Views: 18
Solidernews.com, Solo, Setiap tanggal 12 November, Indonesia memperingati Hari Ayah Nasional. Dalam rangka hari istimewa ini, kami ingin berbagi kisah inspiratif tentang seorang ayah difabel. Ia adalah Fajrin Syam, salah satu reporter di Solidernews.com. Kisahnya sangat menyentuh hati, terutama peranannya sebagai ayah bagi kedua putranya yang nondifabel. Bagaimana ia menjalani peranannya sebagai ayah yang penuh kasih? Yuk, simak wawancaranya berikut ini!
Solidernews.com: “Apa saja pekerjaanmu saat ini?”
Fajrin: “Saat ini, pekerjaanku adalah reporter, terapis pijat, atlet, dan pengusaha.”
Solidernews.com: “Bisakah kamu menceritakan masa kecilmu dan bagaimana kamu menjadi difabel?”
Fajrin: “Sejak lahir, kondisi mata saya normal. Penglihatan saya mulai menurun sejak tahun 2003 ketika saya masih duduk di kelas 3 SD. Saat itu, saya diperiksa oleh dokter di puskesmas Sulawesi Tenggara. Kemudian, saya dirujuk untuk berobat di Makassar. Tapi belum ada kejelasan. Saya sudah mencoba berbagai pengobatan mulai dari pengobatan medis sampai nonmedis, tapi tidak ada hasilnya. Baru, pada tahun 2012, saya periksa lagi mataku dan akhirnya terdeteksi, saya mengalami retinitis pigmentosa, kerusakan pada saraf mata. Dokter menjelaskan bahwa saraf mata yang aktif itu berwarna merah, sedangkan yang mati berwarna putih. Saraf mataku berwarna putih. Waktu itu dokter bilang belum ada pengobatannya di dunia. Mendengar hal itu, saya sempat down, tapi beruntungnya saya punya keluarga yang selalu mendukung, terutama kakak perempuan, dia menerima keadaanku sepenuhnya. Dari situ, saya mulai menerima kondisiku yang difabel dan berusaha untuk maju.”
Solidernews.com: “Apakah kamu belajar keterampilan khusus untuk merawat anak?”
Fajrin: “Sebenarnya saya tidak pernah belajar keterampilan khusus dalam mengurus anak ala difabel netra. Sebenarnya untuk hal itu saya sih banyak belajar dari pengalaman. Alhamdullilah, saya punya istri yang melihat. Jadi, saya bisa tanya istri sambil belajar. Misalnya, dia mengajarkan cara menyuapi anak.”
Solindernews.com: “Oh ya, bagaimana cara kamu menyuapi anak?”
Fajrin: “Dua putra saya masih kecil, yang satu umur 2 tahun dan umur 11 bulan. Kalau saya nyuapi mereka, saya pegang dagu mereka. Saya nyuapi mereka menggunakan tangan karena jika pakai sendok sering tumpah.”
Solidernews.com: “Lalu, bagaimana kamu bisa tahu kalau mereka menelan makanan? Takutnya mereka buang.”
Fajrin: “Kalau mereka buang, itu bisa terasa di tangan. Saya juga bisa dengar bagaimana mereka mengunyah dan menelan makanan. Jika mereka tidak suka, mereka akan beri tahu. Jadi, saya hanya menyuapi makanan yang mereka mau.”
Solidernews.com: “Bagaimana cara sabar menghadapi anak yang rewel atau aktif mondar mandir ketika sedang disuapi?”
Fajrin: “Ada kalanya saya merasa tidak sabar, tapi saya selalu ingat bahwa mereka masih anak-anak. Saya menanggapinya dengan bersyukur karena kalau anak-anak rewel atau aktif itu tandanya mereka sehat dan berkembang dengan baik, sebab ada rangsangan motorik begitu juga ketika mereka merasakan banyak hal.”
Solidernews.com: “Apa tantangan merawat anak sebagai difabel netra dan bagaimana mengatasinya?”
Fajrin: “Tantangan terbesar adalah ketika anak-anak suka berlari dan saya kesulitan mengejarnya. Untuk mengatasi ini, saya kadang bilang, ‘Nak, abah gak bisa lihat. Jadi, kalau abah panggil, tolong jawab, ya. Misalnya, Asa, kamu di mana, nak?’ Aku di sini!’”
Solidernews.com: “Oh ya, bagaimana cara kamu memastikan keselamatan mereka?”
Fajrin: “Saya selalu berusaha menemani mereka. Biasanya saya juga meraba apa yang mereka pegang. Abangnya sering memberitahu kalau adeknya ada di lantai. Jadi, saya bergegas memegangnya. Saya menggunakan pendengaran dan perasaan untuk mendeteksi mereka jika gerak gerik mereka tampak aneh.”
Solidernews.com “Apakah anak kamu sudah menyadari kondisi kamu sebagai difabel netra dan bagaimana reaksinya?”
Fajrin: “Anak-anak saya sudah memahami kalau saya seorang difabel netra. Mereka kadang ngarahin tanganku ke mulutnya, bahkan ketika jalan mereka sering memperingati kalau ada kubangan di depan.”
Solidernews.com: “Apa yang kamu nikmati ketika bersama mereka?”
Fajrin: “Ketika mereka sudah mulai berbicara, ketika mereka memanggil saya, ‘Abah-Abah’, dan ketika mereka menyambut saya dengan senang ‘Abah pulang, abah pulang’. Itu rasanya semua capek hilang.”
Solidernews.com: “Apa nilai-nilai khusus yang kamu tanamkan kepada anakmu sejak dini?”
Fajrin: “Saya tanamkan nilai berbagi, nilai kesopanan, dan nilai agama kepada mereka. Pertama, nilai berbagi. Saya selalu mencontohkan kepada anak pertama saya untuk berbagi kepadanya. Misalnya kalau saya punya sesuatu ‘Abang, abah punya makanan atau minuman, mau gak? Nanti abang juga bagi ya sama adek.’ Kedua, nilai kesopanan, saya selalu mengajarkan anak saya untuk bilang permisi jika lewat orang tua. Ketiga, nilai agama, saya sering mengajak anak saya ke masjid meskipun di sana dia lari-lari, tetapi setidaknya dia bisa lihat cara orang berdoa.”
Solidernews.com: “Apa komentar negatif dan stigma masyarakat tentang disabilitasmu sebagai seorang ayah?”
Fajrin: “Mereka sering mengomentari istri saya, ‘Eh, kasihan kan suaminya gak bisa lihat, gimana ya ngurus anak?’ ada juga yang bilang, ‘Pasti repot, ya?’ terus terang saya sih agak gak suka digituin.
Solindernews.com: “Terus, bagaimana cara kamu mengatasi komentar negatif dan stigma tersebut?”
Fajrin: “Saya dan istri sih Cuma saling mengingatkan. Toh, kita yang jalani sendiri. Makan juga tidak minta mereka. Namun, rasa ketidaksukaan saya itu tidak saya tunjukkan kepada mereka secara langsung. Saya biarkan saja mereka.”
Solindernews.com: “Apa yang ingin kamu sampaikan kepada masyarakat agar mereka lebih peduli kepada ayah-ayah difabel netra di Indonesia?”
Fajrin: “Saya ingin masyarakat mengerti bahwa kehilangan penglihatan bukanlah kehilangan segalanya, yang ingin saya tekankan, orang buta itu hanya hilang penglihatannya, bukan kemampuannya. Jangan pernah meremehin kemampuan mereka. Jika kalian tidak bisa membantu mereka, gak usah mengomentari mereka, mereka sudah menikah dan sudah paham bagaimana menghidupi anak dan istrinya!”
Solidernews.com: “Lalu, apa pesan-pesan kamu bagi para ayah difabel di seluruh Indonesia?”
Fajrin: “Pesan-pesan saya, jangan pikirkan keterbatasan kita, tetapi pikirkanlah untuk memaksimalkan indra kita yang masih berfungsi untuk mengurusi anak-anak kita dan ingat, berikanlah contoh yang terbaik kepada anak-anak kita supaya ke depannya anak-anak kita bisa menjadi penyuara bagi penerus inklusivitas. Sebagaimana manusia adalah karya terbaik Tuhan, anak pun karya terbaik orang tuanya maka kita harus menjaga mereka secara baik-baik karena mereka adalah anugrah Tuhan”.[]
Reporter: Tri Rizki
Editor : Ajiwan