Views: 14
Solidernews.com, Yogyakarta. KOMUNITAS Sakatoya. Menghadirkan teater “Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok”. Dipentaskan selama enam hari, mulai 3 sampai dengan 8 Desember 2024, dalam enam situs di Yogyakarta, dengan enam sutradara yang berbeda. Didukung Kementerian Kebudayaan melalui program Fasilitasi Bidang Kebudayaan Teater Kepahlawanan 2024, Sakatoya menghadirkan teater situs spesifik. Dengan pengalaman imersif-partisipatoris. Penonton diajak mengalami biografi Soerjopranoto dan kelindan peristiwa yang menyertainya.
Proyek teater ini melibatkan 120 partisipan dari berbagai kalangan setiap harinya. Pelajar, berbagai komunitas sejarah, akademisi, keluarga ahli waris, hingga serikat buruh dan perkumpulan guru sejarah, tanpa kecuali difabel netra.
Spesifik pertunjukkan kedua, Rabu (4/12), Solidernews.com mencatat keterlibatan difabel netra di dalamnya. Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) dilibatkan sebagai partisipan. Sedang Puserbumi, band dengan seluruh personilnya difabel netra (tottaly blind dan low vision), sebagai penampil atau pengisi acara.
Berawal dari Pabrik Gula Madukismo, tempat Soerjopranoto pada 1930-an mengorganisir para buruh untuk mogok, pertistiwa teater hari kedua bermula. Kemudian menuju Kotagede. Rombongan, seluruh yang terlibat tanpa kecuali difabel netra, diajak menyusuri gang-gang kecil Kotagede. Mereka meniti jejak Soerjopranoto, ziarah ke makam leluhur Pakualaman III.
Pertunjukan kan pun dimulai. Ada perfoming lacture. Yaitu pembacaan refleksi Soeryoparanoto tentang Tuhan, oleh tokoh teater Landung Simatupang.
Makan siang bersama di dapur Kaskaya pun menjadi bagian dari kegiatan. Dilanjutkan, kembali menuju ke Pabrik Gula Madukismo. Bertempat di Impacemen, hadirin disuguhi beberapa pertunjukan. Mulai dari wayang kulit dengan seorang dalang perempuan, penampilan mengesankan Puserbumi band. Mengenakan kostum jawa mataraman, Riska Rinonce (vokal), grup band ini membawakan tiga judul lagu.
Senja pun purna. Tiba saatnya, pembacaan naskah Ki Hajar Dewantara “Ketika Aku Menjadi Belanda” oleh Teater Kagama. Penampilan grup hip hop lospakualamos, menjadi titik akhir peristiwa teatar hari itu.
Penting melibatkan difabel
Pelibatan difabel netra (Pertuni) pada peristiwa ini, menghadirkan pengalaman baru. Mereka diajak, diberi kesempatan, mengalami peristiwa sejarah kepahlawanan Soerjopranoto. Melalui sound atau suara, jalan susur lorong gang Kotagede, serta meraba replika kepala dan wajah Soerjopranoto.
Kepada solidernews.com, difabel netra sekaligus pengurus Pertuni Wildan Aulia Rizqi Ramadhan, menceritakan pengalaman keterlibatannya. Wildan, demikian nama panggilannya. Dia mengatakan, mendapatkan pengalaman baru. Mengaku beruntung punya kesempatan mengetahui makam raja-raja Jawa. Bisa melakukan orientasi dan mobilitas, menyusuri kampung di Kotagede.
“Sangat berharga bagi saya. Bisa merasakan solat dhuhur di masjid kotagede. Dapat menikmati kebersamaan. Ini sangat positif. Terlebih digabungkan dengan peserta nondifabel. Sehingga bisa mencoba akrab dan membaur dengan peserta lainnya;” ujar Wildan, pengurus Pertuni itu.
Lanjutnya, apa yang saya lakukan bersama teman-teman Pertuni sangat menyenangkan. Saya dan teman-teman melakukan serangkaian kegiatan, yang tidak terpikirkan sebelumnya. Yaitu kunjungan ke makam raja-raja. Kebetulan waktu saya ikut masuk di area pemakaman. Sangat menjunjung kearifan lokal. Saya sempat bersuci dengan air sendang. Terus memakai pakaian adat Jawa. Lalu masuk ke area pemakaman dan mengetahui pemakaman leluhur.
“Dari kujungan itu, menimbulkan rasa bangga sekaligus rasa syukur. Kagum dengan perjuangan para leluluhur raja Jawa dalam memperjuangkan kemerdekaan. Tantangan dan perjuangannya patut menjadi pembelajaran bagi difabel maupun non difabel. Saya sendiri menjadi lebih bersemangat mengisi kemerdekaan. Lebih mensyukuri lagi nikmat yang ada sekarang ini,” imbuh Wildan.
Sempat juga mendengarkan nasihat, yang jarang diketahui masyarakat sekarang, kata dia. Terutama kaum muda. Petuah leluhur yang senantiasa dijaga dan diingat dan dilaksanakan. Karena petuah yang disampaikan relevan dengan kehidupan di berbagai zaman.
Pada tahapan terakhir, kami berkesempatan menyimak pertunjukan teater perlawanan Soerjopranoto melawan kolonial. Pandangan tentang kehidupan masa lampau, saya dapatkan. Ternyata sejak dulu, ada orang-orang yang memanfaatkan nama besar atau keturunan orang yang berpengaruh untuk kepentingan pribadinya. Ini selalu relevan hingga sekarang.
“Sedang sosok Soerjopranoto mengajarkan patriotisme. Pada pementasan tersebut, orang Jawa yang mempelajari gaya kepemimpinan orang belanda. Kemudian berani keluar dari zona nyaman. Berjuang untuk masyarakat marginal yang bermimpi bisa merdeka di tanah sendiri. Intinya, kata Wildan, pementasan tersebut bagus. Menggugah rasa nasionalisme,” pungkas Wildan, Jumat (6/12).
Membuka luas kesempatan
Solidernew.com juga berhasil mewawancari sutradara pementasan hari kedua, Irfanuddien Ghozali. Memberikan akses atau kesempatan kepada difabel netra menyerap sejarah, kata dia, menjadi bagian penting dari pertunjukkan selama 6 hari itu.
“Bagaimana mereka memandang dan memaknai sejarah, untuk itu mereka dilibatkan. Menempatkan mereka dalam konteks pengetahuan sejarah, dengan menjadi bagian yang mengalami sendiri peristiwa. Dengan begitu, kawan-kawan tuna netra dapat mengimajinasikan sesuatu. Sehingga melahirkan pikiran kaitannya dengan sejarah museum,” ujarnya.
Pertunjukkan, harus melibatkan perspektif tertentu. Sejak awal ciptaan pertunjukkan teater, peristiwa dan ruang perlu menggunaklan perspektif disabilitas. Dengan demikian semua bisa terlibat, tanpa kecuali orang dengan disabilitas.
Sutradara muda itu juga menyampaikan pandangan dan pertanyaan kritisnya. Era kini, sudah ada teknologi braille untuk mencetak buku, yang dapat diakses kawan-kawan tuna netra. Tetapi, apakah sudah ada buku sejarah yang di-braille-kan? Selama ini, lanjut Ghozali, sejarah masih didominasi dengan teks tertulis. Pada pertunjukkan ini, teman difabel netra belajar sejarah berbasis suara.
Ketika menghadirkan difabel netra di pertunjukkan, sejauh mana mereka bisa mengakses pertunjukkan, perlu diberikan. Kekuatan mereka memang pada suara rabaan. Karenanya, di Pos I Kotagede, patung kepala Soerjopranoto diletakkan di tengah Joglo. Mereka diberi kesempatan meraba wajahnya.
“Ini juga sebuah kritik kepada negara. Bagaimana, museum seharusnya aksesibel untuk difabel netra. Selama ini, contohnya di Museum Benteng Vredeburg, semua benda tidak boleh diraba. Ketiadaan benda yang direplikasi, ini mendiskriminasi kawan-kawan netra belajar sejarah,” tandas Ghozali.
Pesan moral pertunjukkan
Pesan moral yang ingin disampaikan melalui pertunjukkan tersebut, ialah bagaimana bisa menjadi seorang kstaria. Mengelana, meninggalkan segala previles (previlage), berjuang untuk mereka yang termarginalkan. Bahkan sanggup menciptakan sesuatu yang baru, di tempat barunya. Ksaria yang punya nyali menciptakan sesuatu. Melakukan perlawanan namun nir (tanpa) kekerasan.
Bangsawan yang aktif berjuang untuk buruh. Berani memulai. Bukan yang mengelus-elus. Bentuk pertunjukkan di situ bukan di Panggung, demografi penonton acak, berdaulat atas pilihannya si Suryopranoto. Ikut biki BU keluar, SI Cokromainioto keluar. Si Ismangun mau melahirkan PKI.
Ringkasan pertunjukkan
Soerjopranoto. Adalah tokoh pahlawan yang lahir 11 Januari 1871, di lingkungan Puro Pakualaman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Seorang bangsawan Jawa, putra Kanjeng Pangeran Harya (KPH) Soerjaningrat, putra tertua dari Paku Alam III, sekaligus kakak dari Ki Hajar Dewantara. Ia tidak memanfaatkan privilesenya untuk berfoya-foya. Sebaliknya, Soerjopranoto memilih jalan hidup, membela kaum tertindas. Bergabung dengan beberapa organisasi pemuda dan pekerja, yaitu: Boedi Oetomo, Serikat Buruh Pegawai Negeri, hingga Sarekat Islam.
Satu catatan, dalam perjalanan politiknya, KPH Soerjaningrat Sang Pewaris Tahta Pakualam III, mengalami kebutaan. Soerjaningrat, tak lain adalah ayahanda Soerjopranoto dan Ki Hajar Dewantara (Soewardi Soerjoningrat). Pangeran dari Pakualaman yang memilih terjun ke kancah pergerakan nasional, untuk membela buruh dan rakyat jelata.
“Sekarang adalah zaman demokrasi, zaman pemerintahan rakyat. Raja tidak boleh memerintah semaunya, tapi rakyat sendiri harus bersuara, turut serta dalam membuat aturan-aturan dan tidak boleh hanya diperintah!”, adalah kata-kata keras Soerjopranoto.
Pertunjukan pembuka dimulai pada Selasa, 3 Desember, bertepatan dengan Hari Disabilitas Internasional. Pementasan dengan judul “R.M Soerjopranoto” dihelat di SMK Ibu Pawiyatan Tamansiswa. Teater disutradarai Mifathul Maghfira Simanjuntak. Pertunjukan ini mengisahkan biografi masa kecil Soerjopranoto, yang dituturkan melalui perspektif sang istri, R.A Jauharin Insiyah.
Pertunjukkan kedua Rabu, 4 Desember. Pementasan berjudul “(Denmas Landung) Suryapranoto Bertukar Jalan,” disutradarai Irfanuddien Ghozali. Pertunjukkan kedua ini merupakan tafsir ulang buku biografi Suryapranoto, yang ditulis Budiawan, “Anak Bangsawan Bertukar Jalan” yang diterbitkan LKiS, 2006. Pertunjukan ini memadukan serangkaian praktik seni dan laku keseharian, untuk mengkonstruksi biografi Suryopranoto dalam bentuk kontemporer, kritis, dan reflektif. Digelar di 3 situs pengetahuan. Yakni: Kompleks Makam Raja-Raja Mataram Islam Kotagede, Ndalem Nototarunan, dan Emplasemen Pabrik Gula Madukismo.
Lalu, pada 5 Desember, pertunjukan “Via Soerjopranoto” yang disutradarai oleh Darryl Haryanto, menggunakan Aula Boedi Oetomo di SMA N 11 Yogyakarta. Pertunjukan ini menitik temukan ketidaksepakatan Soerjopranoto atas kongres pertama Boedi Oetomo, mengenai kolonialisme, kapitalisme, dan feodalisme. Variabel itu menjadi landasan, lensa, sekaligus taktik untuk menjelajahi peta sosial-politik Indonesia hari ini, dengan dipertemukan pada biografi dan realitas harian para performer.
Pada 6 Desember, dengan sutradara Gilang “Gilbo” dan asisten sutradara, Galuh Putri S. Merela membawakan pertunjukan “Wiyata Adhi Dharma” di Rumah Suryoputran, Kelurahan Panembahan, Yogyakarta. Menghadirkan sebuah pertunjukan yang terinspirasi dari lembaga pendidikan Adhi Dharma, pertunjukan ini hendak menampilkan spekulasi fiksi. Dengan menghadirkan situasi kelas terbuka, yang dapat memantik penonton mengalami pertunjukan secara langsung dan mendalam.
Selanjutnya, pada 7 Desember, pertunjukan “Vergadering Sarekat Islam (Suatu Hari Sebelum Indonesia)” dengan sutradara Shohifur Ridho’i. Bertempat di Amphitheatre TBY, menghadirkan pertunjukan spekulatif. Mereka ulang situasi kongres Sarekat Islam, dengan menampilkan pemaparan Soerjopranoto atas hak-hak buruh dan feodalisme. Pertunjukan ini mengartikulasikan dinamika gagasan dan perdebatan di era pergerakan nasional.
Rangkaian proyek teater ini pun akan ditutup oleh pertunjukan “Merapal Piwulang Sampai Pulang” yang disutradarai Amalia Rizqi Fitriani. Pertunjukan ini bertempat di Makam Rachmat Jati, Kotagede, Yogyakarta. Dengan menggunakan dramaturgi ziarah, pertunjukan ini akan menghadirkan narasi kebijaksanaan akhir hayat Soerjopranoto. Sebagai bentuk penghormatan, melalui bentuk ritual pemakaman yang menghadirkan pertunjukan ceramah, teater objek, doa bersama, hingga ziarah bergilir.
Sebagaimana dirilis Kedaulatan Rakyat, B.M Anggana, selaku Produser dan Dramaturg Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok ini menyampaikan pernyatannya. Bahwa proyek pertunjukan, dirancang guna membicarakan kembali nilai-nilai perjuangan Soerjopranoto yang masih relevan dengan dinamika hari ini. Terutama terkait persoalan sosial-ekonomi yang dihadapi oleh kaum buruh dan pekerja di Indonesia. Bentuk pertunjukan sendiri dipilih sebagai upaya untuk tidak memaksakan pemampatan biografi sejarah dalam satu durasi pertunjukan. Bernalar prosenium, yang acapkali mereduksi narasi kecil yang penting untuk dipercakapkan.[]
Reporter: Harta Nining Wijaya
Editor : Ajiwan