Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

Perempuan dengan Difabel dan Tantangan Gandanya

Views: 6

Solidernews.com, Yogyakarta – Hari Perempuan Sedunia yang diperingati setiap 8 Maret menjadi momentum penting untuk menyoroti perjuangan perempuan dalam merebut haknya. Namun, di tengah seruan kesetaraan gender, masih banyak kelompok perempuan yang menghadapi diskriminasi berlapis. Salah satunya adalah perempuan dengan difabel yang tidak hanya berhadapan dengan stigma gender, tetapi juga keterbatasan akses akibat kondisi difabel mereka.

Di Indonesia, perjuangan perempuan dengan difabel dalam memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan layanan publik masih menghadapi berbagai hambatan. Menurut Anis Rahmatillah, seorang perempuan dengan difabel fisik, inklusivitas yang kerap digaungkan masih belum sepenuhnya terealisasi.

Ia mengajak kita untuk melihat realita bahwa di Indonesia masih terdapat banyak diskriminasi terhadap perempuan dengan difabel. Stigma masyarakat yang menganggap difabel sebagai individu yang lemah, ditambah dengan narasi misoginis (kebencian, prasangka, dan kebencian terhadap perempuan), membuat kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan menjadi lebih sedikit.

Kendati demikian, wanita yang sedang berkuliah di UGM itu mengaku bahwa motivasi terbesar dirinya mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi adalah untuk memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan.

Tak hanya dalam pendidikan, diskriminasi juga terasa hingga dunia kerja. Riani Wulan Sujarrivani, seorang perempuan dengan difabel mental, menyoroti bagaimana perempuan dengan difabel seringkali menghadapi kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang layak.

“Diskriminasi dalam rekrutmen dan promosi masih menjadi masalah utama. Perusahaan masih enggan mempekerjakan perempuan dengan difabel, sebagai gugur kewajibannya mereka hanya mempekerjakan laki-laki dengan difabel karena dianggap sebagai tulang punggung keluarga. Sekalipun perempuan difabel bekerja, maka seringkalali gaji yang diterima tidak sama dengan laki-laki,” jelasnya.

Di sektor layanan publik, perempuan dengan difabel masih mengalami kendala besar dalam mengakses fasilitas kesehatan, transportasi, dan layanan dasar lainnya. Banyak fasilitas yang belum ramah difabel, serta kurangnya pemahaman dari tenaga medis dan penyedia layanan publik terhadap kebutuhan perempuan dengan difabel. Hal ini semakin mempersempit ruang gerak mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari dengan lebih mandiri.

Perempuan difabel juga sangat rentan menerima kekerasan seksual. Banyak kasus kekerasan seksual yang dialami perempuan dengan difabel tidak terungkap akibat minimnya akses terhadap layanan pengaduan, rendahnya kesadaran hukum, serta stigma yang membuat mereka takut untuk melapor.

Menyoal stigma sosial juga tak kalah penting, stereotip bahwa mereka tidak mampu mengambil keputusan sendiri atau tidak bisa berkontribusi dalam masyarakat membatasi ruang gerak mereka untuk berpartisipasi. Namun, harapan tetap ada. Baik Anis maupun Wulan sepakat bahwa kesadaran akan hak perempuan harus selalu digaungkan setiap saat.

“Pemerintah, institusi pendidikan, perusahaan, dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan kebijakan yang lebih inklusif, menyediakan akses yang lebih baik, serta menghapus diskriminasi terhadap perempuan dengan difabel,” pinta Wulan.

Terakhir, Anis juga mengingatkan bahwa Hari Perempuan Sedunia jangan hanya dimaknai sebagai perayaan semata, tetapi juga pengingat bahwa perjuangan kesetaraan bagi perempuan difabel masih berlangsung hingga hari ini dan nanti.[]

 

Reporter: Bima Indra

Editor       : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content