Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol bagian kanan bawah sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Pertanggungjawaban Difabel Mental dan Intelektual Berdasarkan UU KUHP

Views: 165

Solidernews.com – Pada tahun 2019, Wendi, seorang difabel intelektual yang sehari-hari bekerja menjadi juru parkir di Semarang, ditahan dan dijatuhi vonis 6 bulan penjara dikurangi masa tahanan karena melakukan pencurian Burung Beo. Reportase melaporkan bahwa Wendi dipaksa oleh rekannya untuk menemani temannya mencuri Burung Beo dan Wendi diancam akan disakiti jika tidak membantu rekannya. Dalam kasus tersebut, dilaporkan bahwa Wendi diintimidasi dan bahkan sempat ditemukan dengan luka-luka ketika menjalani masa tahanan. Selama persidangan, terdapat kejanggalan dalam penanganan perkara. Salah satunya adalah dimana kuasa hukum Wendi memohonkan untuk dilakukan pemeriksaan kesehatan karena Wendi merupakan difabel mental, namun hakim kepolisian, dan jaksa tidak mengabulkan permohonan tersebut. Wendi telah bebas saat ini, namun sejak peristiwa tersebut, Wendi trauma tinggal di Semarang dan dipindahkan bersama keluarganya ke luar kota (Wibisono, 2021).

Proses peradilan pidana yang melibatkan difabel sebagai pelaku memiliki kompleksitas tersendiri. Pada satu sisi, hukum pidana dirancang untuk melindungi hak korban melalui pemidanaan pelaku kejahatan. Namun di sisi lain, pelaku yang merupakan difabel mental atau intelektual dapat memiliki hambatan dan tantangan tersendiri dalam memahami atau mengendalikan perilakunya. Jika kedua hal tersebut tidak dipertimbangkan dalam penegakan hukum, hukum akan gagal dalam mencapai tujuannya untuk memberikan keadilan dan malah sebaliknya, seperti di kasus Wendi, hukum pidana malah menjadi instrumen yang menyebabkan viktimisasi terhadap kelompok rentan, termasuk difabel mental dan intelektual. Oleh karena itu, perlu pemahaman mengenai pengakuan difabel sebagai subjek hukum yang memiliki hak khusus dan pertanggungjawaban pidana difabel mental dan/atau intelektual.

 

Keberagaman Difabel Mental dan Intelektual Dalam Peraturan Perundang- Undangan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas (UU Disabilitas), Difabel Mental atau Intelektual merupakan “setiap orang yang mengalami keterbatasan …intelektual … dan/atau ….mental dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak”. Definisi tersebut mencerminkan setidaknya dua hal yaitu difabel mengalami hambatan dan kesulitan khusus dan difabel memiliki hak yang setara dengan warga negara lainnya.

Perlu diperhatikan bahwa, Difabel mental dan intelektual bukan merupakan suatu keadaan monolitik dimana setiap individu memiliki keadaan yang sama. Terdapat keberagaman Difabel mental dan intelektual yang termanifestasi secara berbeda terhadap realita yang dijalani oleh yang bersangkutan. Bahkan Manual Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM-5) sendiri mengakui dimungkinkan 182 diagnosis gangguan mental (American Psychatric Association, 2013). Difabel intelektual juga memiliki keragaman antara lain retardasi mental, down syndrome, autisme, dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Difabel intelektual tersebut juga masih memiliki sub-kelompok yang memiliki karakteristik tersendiri.

Keberagaman Difabel mental dan intelektual diakui lebih eksplisit dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 mengenai Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum. Permenkes 77/2015 mengakui bahwa Difabel mental dan intelektual berada dalam suatu kesinambungan (continuum) dan memiliki tingkat- tingkatan (gradasi).

Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP 2023), keberagaman Difabel mental dan intelektual disatukan secara umum pada KUHP Wetboek van Strafrecht Tahun 1946 (KUHP WvS) menimbang rumusan Pasal 44 KUHP WvS yang mengkategorikan Difabel mental dan intelektual secara umum yaitu sebagai individu yang “jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit”.[mfn]KUHP WvS memiliki paradigma lama dimana disabilitas (atau “kecacatan”) dipandang sebagai suatu keadaan “sakit”. Terdapat beberapa kritik terhadap pandangan disabilitas sebagai “penyakit”, salah satunya dimana karena pandangan tersebut, intervensi diarahkan terhadap “penyembuhan” penyandang disabilitas dan tidak menimbang faktor lingkungan secara kritis. Salah satu paradigma baru adalah model sosial disabilitas (social model of disability) yang memandang disabilitas sebagai interaksi antara hambatan yang dimiliki oleh seseorang dengan lingkungan. Paradigma tersebut mendorong kebijakan bukan hanya bertujuan untuk pemberdayaan penyandang disabilitas, namun juga pemberdayaan lingkungan sekitar sehingga lingkungan akomodatif terhadap kebutuhan subjek, termasuk penyandang disabilitas. Lihat Series, L. (2015). Relationships, autonomy and legal capacity: Mental capacity and support paradigms. International journal of law and psychiatry, 40, 80-91[/mfn]

Namun, dalam KUHP 2023, terdapat penjelasan dan pengaturan tersendiri mengenai penyandang disabilitas. Dalam KUHP 2023, penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual dijelaskan sebagai berikut:

Penyandang disabilitas mental, merupakan gangguan pada fungsi pikiran, emosional, dan perilaku, antara lain:

    1. Psikososial seperti skizofrenia, bipolar, depresi, anxiety dan gangguan
    2. Disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan hiperaktif. [mfn]Penjelasan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana[/mfn]

Yang dimaksud dengan “disabilitas intelektual” adalah terganggunya fungsi pikir karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain, lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.

Hal ini menunjukkan bahwa KUHP 2023 mengakui keberagaman pada Difabel mental dan/atau intelektual. Pengertian keberagaman tersebut berdampak pada pengaturan pertanggungjawaban pidana bagi Difabel mental dan/atau intelektual.

 

Pertanggungjawaban Pidana Difabel Mental dan/atau Intelektual

 Sebelumnya, pada KUHP WvS, Pasal 44 menyatakan bahwa perbuatan oleh Difabel mental dan intelektual tidak dapat dipertanggungkan pada dirinya. Pasal 45 KUHP WvS lebih lanjut menentukan bahwa jika Difabel mental dan intelektual melakukan perbuatan pidana, maka hakim dapat memerintahkan individu tersebut ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun. KUHP 2023 mengatur pertanggungjawaban pidana pada Difabel mental dan/atau intelektual secara berbeda.

Secara umum, KUHP 2023 melalui Pasal 38 menyatakan bahwa Difabel mental dan/atau Intelektual dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya namun pidananya dapat dikurangi dan/atau dikenakan tindakan (termasuk rehabilitasi di unit kesehatan jiwa). Namun, Pasal 39 KUHP 2023 mengakomodasi keadaan dimana Difabel mental dan/atau intelektual mengalami hambatan atau tantangan dalam berperilaku sehingga tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Pasal 39 mengatur sebagai berikut:

Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menyandang disabilitas mental yang dalam keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik dan/atau disabilitas intelektual derajat sedang atau berat tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai tindakan.

Pasal 39 KUHP 2023 membatasi pertanggungjawaban pidana Difabel mental dan/atau intelektual pada Pasal 38 KUHP 2023. Pasal 39 KUHP 2023 memasukan unsur keberadaan “keadaan kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik” dan/atau “disabilitas intelektual derajat sedang atau berat” agar Difabel mental dan/atau intelektual tertentu tidak dikenakan pertanggungjawaban pidana.

Pengaturan pada Pasal 39 selaras dengan literatur pertanggungjawaban pidana. Menurut Van Hamel (Wilem, 2017) bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat dikenakan terhadap individu yang mempunyai kemampuan bertanggung jawab atau toerekeningsvatbaarheid adalah keadaan normalitas psikis dan kemahiran yang membawa tiga macam kemampuan (kecakapan) yaitu:

  1. Mampu untuk mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari perbuatannya sendiri;
  2. Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan ketertiban masyarakat;
  3. Mampu untuk menentukan kehendak

 

P. J. Pompe (Wilem: 2017) menambahkan bahwa unsur-unsur kemampuan bertanggung jawab setidak-tidaknya terbagi menjadi tiga, yaitu:

  1. Suatu kemampuan berpikir (psychic) pada pelaku yang memungkinkan pelaku menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya;
  2. Pelaku dapat mengerti makna dan akibat dari perbuatannya;
  3. Pelaku dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapat (tentang makna dan akibat perbuatannya).

Pasal 39 mengakomodasi hambatan atau kesulitan yang dimiliki Difabel mental dan/atau intelektual untuk menyadari sifat melawan hukum atau mengendalikan perilakunya. Sehingga jika dikaitkan dengan literatur, unsur pengecualian pertanggungjawaban pidana pada Pasal 39 dapat dipahami selaras dengan kemampuan untuk berpikir dalam penentuan kehendak, perilaku dan makna serta akibat dari perilaku tersebut.

Keberadaan Pasal 38 dan Pasal 39 KUHP 2023 merupakan upaya untuk menyeimbangkan pengakuan keberagaman serta otonomi disabilitas dan kepastian hukum. Dengan ada pengaturan yang demikian, penegak hukum memiliki kejelasan lebih dalam menentukan apakah Difabel mental dan/atau intelektual dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Dalam konteks ini, alat bukti menjadi hal yang penting.

 

Visum et Repertum Psikiatrikum: Pembuktian Pertanggungjawaban Pidana Difabel dan Intelektual

Salah satu alat bukti yang relevan dalam penentuan keadaan pelaku adalah Visum et Repertum Psikiatrikum atau VERP. Pembuatan VERP diatur oleh Permenkes 77/2015 dan merupakan salah satu pemenuhan Akomodasi yang Layak sesuai dengan Peraturan Pemerintah 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan. Permenkes 77/2015 mendefinisikan VERP sebagai keterangan dokter spesialis kedokteran jiwa yang berbentuk surat sebagai hasil pemeriksaan kesehatan jiwa pada seseorang di fasilitas pelayanan kesehatan untuk kepentingan penegakan hukum.

Hasil dari VERP memuat unsur-unsur kemampuan pertanggungjawaban pidana dan juga diagnosa sebagai Difabel mental dan/atau intelektual. Sesuai dengan 184 jo 187 KUHAP, VERP merupakan salah satu alat bukti yang menjadi rujukan hakim dalam menentukan pertanggungjawaban  pidana  bagi Difabel mental  dan  intelektual.  Dalam

praktiknya, penyidik (kepolisian) juga melakukan pemberhentian penyidikan jika VERP mengindikasikan tersangka tidak dapat mempertanggungjawabkan tindakannya.[mfn]Dampak pembuktian pertanggungjawaban pidana disabilitas dan intelektual masih menjadi perdebatan. Secara ketat, pertanggungjawaban pidana ditentukan oleh hakim melalui pemeriksaan alat bukti (eg. VREP) di persidangan. Namun, alat bukti yang menunjukan keadaan pelaku sudah dapat ditemukan pada saat proses penyidikan. VREP pun juga dapat diminta pada saat penyidikan. Dalam praktiknya, penyidik kerap kali menghentikan penyidikan ketiak VREP menunjukan bahwa tersangka tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Pemberhentian berdasarkan disabilitas tidak termasuk dalam alasan pemberhentian penyidikan pada Pasal 109 KUHAP, namun dapat dijustifikasikan melalui alasan pemberhentian sebagaimana diatur pada Pasal 30 Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana dimana penghentian penyidikan dapat dihentikan untuk memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan, dan kemanfaatan hukum. Lihat Riyadi (2018) dan Ohaiwutun et al (2019).[/mfn]

Analisa medis-legal dalam VERP mengkontekstualisasikan diagnosis psikologis dalam spektrum pertanggungjawaban pidana. Dalam pembuatan VERP, tim pemeriksa mengacu pada proses evaluasi psikologis, termasuk observasi medis dan wawancara klinis untuk mendapatkan pemahaman penyandang disabilitas terhadap hal yang dilakukan. Tim pemeriksa juga mendapatkan uraian perkara diberikan oleh penegak hukum kepada pembuat VERP untuk dipertimbangkan dalam pembuatan VERP. Berdasarkan penjelasan Permenkes 77/2015, hasil dari pemeriksaan tersebut menjadi basis pemberian pendapat oleh Tim Pemeriksa dalam VERP mengenai pertanyaan berikut:

  1. Apakah Pelaku tindak pidana sedang mengalami gangguan jiwa pada saat melakukan tindak pidana atau tidak?
  2. Apakah tindak pidana yang dilakukan pelaku berhubungan dengan gejala penyakit penyakit yang dialami pelaku?
  3. Apakah pelaku menyadari perbuatannya?
  4. Apakah pelaku memahami resiko perbuatannya?
  5. Apakah pelaku dapat memaksakan/ mengendalikan perilakunya?

Hasil analisis tersebut dapat berimbas pada pertanggungjawaban pidana bagi Difabel. Bersandar pada Pasal 39 KUHP 2023, analisa terhadap pertanyaan di atas terikat pada persyaratan Pasal 39 bahwa perlu terjadi “kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik” dan/atau “disabilitas intelektual derajat sedang atau berat” agar VERP dapat membantu penentuan pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas. Jika elemen tersebut tidak terpenuhi namun terdapat diagnosis disabilitas mental dan intelektual, maka penyandang disabilitas mental dan/atau intelektual dapat menerima pengurangan masa pidana atau dikenakan tindakan khusus.

Beberapa sample kesimpulan VERP dapat ditemukan di literatur. Ohaiwutun et al (2019) menyediakan laporan polisi pada saat penyidikan yang menunjukkan hasil keterangan ahli terkait dengan keadaan psikologis pelaku. Penyidikan diberhentikan pada perkara tersebut, menimbang pemeriksaan ahli dimana:

“pelaku didapatkan tanda-tanda/gejala-gejala gangguan jiwa berat (skizofrenia) berkelanjutan dan yang bersangkutan tidak menyadari perbuatannya yang dilakukan dan tidak mengetahui resiko dari perbuatannya”.

VERP juga menjadi penting dalam pemeriksaan di persidangan. Dalam perkara pembunuhan di Bandung, pelaku dinyatakan bersalah namun tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana. Hakim memerintahkan pelaku untuk dirawat di rumah sakit jiwa. Dalam perkara tersebut, hasil pemeriksaan menyatakan bahwa pelaku memiliki “gangguan jiwa berat” dan pelaku adalah “seorang dengan kepribadian lebih ke arah paranoid (ketakutan yang amat sangat tentang kehidupan dan penghayatan diri), kehidupan emosi yang dimiliki cenderung labil, sulit melakukan penataan dengan kendali diri yang baik, jika subyek mengalami tekanan tentang suasana hatinya, maka akan semakin cenderung menimbulkan perilaku agresif yang tinggi, dengan mudahnya subyek melukai diri dan melukai orang.”

Menimbang pentingnya VERP, perlu diperhatikan bahwa pemberian VERP sesuai Permenkes 77 Tahun 2015 hanya dapat dilakukan jika terdapat permohonan dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau lembaga negara penegak hukum lainnya. Dalam penegakan hukum terhadap pelaku Difabel, khususnya Difabel mental dan/atau intelektual, sesuai dengan UU Disabilitas, penegak hukum wajib meminta pertimbangan atau saran dari psikolog atau psikiater mengenai kondisi kejiwaan pelaku yang dalam konteks ini merujuk pada VERP.

 

Tantangan dalam Penentuan Pertanggungjawaban Pidana Difabel Mental dan/atau Intelektual

Perlu diperhatikan bahwa VERP merupakan rujukan yang esensial untuk menentukan pertanggungjawaban Difabel dan telah digunakan sebagai basis untuk menentukan pertanggungjawaban pidana sebagaimana dicontohkan di atas. Namun alat bukti, termasuk VERP, tidak secara serta-merta mempengaruhi keputusan hakim. Sebagai contoh, perkara yang diadili di Pengadilan Rangkasbitung. Pelaku divonis bersalah atas penganiayaan yang menyebabkan kematian dan divonis 7 tahun penjara. Padahal, menurut kesimpulan ahli, pelaku “menyatakan gelap dan yang dilihat pada diri korban adalah harimau” sehingga ia menusuk korban. Lebih lanjut, pemeriksaan psikologi menyatakan bahwa kejahatan: “Konflik dalam diri pelaku yang tidak mampu ia selesaikan yang kemungkinan disebabkan oleh keterampilan penyelesaian konflik yang terbatas (dalam aspek intelegensi terkesan adanya keterbatasan kecerdasan), karena berulang kali pertanyaan harus diulang sampai pelaku memahami pertanyaan dengan tepat. Daya ingatannya pun terbatas, pelaku mengalami keterbatasan dalam mengemukakan isi pikiran dan perasaan.”

Hal tersebut menunjukkan bahwa hakim dapat memposisikan VERP sesuai dengan keyakinannya, menimbang bukti lain yang ada di persidangan. Hal demikian karena menurut Pasal 6 Undang-Undang 48 Tahun 2009 tentang Kehakiman, Hakim harus memutus perkara bukan hanya berdasarkan alat bukti, namun juga harus memiliki keyakinan bahwa seseorang bersalah atas perbuatan yang didakwakan. Untuk membentuk keyakinan tersebut, selain dari VERP, hakim dapat mempertimbangkan alat bukti lain. Hakim juga kerap kali melakukan observasi sendiri terhadap perilaku terdakwa pada saat persidangan. Proses tersebut merupakan upaya untuk menegakkan objektivitas hakim dan kecermatan hakim dalam memberikan putusan yang adil, namun proses tersebut rentan ketidakadilan karena bias hakim terhadap Difabel  dapat menggerus praduga tidak bersalah terhadap pelaku. Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahan oleh hakim, mekanisme pemeriksaan putusan hakim, melalui banding, kasasi, dan peninjauan kembali dapat digunakan oleh pihak yang terlibat.

Selain permasalahan penerapan hukum, permasalahan juga ditemui dalam penegakan hukum. Pada realitanya, adanya peraturan perundang-undangan tidak selalu diikuti oleh para penegak hukum. Seperti contoh kasus Wendi dimana bahkan permohonan untuk melakukan VERP tidak dilakukan padahal kewajiban VERP tertuang pada UU Disabilitas dan perkara telah melibatkan Lembaga Bantuan Hukum untuk menuntut pemenuhan hak.

Permasalahan penegakan hukum yang demikian dapat disebabkan oleh beberapa hal. Secara fundamental, kurangnya pemahaman yang inklusif mengenai hak-hak disabilitas dan keragaman disabilitas sendiri mencegah identifikasi keadaan disabilitas. Tidak semua Difabel dapat diidentifikasi secara mudah dan terdapat Difabel yang tidak kasat mata (invisible disability)[mfn]Disabilitas tidak kasat mata sulit dideteksi karena kurangnya keterwakilan visual. Lihat Hendry et al (2022)[/mfn]. Padahal mekanisme yang disediakan oleh peraturan perundang- perundangan untuk menjamin hak disabilitas perlu sensitivitas terhadap Difabel. Misalnya, jika seseorang tidak dianggap sebagai Difabel mental dan/atau intelektual, maka polisi tidak akan mengajukan permohonan untuk melakukan VERP dan akan berdampak pada proses peradilan.

ebih lagi, bukan hanya tidak memiliki sensitifitas, masih terdapat stigma terhadap pelaku Difabel mental dan/atau intelektual. Difabel mental dan/atau intelektual kerap kali dianggap memiliki pribadi lemah, berbahaya, cenderung berlaku kasar, dan berpura-pura memiliki Difabel  untuk menghindari proses peradilan (Zainudin, 2022). Stigma tersebut menghalangi Difabel untuk mendapatkan haknya untuk diperlakukan adil, termasuk untuk menjalani proses VERP. Eddyono (2015), stigma ini juga berpengaruh pada diri pelaku sendiri. Difabel mental dan/atau intelektual juga kemungkinan enggan untuk membuka statusnya sebagai penyandang disabilitas karena stigma yang mungkin dialami.

Terdapat juga beberapa kasus yang melibatkan Difabel mental dan/atau intelektual mengindikasikan terdapat eksploitasi karena kerentanannya (Wright, 2011). Difabel mental dan/atau intelektual dianggap mudah untuk dijadikan kambing hitam karena dianggap mudah untuk dimanipulasi dan dihukum. Dalam kasus Wendi, Wendi dijadikan kambing hitam dalam perkara pencurian, sementara temannya yang mengancam dirinya untuk melakukan pencurian tidak diproses oleh penegak hukum.

Pemerintah memiliki peran dalam penjaminan penegakan hukum. Misalnya, Komisi Nasional Disabilitas (KND) memiliki peran strategis dalam menangani isu disabilitas. Sesuai dengan mandatnya melalui Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2020, KND dapat melakukan penyusunan rencana, pemantauan dan evaluasi serta membentuk kerjasama dengan pemangku kepentingan demi pelaksanaan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Untuk mendukung peran KND, sangat dimungkinkan untuk melibatkan masyarakat, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak pada isu disabilitas, dalam penjaminan hak Difabel.

LSM dapat menjadi pihak yang dapat membantu fungsi KND, khususnya karena LSM merupakan salah satu pihak yang langsung berinteraksi dengan penerima manfaat di lapangan. Posisi LSM perlu mendapat dukungan agar LSM atau organisasi lainnya dapat memberikan pendampingan sekaligus pemantauan yang optimal terhadap isu Difabel.

LSM juga kerap kali telah membuat kajian yang dapat menjadi rujukan bagi pembuatan kebijakan. Sebagai contoh, SIGAB telah mengeluarkan Buku Saku Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan yang dapat menjadi acuan penegak hukum yang mungkin belum memiliki peraturan internal mengenai pelaksanaan PP 39/2020 tentang Akomodasi Yang Layak. (SIGAB, 2021). JPODI (2021) melakukan kajian mengenaii indikator pemenuhan hak penyandang disabilitas yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja dan fasilitas yang telah disediakan oleh instansinya.

 

PENUTUP

Pertanggungjawaban pidana bagi Difabel mental dan/atau intelektual telah diatur dalam KUHP 2023. Dalam keadaan tertentu, Difabel mental dan/atau intelektual tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban. Penentuan keadaan oleh penegak hukum juga sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai akomodasi yang layak dan mekanisme VREP. Jika penegakan hukum dilakukan sesuai dengan peraturan yang telah ada, hak penyandang disabilitas yang berhadapan hukum dapat terjamin.

Namun sebagaimana telah diuraikan, terdapat tantangan yang perlu ditangani bukan hanya oleh pemerintah, namun pada seluruh lapisan masyarakat. Harus dilakukan advokasi yang berkelanjutan dan tentunya melibatkan semua pemangku kepentingan.

Merujuk pada laporan oleh United Nations tentang “Pelayanan Kepolisian yang Inklusif bagi Penyandang Disabilitas”, terdapat beberapa poin yang perlu menjadi fokus arah advokasi untuk menjamin penegakan hukum yang baik dalam perkara yang melibatkan penyandang disabilitas. Poin tersebut, antara lain, peningkatan kesadaran mengenai isu disabilitas, peningkatan akses informasi dan komunikasi, aksesibilitas institusi penegak hukum interaksi yang non-diskriminatif dan akomodatif antara penegak hukum dan penyandang disabilitas, dan pembuatan kebijakan internal penegakan hukum yang sensitif terhadap isu disabilitas (Dignitem Foundation, 2021).

Sebagai penutup, perlu diperhatikan bahwa pertanggungjawaban pidana penyandang disabilitas merupakan salah satu aspek dari penjaminan hak penyandang disabilitas dan mencapai keadilan. Dalam perkara yang melibatkan Difabel mental dan/atau intelektual sebagai pelaku, perlu dilakukan penelaahan yang melatarbelakangi kejahatan yang terjadi. Tentunya kejahatan tidak terjadi dalam vakum dan mungkin terjadi karena aspek-aspek tertentu seperti tidak terjangkaunya fasilitas kesehatan yang akomodatif, lingkungan yang mengucilkan Difabel, atau eksploitasi Difabel (Nurjaman, 2023). Permasalahan demikian perlu mendapatkan perhatian yang setidaknya sama terhadap penanganan kejahatan menggunakan hukum pidana.

Alternatif lain dari pemidanaan seperti rehabilitasi, rekonsiliasi, atau tindakan lainnya dapat dipertimbangkan sebelum Difabel mental dan/atau intelektual melalui proses peradilan pidana yang dapat memiliki dampak negatif terhadap penyandang disabilitas (Beckene et al, 2016). Pandangan bahwa hukum pidana merupakan Last Resort atau langkah terakhir dalam penanganan suatu permasalahan (Husak, 2004) patut dipertimbangkan dalam penyelesaian permasalahan yang melibatkan Difabel mental dan/atau intelektual untuk menjamin penyelesaian permasalahan tidak menimbulkan permasalahan baru.[]

 

 

Penulis: Muhammad Ryandaru Danisworo dan Dita Gusnawati (Pusat Kajian Law, Gender, Society (LGS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Editor     : Ajiwan

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 Buku, Jurnal, dan Laporan Penelitian
  • American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental disorders (5th ed.). https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596
  • Beckene, T., Forrester‐Jones, R., & Murphy, G. H. (2020). Experiences of going to court: Witnesses with intellectual disabilities and their carers speak up. Journal of Applied Research in Intellectual Disabilities, 33(1), 67-78.
  • Dignitem Foundation. (2021). For Inclusive Quality Police Services for Persons with Disabilities: 10 Areas of Action, Santiago, Chile.
  • Eddyono, S.W. dan Kamilah, A.G., (2015). Aspek-Aspek Criminal Justice Bagi Penyandang Disabilitas, Institute for Criminal Justice Reform, Pejaten Barat.
  • Gillian Hendry, Claire Wilson, et al, (2022). “I Just Stay in the House so I Don’t Need to Explain: A Qualitative Investigation of Persons with Invisible Disabilities”, MDPI Disabilities, Vol. 2, Issue. 1
  • Husak, D. (2004). The criminal law as last resort. Oxford Journal of Legal Studies, 24(2), 207-235.
  • JPODI, (2021). “Memantau Pemenuhan Hak-Hak Disabilitas”, JPODI
  • Nurjaman, R.H., (2023). “Pemenuhan Hak dan Perlindungan Hukum Bagi Penyandang Disabilitas di Kota Bandung”, Jurnal Kajian Islam Kontemporer, Vol. 1, No. 2.
  • Riyadi, E. (2016). Potret Kecil Bagi Penyandang Disabilitas di Gunung Kidul, Yogyakarta. Reformasihukum.org. Diakses melalui https://reformasikuhp.org/data/wp- content/uploads/2018/04/Laporan-Penelitian-GK_Eko-Riyadi.pdf
  • SIGAB, (2021). “Akomodasi yang Layak bagi Peyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan”, SIGAB
  • Tina Mankowitz, (2014). “Rethinking Criminal Responsibility from a Critical Disability Perspective: The Abolition of Insanity Incapacity Acquittals and Unfitness to Plead and Beyond”, Griffith Law Review, Vol. 23, No. 3.
  • Tremlin, R.C. dan Beazley, P., (2022) “A Systematic Review of Offender Mental Health Stigma: Commonality, Psychometric Measures and Differential Diagnosis”, Psychology, Crime & Law.
  • Wibisono, P. (2021). “Cerita Wendi Disabilitas Mental di Semarang: Dituduh Mencuri, Dipukuli                 Polisi,   Lalu   Dipenjara”,                 Project Multatuli.                 Diakses melalui https://projectmultatuli.org/cerita-wendi-disabilitas-mental-di-semarang-dituduh- mencuri-dipukuli-polisi-lalu-dipenjara/
  • Wilem, W. B. R., (2017). “Tanggung Jawab Pidana Atas Pembunuhan Berencana (Moord) Pasal 340 KUHP dalam Praktek Pengadilan”, Lex Privatum, Vol. 5, No. 1, Januari- Februari
  • Wright, M, (2011). “Criminal Justice and Disability”, Issue Brief – POLS W3245.\
  • Ohoiwutun, Y. T., Nugroho, F. M., Samosir, S. S. M., & Setiyoargo, A. (2019). Fungsionalisasi Pasal 44 Kuhp Dalam Penyidikan Tindak Pidana Pembunuhan (Suatu Re-Orientasi & Re-Evaluasi Menuju Reformulasi). Veritas et Justitia, 5(2), 352-373.

 

Internet

 

Peraturan Perundang-Undangan
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
  • Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
  • Peraturan Pemerintah 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi Yang Layak untuk Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
  • Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2020 Tentang Komisi Nasional Disabilitas
  • Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 77 Tahun 2015 tentang Pedoman Pemeriksaan Kesehatan Jiwa untuk Kepentingan Penegakan Hukum.
  • Putusan Pengadilan Negara Blangpidie Nomor 9/Pid.B/LH/2021/PN.Bpd
  • Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana

 

Footnotes:

_______

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air