Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Pola Pendampingan Asih Asah Asuh dan Perempuan Berdaya Tanpa Kekerasan

Views: 15

Solidernews.com, Yogyakarta – Setiap tahun, dunia memperingati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) pada 25 November hingga 10 Desember. Periode ini menjadi momen penting, menyuarakan penolakan terhadap segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.

 

 

Gerakan peringatan ini dimulai pada tahun 1991 oleh Center for Women’s Global Leadership. Sebuah gerakan sebagai bentuk peringatan terhadap tragedi pembunuhan tiga aktivis perempuan di Republik Dominika. Sejak itu, 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan menjadi platform global untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan menentang segala bentuk kekerasan yang ada.

 

 

Peringatan ini bukan hanya seremonial semata. Melainkan, sebuah panggilan untuk bertindak. Sebuah kesempatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak buruk kekerasan terhadap perempuan. Selanjutnya, membangun solidaritas dan mendorong langkah-langkah nyata menuju perubahan positif. Serta, dijadikan sebagai momentum penting untuk merenung, bertindak, dan bersatu dalam usaha mengakhiri ketidaksetaraan gender.

 

Asih asah asuh

Mengembangkan budaya saling asih, saling asah, dan saling asuh, akan berimplikasi pada tumbuhnya pribadi-pribadi dengan ciri atau karakter berdaya. Jika budaya itu diterima anak-anak perempuan, maka seorang perempuan akan tumbuh berdaya. Karena berdaya, maka diharapkan perempuan difabel, dapat menjaga diri dari berbagai tindakan kekerasan.

 

Tersebut di atas, mengemuka dari Gusti Kanjeng Bendara Raden Ayu Adipati (GKBRAA) Paku Alam. Lanjutnya, “Yen kowe anglakoni samubarang, kudu kalayan seneng kang trusing ati. Artinya, jika engkau melakukan sesuatu harus dengan senang hati dan tulus. Hal ini berkaitan erat dengan pendampingan terhadap penyandang disabilitas, nasihat tersebut sangat dibutuhkan,” Istri Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPA) Paku Alam X menyampaikan dalam sambutannya .

 

Diketahui bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah realitas yang masih menghantui masyarakat kita. Hal ini pula yang terjadi pada perempuan difabel. Fenomena ini tidak mengenal batas geografis, kelas sosial, bahkan latar belakang budaya. Mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dapat dimulai dengan membangun kesetaraan di lingkungan masyarakat.

 

Karenanya, menyerukan gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan difabel dikumandangkan Perhimpunan Ohana Indonesia. Bertempat di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) Yogyakarta, seruan itu digaungkan dalam peringatan 16HAKTP, yang dihelat dalam tiga hari (28 November – 1 Desember 2023).

 

Bertajuk ‘Perempuan Berdaya Tanpa Kekerasan’, talkshow digelar secara inklusif, pada Kamis (30/11/2023). Satu kegiatan yang sekaligus kampanye internasional, mendorong upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia, khususnya Yogyakarta.

 

Ohana law center

Perhimpunan Ohana Indonesua, berkomitmen menjamin adanya pendampingan dan penyediaan rumah aman, bagi perempuan difabel korban kekerasan. Intitusi dan lembaga lintas sector terlibat dalam gerakan ini. Termasuk para kader dan masyarakat di berbagai wilayah.

 

Pendampingan pada korban kekerasan dilakukan dengan penguatan psikologis secara menyeluruh. Utamanya pada korban khususnya difabel, mulai dari proses pelaporan hingga pemeriksaan di kantor kepolisian. Ohana Indonesia juga melakukan sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Memahamkan masyarakat luas tentang apa dan bagaimana dampak yang dialami korban, adalah salah satu cara. Demikian pula, alur pengaduan, ketika mendapati difabel sebagai korban kekerasan.

 

Dalam upaya melakukan pendampingan, sosialisasi dan advokasi, Ohana Law Center secara khusus  memberikan pelayanan bantuan hukum bagi perempuan difabel korban kekerasan.

 

Sesungguhnya, dalam perjalanan menuju masyarakat yang adil dan setara, mencegah kekerasan terhadap perempuan difabel, bukan hanya tugas perempuan itu sendiri. Melainkan, sebuah tanggung jawab kolektif yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Saatnya kampanye mengakhiri kekerasan, dimulai di berbagai lini. Dunia pendidikan, satu di antaranya. Mengedepankan nilai-nilai kesetaraan dan mengajarkan pentingnya menghormati hak-hak individu, dapat dikembangkan di sana.[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor      : Ajiwan Arief

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air