaku memanfaatkan kondisi kedifabelannya. Salah satunya dengan cara membangun opini bahwa dengan kondisi tidak memiliki kedua tangan, yang bersangkutan tidak bisa melakukan kegiatan apapun, terutama kegiatan yang berkaitan dengan fungsi tangan. Oleh karenanya, dalam konteks seperti ini pun, penilaian personal terhadap difabel menjadi sangat penting.

Selain memastikan bahwa pelaku adalah difabel fisik, juga memastikan apa saja hambatannya dan bagaimana peran kedua kaki, apakah kedua kaki cukup dominan menggantikan fungsi tangan atau justu dalam rutinitas selama ini lebih dominan dibantu orang lain? Proses penilaian personal ini menjadi sangat krusial, untuk mengetahui apakah yang bersangkutan memang tidak bisa melakukan tindakan fisik apapun secara mandiri atau justru sebaliknya. Pelaku sebenarnya bisa melakukan tindakan secara mandiri tapi memanfaatkan kondisi difabelnya untuk membangun opini seakan-akan tidak bisa melakukan tindak pidana termasuk pelecehan seksual fisik.

Penanganan kasus di Mataram ini akan menjadi contoh yang baik manakala pihak kepolisian memiliki perspektif yang melindungi korban tapi juga menghormati hak-hak difabel meski ia sebagai pelaku. Due process of law harus dikedepankan dan tidak boleh ragu dalam bertindak. Semoga penyidik fokus pada pembuktian karena dalam perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang dari cahaya “in criminalibus, probantiones bedent esse luce clariores”.[]

 

Penulis: Sarli Zulhendra, Advokat sekaligus Tim Advokasi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia.

Editor: Rob Andi

 

Referensi:

Undang-Undang No 8 tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas

Undang-Undang No 12 tahun 2022 Tentang tindak pidana kekerasan seksual

Peraturan Pemerintah No 39 Tahun 2020 Tentang Akomodasi yang layak untuk penyandang disabilitas dalam proses peradilan

https://megapolitan.kompas.com/read/2022/09/22/19264891/modus-baru-penyelundupan-narkoba-penyandang-disabilitas-jadi-kurir

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content