Views: 5
Solidernews –Menciptakan masyarakat yang inklusif adalah perjuangan bersama. Utamanya dari kelompok-kelompok yang sering terpinggirkan. Hal itu senada dengan perjuangan rekan-rekan difabel untuk membentuk masyarakat Indonesia yang ramah serta memiliki sosial inklusifitas yang baik demi kepentingan bersama. Hal itu terus dilakukan, utamanya di daerah Kota Yogyakarta.
Masih dalam suasana Hari Disabilitas Internasional sekaligus berbarengan dengan acara pameran kolaborasi museum “Bara Kumara” di Taman Budaya Embung Giwangan, Yogyakarta, Badan Sosial Mardi Wuto dan Dinas Kebudayaan Yogyakarta menggelar acara yang mengusung semangat inklusifitas. Agenda yang digelar pada 6 Desember 2024 di pelataran Taman, ruang dialog memahami difabel dibuka untuk masyarakat umum.
Acara yang bertajuk “Mengenal dan Mendukung Difabel Netra” ini berbentuk sebuah talkshow yang menghadirkan pembicara dari Badan Sosial Mardi Wuto, diwakili Endang selaku sekretaris di pengurus BSMW dan Setya Adi selaku ketua dari Yayasan Dria manunggal Indonesia. Talkshow ini bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk lebih memahami tentang pribadi dengan difabel netra secara menyeluruh. Lewat talkshow yang interaktif, acara ini berjalan dengan lancar.
“Saya mengucapkan selamat hari disabilitas internasional untuk teman-teman difabel semua. Selain itu, saya sangat mengapresiasi acara pada sore hari ini. Jujur, saya sendiri juga ingin lebih paham dengan persoalan difabel netra. Jadi semoga talkshow ini makin membuka pikiran kita,” ujar Andrini, selaku perwakilan Dinas Kebudayaan Yogyakarta (Kundha Kabudayan), pada sambutannya 6 Desember 2024.
Hadirin yang mengikuti talkshow pun beragam. Ada dari guru, mahasiswa, pelajar, pemerhati seni, aktivis difabel, masyarakat awam, dan sebagainya. Semua berkumpul untuk belajar memahami dan mengenal pribadi difabel netra dengan lebih mendalam. Sehingga acara ini cukup ramai karena beberapa pengunjung dari acara pameran juga ikut menyimak talkshow yang berlangsung. Selain itu, rekan-rekan difabel netra di bawah asuhan Badan Sosial Mardi Wuto juga turut hadir.
Merenungi Proses dan Perjalanan Badan Sosial Mardi Wuto
Pada acara ini, ada dua pembahasan yang akan didiskusikan. Pertama adalah seputar kesejarahan serta perjalanan Badan Sosial Mardi Wuto dalam menemani difabel netra meraih kesejahteraan dan kemapanan sosial, serta mengkaji seputar pribadi difabel secara mendalam.
Sesuai keterangan Endang, perjuangan dan kiprah Badan Sosial Mardi Wuto dalam merangkul difabel netra ini sudah hampir 100 tahun. Hampir satu abad perjalanan Mardi Wuto terus konsisten dalam menemani difabel netra. Dimulai sejak 1926 hingga kini.
Pada tahun 1926, Dr. Yap mendirikan Badan Sosial Mardi Wuto untuk mendukung difabel netra. Lembaga ini memberikan pelatihan keterampilan seperti pijat, komputer bicara, seni, dan olahraga untuk membantu mereka mencapai kemandirian. Hingga kini, Mardi Wuto terus melayani komunitas difabel netra melalui pelatihan dan fasilitas pendidikan yang termaktub dalam program-program tahunan.
“Ya, kami berada di bawah naungan Yayasan Dr. Yap Prawirohusodo. Dengan nama Badan Sosial Mardi Wuto. Kami berkomitmen untuk memberikan pelatihan, konseling, serta bimbingan bagi difabel netra untuk meraih kemandirian,” jelas Endang.
Endang juga menambahkan bila Mardi Wuto terus berupaya untuk memberikan pelatihan yang relevan pada kebutuhan zaman, dapat diakses difabel netra secara penuh, dan tentunya memberikan bantuan biaya pendidikan melalui donatur yang mereka miliki. Sehingga Badan Sosial Mardi Wuto berusaha untuk terus konsisten dalam pemberdayaan serta peningkatan kualitas bagi teman-teman difabel netra.
Difabel Netra adalah Pribadi yang Sempurna dan Berdaya
Dalam diskusi tentang pribadi difabel, materi ini disampaikan oleh Setya Adi, selaku Ketua yayasan Dria Manunggal Indonesia. Sebagai pemerhati, aktifis, juga tenaga pengajar, Setiya Adi mengawali diskusi dengan berbagai stigma negatif yang dilekatkan sistem sosial pada pribadi difabel. Seperti difabel netra itu kasihan, produk gagal, dan sebagainya.
Selanjutnya Setiya Adi yang juga seorang difabel netra menjelaskan bahwa stigma itu adalah hal yang salah. Difabel netra itu juga dapat melihat dengan pikiran serta hati. Selain itu, difabel netra sebenarnya dapat melihat. Hanya saja dengan cara yang lain. Indra yang tersisa adalah mata bagi difabel netra.
Bagi Setiya Adi, memang pribadi difabel netra itu butuh pendampingan untuk membangun kualitas. Pelatihan, workshop, pembekalan, serta penyaluran bakat menjadi beberapa hal yang dapat meningkatkan taraf seorang difabel netra. Selain itu, dibukanya lapangan kerja dengan serapan difabel netra juga dapat menjadi poin penting bagi kesejahteraan difabel netra.
Pemenuhan akses pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan kesetaraan sosial menjadi poin penting dalam materi Setiya Adi. Ia terus menekankan pentingnya kolaborasi, pelibatan, dan jangan menjadikan difabel netra sebagai pribadi yang hanya menerima sesuatu saja. Melainkan harus ada pemberdayaan yang berkelanjutan.
Yayasan Dria Manunggal Indonesia, melalui cerita Setiya Adi, berhasil membuka peluang kerja baru bagi difabel netra. Yaitu sebagai barista kopi. Hal ini masih jarang di Yogyakarta. Jadi, ini bisa dikembangkan untuk mendukung difabel netra.
Namun, Setya Adi juga menjelaskan bahwa banyak difabel netra yang sukses dengan bidangnya. Ada yang berkesenian, menjadi dosen, jurnalis, penulis novel, aktifis difabel, dan sebagainya. Semua itu tentunya memerlukan proses serta penerimaan diri yang tidak sebentar prosesnya.
“bagi saya, seorang difabel netra itu selama mendapatkan pembinaan, pendampingan, serta penyaluran, saya kira difabel terkait bisa berkembang. Jangan berikan ikan. Tapi kita berikan joran pancing dan kita beri tahu letak memancing. Sehingga difabel netra itu dapat menjadi pribadi mandiri. Bukan hanya menerima barang,” ujar Setiya Adi.
Talkshow ini banyak memberikan ruang diskusi kepada masyarakat. Banyak yang bertanya seputar cara berinteraksi, cara membantu, hingga ada juga yang berminat untuk menjadi relawan. Sehingga, dapat disimpulkan acara ini sukses mengedukasi masyarakat secara luas.
“Saya sendiri salut dan bangga hadir di talkshow ini. Selain itu, saya juga makin penasaran bagaimana difabel netra itu belajar menggunakan komputer. Semoga lain waktu saya bisa berkesempatan melihat difabel netra yang belajar komputer,” tutur Zulfa, salah satu masyarakat yang ikut menyimak talkshow, 6 Desember 2024.[]
Reporter: Wachid Hamdan
Editor : Ajiwan