Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Agus No Hand. Sumber: Instagram: omah_karikatur

Pernyataan Agus Lombok terkait Ketidaknyamanan di Lapas Kelas II A Lombok Barat Menuai Berbagai Tanggapan

Views: 38

Solidernews.com. Sisi remang kehidupan di lembaga pemasyarakatan (lapas), menjadi catatan tak terlupakan bagi seorang pria difabel, yang tak mau disebutkan namanya (anonim).  Sebagai informasi, lima tahun silam pria anonim, menjadi penghuni lapas karena tindak pelecehan seksual terhadap anak 16 tahun (bawah umur). “Bukan perkosaan. Tapi suka sama suka,” ujarnya.

Pada saat awal masuk tahanan, pria difabel ini mendapat sejumlah pukulan dari kawan satu sel. Ia bercerita bahwa ini adalah salah satu tradisi dari penghuni lapas tersebut. ia juga menceritakan, ucapan selamat datang juga ia dapatkan dari kawan lain dari ruang berbeda. “katanya biar cepet akrab” kenangnya.

Belum soal makan, tidur berhimpit dan mandi yang dimeniti dan dijadwal. Jika kebagian jadwal terakhir, dipastikan mandi air kotor yang hanya tersisa 12 centi meter dari bak mandi. Karenanya, dia mengaku tidak berminat mengulangi lagi, alias kapok.

 

Bukan tempat nyaman

Kontroversi. Demikian ujar anonim, menanggapi pernyataan terdakwa pelecehan seksual I Wayan Agus Suartama (IWAS) alias Agus, di berbagai media. “Mengaku tidak nyaman, selama ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Lombok Barat. Di tahanan kog minta nyaman,” kata anonim.

“Sebenarnya banyak orang yang tahu, apalagi lapas pria. Di lapas tersebut kehidupan sangat keras. Terlebih dengan kasus yang  saya alami. Menurut pendapat pribadi saya, harusnya memang seperti itu. Biar yang mengalami tidak mau kembali lagi. Jangan sampe terlalu nyaman hidup di dalam penjara, apalagi kalo lebih nyaman dari kehidupan di luar sehari hari,” pungkas anonim.

Mengutip Tribunnews.com, Ketua Komisi Disabilitas Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) Joko Jumadi,  merespons pernyataan terdakwa pelecehan seksual I Wayan Agus Suartama (IWAS) alias Agus Buntung yang merasa tidak nyaman selama ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Lombok Barat.

 

Joko Jumadi menyatakan tidak ada satu pun orang atau terpidana yang merasa nyaman berada di lapas. Ia menyebut kenyamanan itu merujuk apakah fasilitas yang berada di lapas bisa dinikmati atau tidak.

“Kita merujuk pada fasilitas di lapas bisa dinikmati atau tidak. Nyatanya sekarang dia mandi juga sudah bisa, dia BAB atau BAK juga bisa, sebenarnya itu aja sih,” ujarnya.

 

Catatan Komisioner Komnas Perempuan

Isu Agus Lombok memancing perhatian Komisioner Komnas Perempuan DR. Bahrul Fuad, MA, yang akrab disapa Cak Fu. Kepada solidernews.com, Sabtu (18/1/2025), dia menyampaikan beberapa catatannya.

Pada dasarnya, sudah ada sejumlah kebijakan, yang menjamin pemenuhan hak penyandang disabilitas dalam menghadapi proses hukum. Unit Layanan Disabilitas (ULD), satu di antaranya.  Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ULD dapat dibentuk di beberapa lembaga, termasuk di rumah tahanan (rutan) dan lembaga permasyarakatan (lapas).

Secara khusus, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan, juga mengatur perlakuan khusus bagi difabel di rutan dan lapas. Hal ini tercantum dalam Pasal 61 ayat (1) dan (2). Ketentuan ini memperkuat komitmen pemerintah dalam memberikan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan hak difabel di institusi pemasyarakatan.

Cak Fu juga menyampaikan bahwa, pemerintah telah menerbitkan peraturan turunan dari UU Disabilitas. Yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Penyandang Disabilitas, dalam Proses Peradilan. Peraturan ini mengatur penyediaan layanan, serta sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan ragam disabilitas. Dalam proses penahanan dan pembinaan, menjadi tanggung jawab rutan dan lapas.

Sejauh yang saya ketahui, kata Cak Fu, Bappenas dan Ditjen Pemasyarakatan telah berkoordinasi terkait dengan Rencana Aksi Nasional Penyandang Disabilitas (RAN PD). Ditjen Pemasyarakatan bahkan telah mengajukan anggaran untuk perbaikan sarana dan prasarana pada tahun 2021, yang direalisasikan pada tahun 2022. Surat Edaran Nomor: PAS-18.HH.01.04 Tahun 2020 dan Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-169.OT.02.02 Tahun 2020 juga diterbitkan untuk mendorong pembentukan ULD di seluruh unit pelaksana teknis pemasyarakatan.

“Namun, perlu diakui masih terdapat tantangan dalam implementasinya. Misalnya, kurangnya pemahaman petugas dalam: (1) pelaksanaan ULD, (2) pemberlakuan SOP di semua unit pemasyarakatan, (3) keterbatasan sarana dan prasarana, khususnya di rutan dan lapas daerah, serta (4) kekurangan tenaga kesehatan dan minimnya anggaran,” terang Cak Fu.

Cak Fu juga menyampaikan hasil pemantauannya selama bertugas sebagai Komisioner Komnas Perempuan. Dia mencatat, Ditjen Pemasyarakatan cukup akomodatif. Hal ini ditunjukkan dengan, upaya meminimalkan kendala melalui koordinasi dengan pihak terkait, untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi.

Langkah-langkah tersebut bagi Cak Fu, menunjukkan adanya perhatian pemerintah terhadap penyediaan layanan yang ramah bagi difabel di rutan dan lapas. Namun, diakuinya, masih memerlukan penyempurnaan di beberapa aspek.

Menanggapi kasus Agus Lombok, Cak Fu mengatakan: “Harus dilihat dulu. Apakah kebutuhan khusus dia sebagai penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum itu? apakah sudah terfasilitasi atau belum? Jika belum, harus dilihat pada aspek mana?” tandasnya.

Lanjutnya, “Kalau alasannya soal kenyamanan, nyaman dan tidak itu kan relatif, tidak ada standarnya. Jika ternyata, pihak kejaksaan atau lapas sudah menjalankan perannya sesuai dengan undang-undang, ya jalan saja.”

 

Sama di hadapan hukum

Secara tegas Cak Fu menggarisbawahi, bahwa seorang difabel tidak boleh diistimewakan di depan hukum. Difabel  punya hak khusus yang dijamin UU. Tapi, itu berkaitan dengan kebutuhan khusus yang dimiliki. Yakni ketika keterbatasan dan hambatan yang ditimbulkan sebagai dampak dari kondisi disabilitasnya.

“Semua sama di hadapan hukum. Bukan karena disabilitas, lalu dia diistimewakan. Dikasihani karena tidak tega. Bukan demikian,” ujarnya.

Senada dengan pandangan dan pendapat Komisioner Komnas Perempuan, Founder Perhimpunan OHANA Indonesia Risnawati Utami menyampaikan tanggapannya.

Bahwa aksesibilitas di tahanan harus disediakan oleh negara. Hal tersebut mempertimbangkan, bahwa setiap difabel adalah subject hukum. Sebagaimana warga negara nondifabel, mereka juga memiliki kapasitas hukum (legal capacity) yang sama.

 

Pembenahan aksesibilitas penjara

“Ketika penyandang disabilitas yang terbukti melanggar hukum, ya harus dihukum sesuai dengan keputusan pengadilan. Sedang penyediaan aksesibilitas dan akomodasi yang layak, bagi penyandang disabilitas pelanggar hukum yang harus menjalani hukuman penjara, wajib disediakan oleh negara,” tegas Risnawati.

Untuk itu, lanjut Risna, lapas harus aksesibel dan memberikan akomodasi yang layak. Faktanya? banyak lapas yang masih belum aksesibel dan memberikan kemudahan bagi difabel sebagai tahanan. Satu di antaranya pada kasus Agus Lombok. Pembenahan aksesibilitas di penjara wajib dilakukan negara.

“Seharusnya ada assessment untuk menentukan kebutuhan para tahanan yang disabilitas. Jika tidak ada aksesibilitas, harus ada langkah-langkah afirmatif dari lapas untuk memberikan solusi sementara, hingga tersedianya aksesibilitas di lapas,” ujar penggagas OHANA Law Center itu, Sabtu (18/1).[]

 

Reporter: Harta Nining Wijaya

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content