Views: 43
Solidernews.com. Sleman. MEMPEROLEH pendidikan adalah hak setiap individu. Pemenuhannya menjadi tanggung jawab lembaga negara maupun swasta. Ketersediaan akomodasi yang layak atau aksesibilitas sesuai kebutuhan, dijamin oleh undang-undang. Aksesibilitas akan memberikan kemudahan bagi siswa dengan kebutuhan berbeda, dalam belajar. Karenanya, keberadaannya tak lagi bisa ditawar.
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), provinsi ini telah memiliki julukan sebagai provinsi inklusif. Julukan diperoleh karena, daerah ini telah memberi kesempatan kepada siswa difabel, mengakses pendidikan bersama para siswa nondifabel. Keterbukaan ini terjadi baik di tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
Pondok pesantren yang memberikan pendidikan bagi para tuli yang beragama Islam, pun ada di provinsi ini. Benar adanya, bahwa pendidikan agama Islam telah diterapkan di pondok pesantren, sekolah, maupun lembaga pendidikan non-formal. Namun, yang memberikan akses terhadap anak-anak tuli belajar agama, tak banyak. Bahkan, bisa dihitung dengan jari. Yaitu, hanya 2 pondok pesantren. Satu di antaranya Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Ashom. Tempat ini, memberi kesempatan muslim tuli, belajar tahfidz Al-Qur’an.
Anak-anak di mata UNICEF
Organisasi dunia yang berfokus dalam pembangunan dan kemanusiaan untuk anak-anak UNICEF (United Nations Children’s Fund), mengungkapkan bahwa: anak-anak difabel di Indonesia menghadapi tantangan besar, dalam mendapatkan akses pendidikan yang memadai.
Data UNICEF menunjukkan, sebanyak 36% anak difabel di Indonesia tidak dapat bersekolah. Kondisi ini menyebabkan anak-anak difabel tertinggal dalam berbagai indikator perkembangan, termasuk pendidikan.
Tidak hanya terjadi di pendidikan umum. UNICEF juga menyoroti minimnya akses bagi difabel dalam pendidikan Islam. Dalam hal ini pelajaran mengenai Al-Qur’an. Berbagai faktor menjadi penyebabnya. Hambatan pendengaran dan kurangnya motivasi menjadi hambatan utama. Kegagalan pendidikan khusus dalam mengembangkan kemampuan membaca Al-Qur’an pada anak dengan tuli, sering disebabkan oleh metode pengajaran yang tidak efektif dan keterbatasan teknologi pendukung.
Di sisi lain, Kementerian Agama telah memberlakukan Peraturan Menteri Agama Nomor 90 Tahun 2013, tentang kewajiban menyediakan akses bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Selain itu, UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabiulitas, juga menjamin terpenuhinya berbagai hak warga difabel.
Namun, berbagai kebijakan yang ada, terbukti tak cukup. Dibutuhkan para guru yang kompeten. Guru-guru yang memiliki kemampuan mengadaptasi kurikulum dalam pembelajaran. Serta, dibutuhkan media pembelajaran yang aksesibel bagi tuli.
Mengenal Ponpes Darul Ashom
Ponpes ini berlokasi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lembaga pendidikan Islam swasta yang didirikan oleh Ustadz Abu Kahfi, pada 19 September 2019. Pada mulanya, Ponpes Darul Ashom berlokasi di Kecamatan Srandakan, Bantul, DIY. Pada Januari 2021, berpindah di Jalan Sumatera, Kayen C11/C13, Condong Catur, Depok, Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta.
Berbeda dengan ponpes pada umumnya, Ponpes Darul Ashom mendidik para santri dengan hambatan pendengaran (tuli). Menurut Ustad Abu Kahfi, Darul Ashom berarti rumah Tuli. Ponpes ini menjadi tempat bagi anak-anak Tuli belajar agama. Mulai dari Ilmu Tauhid, sampai dengan Tahfidz (menghafal Al Qur’an) sebagai program unggulan di pondok ini.
Saat ini, terdapat 125 santri laki-laki dan 50 santri perempuan. Mereka datang dari berbagai provinsi. Ada pun para pengajarnya (ustadz dan ustadzah) berjumlah 12 orang. Mereka berasal dari berbagai latar belakang pendidikan. Di antaranya penghafal Al Qur’an (Hafidz/Hafidzah) dan lulusan Pendidikan Luar Biasa (PLB). Bahasa Isyarat, adalah bahasa yang digunakan dalam pembelajaran, termasuk dalam membaca dan menghafal Al Qur’an.
Isyarat huruf hijaiyah diisyaratkan huruf demi huruf untuk “melafalkan” Al Qur’an. Inspirasi dari penerapan teknik tersebut diperoleh Ustadz Abu Kahfi dari Kota Madinah dan Riyadh, Arab Saudi. Pria ini, memperoleh izin secara legal untuk mengajarkan teknik membaca dan menghafal Al Qur’an menggunakan huruf hijaiyah isyarat di Indonesia.
Kepada solidernews.com Ustadz Abu Kahfi mengatakan bahwa, sampai saat ini, teknik membaca dan menghafal Al Qur’an tidak mengalami modifikasi. Tetap mempertahankan sanad dari Arab Saudi. Metode universal, yang digunakan di berbagai negara. Misalnya, Malaysia dan Mesir.
“Mayoritas penyandang tunarungu masih memiliki keterbatasan memperoleh akses pendidikan agama sebagai hak dasar mereka. Hal tersebut semakin memperkuat niat saya mendidik mereka, mulai dari usia anak-anak. Sehingga, tuli memperoleh pendidikan agama, sedari dini,” ujar Ustadz Abu Kahfi yang mulai berinteraksi dengan tuli sejak 2009 itu.
Dituturkannya pula, bahwa Ponpes Darul Ashom terus berbenah dan berkembang. Melalui kerjasama dengan berbagai pihak, di antaranya Kementrian Agama Republik Indonesia dan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, keberadaan pondok dapat memberi manfaat. Sebagai upaya mengoptimalkan pelayanan pendidikan, ponpes juga menjalin relasi dengan komunitas tuli, praktisi dan pemerhati tuli, serta Sekolah Luar Biasa (SLB).
Menarik! Ponpes ini menanggung seluruh biaya pendidikan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Biaya tersebut telah mencakup biaya pendaftaran, buku-buku, seragam, serta perlengkapan mandi.
Mandiri dan percaya diri
Pondok Pesantren Darul Ashom, tak hanya memberikan pendidikan agama bagi para santri Tuli. Namun juga menumbuhkan kemandirian. Para santri juga memiliki kepercayaan diri, terlibat kegiatan bermasyarakat. Hal ini mengemuka dari Zainal Arifin, salah satu orang tua santri.
“Anak saya dulunya minder, dia tahu dia berbeda. Namun sejak dia datang ke sini dia tidak lagi malu berada di tempat umum. Dia mengatakan kepada saya bahwa Allah membuatnya seperti ini, dan dia telah menerima dirinya sepenuhnya,” ujarnya, Jumat (31/1/2025).
Keberadaan Ponpes Darul Ashom memberi bukti. Bahwa mengubah cara pandang dan memberikan kesempatan, menjadi kunci sebuah perubahan. Tak ada yang tak mungkin, jika kesempatan itu diberikan dan dioptimalkan.
Ponpes ini telah mendukung kesetaraan akses pendidikan bagi anak-anak difabel. Tuli dalam kasus ini. Satu tindakan besar telah dilakukan pimpinan ponpes. Yaitu, langkah penting memajukan hak anak-anak difabel.
Untuk itu, bersinergi dengan berbagai pihak diperlukan. Demikian juga menghapus hambatan, baik yang berada di dalam maupun luar diri tuli. Selebihnya, lembaga negara maupun swasta, berkiprah memastikan semua anak difabel, mendapatkan akses terhadap pendidikan yang berkualitas.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan