Views: 7
Solidernews.com. Yogyakarta. SEBUAH kenyataan, menjadi keprihatinan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) Indonesia. Pendidikan inklusif! Meski sudah sering kali menjadi diskusi, persoalan tak henti berkelindan. Tak jarang persoalah dihadirkan oleh para pihak di institusi pendidikan. Penolakan secara halus hingga vulgar, dilakukan. Tak hendak memberikan akses pada anak-anak difabel belajar di sekolah reguler. Lalu dengan semena-mena, menggiringnya ke Sekolah Luar Biasa (SLB).
Bukan perkara sekolah luar biasa tidak bagus. Bukan perkara SLB tidak dibutuhkan. Melainkan, lebih pada mewujudkan hak bagi setiap anak, tanpa kecuali anak difabel, mendapatkan pendidikan di sekolah apa pun. Sekolah-sekolah yang berjarak dekat dari rumah tinggal mereka, keluarga dengan anaknya yang difabel.
Jika terus saja dilakukan penolakan, lantas, apa artinya label inklusi yang sempat disematkan pada beberapa sekolah reguler, beberapa waktu lalu? Dan kini, Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, telah menjamin penyelenggaraan pendidikan inklusif di tiap-tiap sekolah. Undang-undang mengatur, semua anak berhak bersekolah di sekolah terdekat. Karenanya label sekolah inklusif tak lagi diperlukan. Label tersebut telah gugur dengan diberlakukannya UU 8/2016. Bahwa, semua sekolah, wajib memberikan kesempatan kepada setiap anak, mendapatkan pendidikan yang sama dan setara.
Tak ada pilihan
Setengah hati dalam implementasi, demikian pandangan beberapa orang tua dengan anak mereka yang difabel. Painem, Dyah dan Siwi, adalah para orang tua yang pada akhirnya memilih menyekolahkan anak mereka ke SLB. Meski jarak tempuh cukup jauh, tetap saja harus dilakukan. “Tak ada pilihan. Sekolah reguler yang dekat rumah menolak, meski secara halus,” ujar ketiganya.
Painem, ibu tunggal dari Puput. Perempuan yang tinggal di Gejawan, Balecatur, Gamping Sleman itu, menyekolahkan Puput di SLB Kalibayem. Jarak antara rumahnya dengan sekolah kurang lebih 10 kilo meter. Waktu tempuh menggunakan sepeda motor kurang lebih 20 menit. Sementara menuju sekolah dasar negeri, tak sampai lima menit waktu tempuh yang dibutuhkan.
Tak ada masalah dengan intelegensi Puput. Dia hanya terlahir dengan telapak kaki menekuk ke luar. Pengkor. Demikian istilah dalam bahasa Jawa. Menurut pengakuan Painem, dia harus membawa surat dari kepolisian, agar dapat menyekolahkan anaknya di sekolah negeri dekat rumahnya. Mundur teratur, tanpa banyak bertanya, tanpa ada diskusi lanjut dengan pihak sekolah. “Puput sekolah di SLB saja ya”. Kalimat yang disampaikan pada sang anak. Sebuah pilihan ditetapkan, dengan harapan anaknya bisa menerima dan diterima bersekolah di SLB.
Pun demikian dengan Dyah dengan anaknya yang mild autism dan Siwi dengan putranya yang down syndrome. Kedua orang tua ini menyekolahkan anak mereka di SLB. Kasusnya, ditolak sekolah negeri terdekat, lalu disarankan bersekolah di SLB. Sekolah mengatakan tidak memiliki guru yang bisa mengajari anaknya. Jarak yang jauh bukan menjadi halangan bagi keduanya. Yang utama, anak mereka dapat bersekolah, dapat juga berkawan.
Renyah di mulut
Ibarat makanan, kata inklusif hanya renyah di mulut. Memikat. Sehingga menjadi perhatian khalayak. Viral, dari seminar ke seminar pendidikan. Sejalan dengan apa yang disampaikan Ro’fah Makin, P.Hd. “Inklusif itu gampang diomongkan tapi sulit dipraktikkan”. Ucapnya dalam kapasitas sebagai narasumber, pada webbinar bertema Pendidikan Inklusif. Sebuah diskusi online menggunakan platform zoom. Diprakarsai Sigab Indonesia, melalui program GOOD, pada Rabu (13/3). Benar saja, persoalan inklusivitas dalam pendidikan, kini makin menjadi perhatian banyak pihak.
Bagaimana tidak? Secara kultural, hak-hak difabel di dunia pendidikan masih terancam. Stigma yang mengakar, paham ableisme, bias normalisme, hingga segregasi antara sekolah khusus dan sekolah umum, masuk dalam lingkar perdebatan tak berujung. Berbagai pandangan merugikan para bocah yang terlahir difabel. Terlahir! Karena tidak pernah ada bargaining antara pencipta dengan diri mereka, atau dengan ibu, sebagai orang tua yang mengandungnya.
Ro’fah, demikian dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sekaligus ibu dari remaja autis usia 21 tahun, itu biasa dipanggil. Beberapa teori dari negara barat dipaparkannya. Satu di antaranya, terori dari Inggris yang mengatakan, bahwa permasalahan difabel bukan pada masalah cara berpikir seseorang, tapi masalah datang dari lingkungan. Teori ini, sangat banyak dijumpai di Indonesia. Yogyakarta, satu di antarnya. Lingkungan, entah secara fisik maupun pandangan, sering kali menghambat tumbuhnya inklusivitas.
Dia juga sampaikan Kasus Brown dari Amerika Serikat, yang memicu lahirnya gelombang protes terhadap SLB. Brown, adalah kasus hukum pada 1954. Keberadaan SLB waktu itu digugat. Ide tersebut melahirkan dan mengakhiri proses segregasi. Yakni, proses sekolah memisahkan anak difabel dengan anak pada umumnya. Gelombang protes tersebut berhasil. Anak-anak difabel di Amerika Serikat, mulai bisa masuk ke sekolah umum atau sekolah reguler.
Ro’fah juga memaparkan adanya Deklarasi Salamanca. Samalanca adalah nama kota di spanyol. Di kota inilah, pertama kali lahir untuk yang pertama kalinya, istilah pendidikan inklusi.
Deklarasi Salamanca tersebut berbunyi, “Sekolah reguler dengan orientasi inklusif ini merupakan cara yang paling efektif untuk memerangi sikap diskriminatif, menciptakan komunitas yang ramah, membangun masyarakat yang inklusif, dan mencapai pendidikan untuk semua; selain itu, sekolah-sekolah ini juga menyediakan pendidikan yang efektif bagi sebagian besar anak, serta meningkatkan efisiensi dan pada akhirnya meningkatkan efektivitas biaya dari sistem pendidikan secara keseluruhan.”
Satu deklarasi, yang mencerminkan penerimaan lingkungan terhadap siapa pun anak. Tanpa kecuali anak-anak yang terlahir dengan berbagai perbedaan. Sebuah deklarasi, yang jika dijalankan sepenuh hati, maka pendidikan inklusi tak akan lagi menjadi sebuah mimpi.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan Arief