Views: 14
Solidernews.com – Perempuan difabel memiliki kerentanan berlapis terhadap kekerasan. Tak hanya itu, diskriminasi terhadap perempuan difabel juga masih kerap terjadi. Patriaki menjadi faktor yang seringkali menjadi sebab diskriminasi terhadap perempuan. Apalagi dengan status perempuan difabel, hal tersebut akan menjadi beban ganda yang menjadikan individu tersebut mendapatkan perlakuan yang kurang baik seperti kekerasan baik verbal maupun non-verbal
Meskipun perempuan difabel memiliki hak afirmasi dan akomodasi layak yang dijamin oleh undang-undang dan memiliki payung hukum yang sah. Namun pengakuan tersebut tidak menjadikan perempuan difabel bebas dari perlakukan tidak menyenangkan. Diskriminasi berlapis acap kali dialami oleh perempuan difabel dalam menghadapi peran di masyarakat. Kondisi tersebut dapat terjadi karena perempuan difabel dirasa tidak berdaya untuk melapor kepada penegak hukum.
Menurut catatan tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), kekerasan yang dialami oleh perempuan difabel sebanyak 105 kasus sepanjang tahun 2023. Jumlah tersebut mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2022 dimana kasus kekerasan terhadap Perempuan difabel tercatat 72 kasus. Dari 105 kasus kekerasan pada tahun 2023, perempuan difabel mental menjadi kelompok tertinggi yang mengalami kekerasan dengan jumlah 40 korban. perempuan difabel sensori menjadi kelompok kedua dengan jumlah 33 korban. perempuan difabel intelektual menjadi kelompok ketiga dengan total kekerasan dengan jumlah 20 korban. Sedangkan perempuan difabel fisik lebih sedikit mengalami kasus dibanding perempuan difabel jenis lain yaitu 12 korban.
Komnas Perempuan telah menyelenggarakan kajian cepat bertajuk pemenuhan hak perempuan difabel. Diskusi tersebut menghasilkan pemetaan kekerasan yang dialami oleh perempuan difabel, hambatan Perempuan difabel ketika menjadi korban kekerasan serta pandangan masyarakat terhadap perempuan difabel. Serta capaian instrument hak asasi terhadap perempuan difabel dengan peraturan perundangan yang melindungi perempuan difabel dan pemenuhan hak dalam mengakses keadilan.
Hambatan yang dihadapi perempuaj difabel ketika ingin mengakses keadilan dapat terjadi karena keluarga dan masyarakat tak memandang penting kekerasan yang terjadi pada perempuan difabel. Mereka dirasa tidak cukup kuat untuk melapor dan mendapatkan keadilan atas apa yang terjadi. Untuk melapor dan mendapatkan keadilan, terdapat regulasi bagi perempuan difabel untuk melapor. Salah satunya adalah melakukan reka adegan kekerasan yang dialami, hal itu akan membuat korban menjadi Kembali trauma.
Agar laporan terhadap kasus kekerasan yang ada dapat berjalan lebih lancar, dibutuhkan pertugas layanan dan aparat penegak hukum yang memahami keragaman difabel dan kebutuhan khusus yang dimiliki. Hal ini diperlukan agar perempuan difabel merasa aman ketika ingin melaporkan kejadian kekerasan yang ia alami tanpa mengalami diskriminasi dan diabaikan.
Perlindungan dan akses keadilan bagi perempuan difabel diatur dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pasal tersebut mengatur bahwa perempuan difabel berhak medapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan ekspoiltasi seksual. Ketentuan UU Disabilitas diatur lebih lanjut melalui Peraturan Presiden No 39 Tahun 2020 tentang akamodasi yang layak bagi penyandang disabilitas dalam proses peradilan, UU tersebut memberikan kewajiban dan panduan bagaimana pengadilan menyediakan akomodasi layak yang dapat diakses oleh difabel.
Melalui PP Akomodasi layak, Mahkamah Agung menerbitkan peraturan terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum melalui Perma 3/No 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan dengan Disabilitas berhadapan dengan Hukum yang memberikan panduan hakim untuk melakukan asesmen kebutuhan PBH bagi difabel dan Perma 4 Tahun 2020 tentang Administrasi dan Persidangan Perkaran Pidana dan pemenuhan hak perempuan difabel sebagai korban kekerasan.
Kasus-kasus kekerasan terhadap difabel meskipun sudah memiliki payung hukum yang jelas. Masyarakat juga perlu memperhatikan hal tersebut. Bukan dari penegak hukum saja, pelaksana kebijakan harus turut andil dalam penyelesaian kasus. Selain itu, media dibutuhkan sebagai sarana edukasi untuk meningkatan kesadaran dan kepedulian masyarakat agar mampu mengurangi jumlah kasus yang kian mendingkat.
Tanpa adanya bantuan dari banyak pihak, kasus kekerasan terhadap difabel akan sulit terungkap. Karena sikap dan perilaku maupun system yang belum sepenuhnya berpihak kepada perempuan difabel. Perempuan difabel yang memiliki kerentanan terhadap diskriminasi dan kekerasan membutuhkan perlindungan untuk berani melapor dan mendapatkan keadilan bagi dirinya. Sebagai Masyarakat yang hidup dengan berbagai macam permasalahan sekitar, perlunya untuk membantu satu sama lain. Apalagi perempuan yang mendapatkan kerentanan kekerasan baik kekerasan verbal maupun non-verbal.[]
Penulis : Emsa
Editor : Ajiwan Arief