Views: 13
Solidernews.com – Beragam mandat peraturan tentang perlindungan terhadap perempuan, termasuk pada perempuan difabel dari segala bentuk kekerasan telah dihadirkan. Di tingkat internasional misalkan, ada Convention Elimination of All Forms of Discrimation Againts Women (CEDAW). Peraturan ini pun telah diundangkan dengan Nomor 7 Tahun 1984, dan Indonesia menjadi bagian dari negara yang turut meritifikasi konvensi CEDAW.
Secara spesifik terkait perempuan difabel, Indonesia telah meretifikasi konversi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang hak-hak masyarakat difabel yaitu United Nations Convention on The Rights of Persons With Disabilities (UNCRPD) melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011.
Dengan meretifikasi UNCRPD ini akhirnya menimbulkan para pihak yang meritifikasi untuk membuat undang-unadang yang sejalan dengan itu. Di Indonesia kemudian dimunculkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan didalamnya menggunakan UNCRPD dan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM).
Menggali hak perempuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016
Pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah dimuat hak-hak difabel secara umum dan hak-hak perempuan difabel secara khusus.
Perundangan ini bertujuan untuk melaksanakan dan memenuhi hak masyarakat difabel, seperti dalam Pasal 3 poin (d), ‘Melindungi Penyandang Disabilitas dari penelantaran, eksploitasi, pelecehan dan segala tindakan diskriminatif, serta pelanggaran hak asasi manusia.’
Mandat lainnya yang tercatat dalam undang-undang ini adalah:
(a) Pasal 26, tentang jaminan perlindungan dan pemenuhan hak untuk bebas dari diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi. (b) Pasal 39, terkait dukungan sistem perlindungan melalui berbagai sosialisasi tentang perlindungan masyarakat difabel, yang termasuk di dalamnya berkaitan dengan pencegahan hingga pelaporan, dan aduan kasus eksploitasi dan pelecehan. (c) Pasal 125, tentang penyediaan layanan informasi dan tindak cepat untuk perempuan dan anak difabel oleh pemerintah dan pemerintah daerah. (d) dan Pasal 127, tentang rumah aman yang mudah diakses.
Hak-hak tambahan bagi perempuan difabel
Perempuan difabel mendapatkan empat hak spesifik selain hak secara umum bagi masyarakat difabel. Hak spesifik ini diberikan guna menjamin perlindungan lebih dan perlakuan khusus yang diperlukan perempuan difabel. Sebab, perempuan difabel sangat rentan untuk mendapatkan diskriminasi berlapis.
Hak perempuan difabel secara spesifik yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016, diatur pada Bab III Pasal 5 ayat (1).
Dalam pasal tersebut perempuan difabel memiliki hak spesifik tambahan yaitu: (a) Hak atas kesehatan reproduksi. (b) Menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi. (c) Mendapatkan perlindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis. (d) Mendapatkan perlindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk kekerasan dan eksploitasi seksual.
Hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR) perempuan difabel juga tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009. Serta Peraturan Presiden (PP) Nomor 61 Tahun 2014.
Hak kesehatan seksual dan reproduksi menjamin setiap individu untuk dapat mengambil keputusan terkait aktivitas seksual dan reproduksi mereka tanpa adanya diskriminasi, pemaksaan, dan kekerasan.
Hak kesehatan seksual dan reproduksi juga memastikan seorang individu untuk dapat memilih, apakah dirinya akan melakukan aktivitas seksual atau tidak, kapan akan melakukan aktivitas itu, dan dengan siapa akan melakukan aktivitas tersebut.
Dalam hak kesehatan seksual dan reproduksi perempuan difabel juga berhak untuk: (1) Mencari, menerima, dan mengkomunikasikan informasi terkait seksual. (2) Menerima pendidikan seksual. (3) Mendapatkan penghormatan atas integritas tubuhnya. (4) Memilih pasangan. (5) Memilih untuk aktif secara seksual, atau tidak. (6) Melakukan hubungan atas dasar konsesual. (7) Menikah secara konsesual. (8) Memutuskan untuk memiliki anak atau tidak, dan menentukan waktu kelahiran. (9) Memiliki kehidupan seksual yang layak.
Pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022, yang merupakan undang-undang yang memiliki landasan utuh, adil, dan formil bagi para korban kekerasan seksual, ada sembilan tindak pidana yang diatur didalamnya.
Sembilan tindak pidana tersebut adalah: (1) Pelecehan seksual nonfisik. (2) Pelecehan seksual fisik. (3) Pemaksaan kontrasepsi. (4) Pemaksaan strerilisasi. (5) Pemaksaan perkawinan. (6) Penyiksaan seksual. (7) Eksploitasi seksual. (8) Perbudakan seksual. (9) Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Mengapa perempuan difabel memiliki hak tambahan?
Untuk menjamin hak-hak perempaun difabel dapat terpenuhi karena berpotensi alami kerentanan berlapis, maka pada perempuan difabel diberikan perlindungan lebih sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016, Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) Nomor 12 Tahun 2022, dan Hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR).
Kerentanan perempuan difabel disebabkan oleh kedifabelan yang dimilikinya seringkali mengalami diskriminasi berlapis. Pertama sebagai seorang perempuan, dan kedua sebagai individu difabel.[]
Reporter: Sri Hartanty
Editor : Ajiwan