Views: 26
Solidernews.com – Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) menyelenggarakan diskusi inspiratif bertajuk “Bagaimana Dunia Memandang Difabel?” pada Selasa, 3 Juni 2025, pukul 10.00 WIB melalui platform Zoom Meeting.
Acara ini diikuti oleh sejumlah peserta dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk difabel dari beragam latar belakang. Para peserta juga diajak untuk memahami cara mengadvokasi diri sendiri dengan lebih percaya diri di tengah masyarakat yang kerap masih memandang difabel secara diskriminatif.
Salah satu peserta, Riska Effendi, difabel psikososial asal Jakarta, mengungkapkan rasa terima kasihnya karena telah mendapatkan edukasi yang bermanfaat.
“Terima kasih banyak karena telah membagikan insight model bagaimana dunia melihat difabel,” ujarnya.
Ketua PJS Cabang Jakarta, Ratna Dewi Basril, mengungkapkan tujuan acara ini.
“Diskusi ini akan membuka berbagai perspektif global tentang difabel dan memperkuat posisi kita sebagai aktor utama dalam memperjuangkan hak difabel. Harapannya, diskusi ini tidak hanya menambah pengetahuan, tapi juga membangkitkan semangat advokasi diri, karena tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada difabel yang sadar dan berani memperjuangkan haknya,” tuturnya
Acara ini menghadirkan aktivis dan peneliti difabel internasional, Richard Kennedy, sebagai narasumber. Dalam pemaparannya, Richard menjelaskan lima model utama dalam studi difabel, yaitu: moral model, medical model, social model, human rights model, dan biopsychosocial model. Ia mengatakan bahwa setiap model adalah cerminan pandangan dan sikap masyarakat terhadap difabel.
“Pandangan dunia terhadap difabel telah berubah seiring dengan berkembangnya model berpikir. Model-model ini memberikan pemahaman tentang apa itu difabel, bagaimana masyarakat berperilaku, membuat kebijakan, serta mengatur sistem sosial terhadap mereka,” jelasnya.
Berikut adalah lima model utama dalam studi difabel:
- Pertama, Moral Model (Model Moral)
“Model ini adalah pandangan tertua terhadap difabel, yang menganggap difabel terjadi akibat dari dosa, kutukan, ketidaksucian, atau hal-hal supranatural. Penanganannya melibatkan praktik spiritual seperti doa, ritual, atau pengasingan,” jelasnya.
Cara pandang ini menyebabkan difabel sering dikucilkan, disembunyikan, dan dianggap pembawa sial sehingga menempatkan mereka dalam posisi yang sangat terpinggirkan di masyarakat.
- Kedua, Medical Model (Model Medis)
“Medical model menganggap difabel terjadi akibat gangguan fisik atau mental, yang harus disembuhkan melalui intervensi medis, seperti obat-obatan, terapi, atau pembedahan,” ujarnya.
Cara pandang ini menyebabkan difabel bergantung sepenuhnya pada intervensi medis, sehingga individu kehilangan kendali atas kehidupannya.
- Ketiga, Social Model (Model Sosial)
“Model sosial menganggap difabel terjadi akibat kondisi lingkungan yang tidak mendukung partisipasi difabel dalam kehidupan sosial,” jelasnya.
Model ini tidak melihat kondisi tubuh individu sebagai masalah, tetapi justru menyoroti ketidakmampuan masyarakat dalam menyediakan ruang yang inklusif.
“Solusi terbaik adalah dengan membangun lingkungan yang aksesibel, menghapus hambatan sosial, dan mendorong difabel berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial,” ujarnya.
- Keempat, Human Rights Model (Model Hak Asasi Manusia)
“Model ini menganggap difabel sebagai bagian dari keragaman manusia, dan semua individu memiliki hak yang setara tanpa diskriminasi,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa permasalahan utama bukan terletak pada difabel atau lingkungan semata.
“Kegagalan ini terjadi karena masyarakat tidak menghormati dan memenuhi hak asasi difabel.”
Menurutnya, hukum dan kebijakan adalah kunci.
“Pendekatan terbaik adalah melalui hukum dan kebijakan yang memastikan kesetaraan hak, martabat, dan partisipasi difabel dalam segala aspek kehidupan,” ujarnya.
- Kelima, Biopsychosocial Model (Model Biopsikososial)
“Model ini merupakan gabungan dari pendekatan biologis, psikologis, sosial, dan lingkungan, yang melihat difabel secara lebih utuh dan kontekstual, tanpa mengabaikan sisi medis maupun sosial,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa penanganannya bersifat holistik dan dipersonalisasi.
“Setiap pengalaman difabel itu unik dan tidak bisa disamakan dari individu satu dengan yang lain,” ujarnya.
Sesi Diskusi Inspiratif
Salah satu peserta, Siti, difabel Mental asal Madiun, bertanya, “Apakah Model Biopsikososial sudah diterapkan di Indonesia?
“Jawaban ini cukup sulit sebab lembaga di Indonesia masih dalam model peralihan medical ke sosial dan beberapa ada yang sudah beralih dari sosial ke human rights, tapi belum semua,” jawab Richard
Ia mengatakan bahwa peringkat terendah adalah model moral dan peringkat teratas adalah Model Biopsikososial.
Senada dengan itu, ketua PPDI Kabupaten Lumajang, juga bertanya, “Bagaimana menanggapi ragam difabel yang keras kepala atau sok tahu?”
“Hal pertama yang harus kita lakukan adalah menghargai keberagaman atau perbedaan itu dengan melakukan pendekatan personal sesuai kebutuhan difabel itu seperti model bio psikososial,” tutup Richard.[]
Reporter: Tri Rizki
Editor : Ajiwan






