Search
en id

Gunakan fitur ACCESSIBILITY melalui tombol simbol biru bagian kanan agak atas sebagai preferensi untuk kenyamanan Anda.

sumber National Calendar

Perayaan Hari Skizofrenia Sedunia: Suara Yang Menghantui dan Upaya Untuk Tetap Mengendalikan Diri

Views: 35

Solidernews.com – Hari Skizofrenia Sedunia yang jatuh pada tanggal 24 Mei menjadi momentum untuk bukan hanya merayakan keberadaan orang dengan skizofrenia di sekitar kita, tetapi juga dapat menjadi waktu yang tepat untuk mendengar suara dari para orang dengan skizofrenia. Selama ini, kita terbiasa memandang skizofrenia dalam kerangka fenomena. Di mana kita hanya membaca jumlah individu dengan skizofrenia dan melihatnya sebagai angka statistik. Laporan Kementerian Sosial misalnya, atau data yang terus dikeluarkan oleh Rumah Sakit Jiwa (RSJ) tempat orang dengan skizofrenia diserahkan untuk kemudian ditangani.

Kita terbiasa mendengar perjuangan atas hak orang dengan skizofrenia, justru, tidak melalui individu yang merasakannya langsung. Membaca dan mendengar keterangan dari Kementerian, aparat dan aktivis difabel psikososial memang penting. Tetapi memotret apa yang dikatakan, dirasakan, diinginkan dan dialami oleh orang dengan skizofrenia pun tak kalah penting.

“Stigma yang melekat pada skizofrenia seringkali lebih menyakitkan daripada gejalanya itu sendiri. Kami dianggap berbahaya, tidak mampu, bahkan sering kali dikucilkan dari lingkungan sosial dan kesempatan kerja. Padahal, dengan dukungan yang tepat—akses pengobatan, komunitas yang suportif, dan empati dari masyarakat, kami dapat menjalani hidup yang bermakna dan produktif,” ungkap Dedi (mahasiswa difabel,  skizofrenia) dalam wawancara yang dilakukan Solidernews (24/05/2025).

Lebih lanjut, Dedi juga berbagi mengenai keresahannya. Pikiran dan suara-suara yang datang kepadanya. Dia mengaku merasakan ketakutan akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Pikiran dan suara-suara yang kerap datang itu mungkin saja akan menariknya ke dalam ruang gelap, di mana bahkan ia tak dapat mengendalikan dirinya sendiri. Dan ia tak mau hal itu terjadi. Sampai dengan sekarang, Dedi memutuskan untuk terus menulis. Bagi dirinya, menulis berfungsi untuk bertahan dan tidak menyerah pada bisikan-bisikan yang menghantuinya.

Simak juga ..  Kaitan Antara Gejala Skizofrenia dengan kasus Ibu Membunuh Anak di Bekasi

“Karena selama saya masih bisa menulis, itu berarti saya masih bertahan,” tegasnya.

Bagaimana jika Anda mendengar suara yang tak dapat didengarkan oleh orang lain? Bagaimana jika Anda meyakini sesuatu sebagai kebenaran sementara itu sebenarnya hanya khayalan? Dan bagaimana jika di tengah semua kebingungan itu, justru masyarakat menganggap Anda aneh? Mengucilkan dan menutup diri untuk segera membantu Anda? Lalu Anda akan dipasung karena yang pertama, keluarga Anda mungkin tak punya cukup pengetahuan dan biaya untuk memasukkan Anda ke rumah sakit jiwa. Dan kedua, keluarga juga mungkin malu atas keadaan Anda yang sarat akan stigma negatif dari masyarakat.

“Selama ini kami mengurung Abang kami di rumah. Tidak dipasung, hanya diawasi dengan ketat agar tidak keluar dari lingkungan rumah. Hal itu kami lakukan karena beberapa kali ia mendapat kekerasan di jalan. Pernah sekali waktu dia pulang dalam keadaan babak belur. Mata bengkak, wajah lebam, tubuh banyak bekas luka. Abang kami juga pernah dipukuli pejalan kaki yang melintas di depan rumah karena merasa risih saat dilihati saat berjalan,” ujar Issa (adik dari penyandang skizofrenia).

Wawancara yang dilakukan Solidernews pada Rabu, 21 Mei 2025 itu dipenuhi dengan cerita pilu dari Issa, selaku saksi dari ketidakjelasan nasib orang skizofrenia di Indonesia. Ia mengaku Abangnya (48 tahun) pernah mendapat intervensi medis. Di mana saat itu, ia berusaha untuk menghubungi Dinas Sosial setempat untuk meminta bantuan. Saat dijemput oleh pihak Dinas Sosial, Abangnya menunjukkan perlawanan tetapi masih dapat diamankan oleh aparat, lalu kemudian dibawa ke rumah sakit jiwa terdekat.

Simak juga ..  Ketika Survivor menjadi Subjek atas Dirinya : Refleksi Project Visit Good Sigab dan KPSI Solo Raya

“Tapi cuma satu hari di rumah sakit, Abang saya lalu dibawa pulang kembali. Kata Dinas Sosial dan perwakilan rumah sakit Abang saya masih bisa ditangani di rumah, makanya dibawa pulang saja. Tapi kenyataannya tidak ada perubahan sampai sekarang,” ujarnya.

Sejak mengalami skizofrenia pada 2015 yang lalu, menurut Issa Abangnya tak pernah lagi menjadi orang yang sama. Diawali dengan perilaku yang berubah di mana Abangnya sering berbicara sendiri, melamun dan tiba-tiba emosi tanpa penyebab yang jelas. Akhirnya berkelanjutan sampai dengan sekarang semakin tak terkendali.

“Semua kaca di rumah dipecahkan. Sejadah dibakar, Al-Quran dibakar. Abang kami juga sering hilang, jalan entah ke mana,” ungkap Issa.

Dalam keadaan yang tidak menentu itu, Dinas Sosial pun tidak dapat memberi banyak bantuan. Solidernews juga mencoba untuk menggali informasi dari salah satu staf bidang rehabilitasi Dinas Sosial di suatu daerah yang meminta untuk namanya disamarkan. Menurutnya, mekanisme yang selama ini dijalankan di instansi tempatnya bekerja adalah menerima laporan dari masyarakat atau keluarga, penjemputan, pengantaran, pemberian rekomendasi ke rumah sakit jiwa yang telah ditentukan dan setelah itu, segala keputusan diserahkan pada rumah sakit dan tenaga kesehatan yang menangani pasien tersebut.

“Jadi untuk kasus dipulangkan tanpa kejelasan, itu berarti sesuai keputusan rumah sakit jiwa bersangkutan,” ungkapnya.

Skizofrenia sendiri adalah keadaan jiwa kronis yang memengaruhi cara seseorang berpikir, merasa dan berperilaku. Gejalanya beragam dan dapat bervariasi. skizofrenia bukanlah penyakit kepribadian atau tanda kelemahan karakter. Skizofrenia adalah kondisi medis spesifik yang memerlukan penanganan spesifik, obat-obatan dan interfensi layanan kesehatan. Bagi Dedi, layanan kesehatan dan support dari lingkungan sosial adalah hal yang akan sangat membantunya mempertahankan kendali atas dirinya sendiri. Hal yang mungkin dianggap remeh oleh orang lain, tetapi sungguh bukan hal yg mudah bagi Dedi dan para penyintas skizofrenia lainnya. Mitos bahwa skizofrenia disebabkan oleh dosa masa lalu atau kutukan akan berdampak sangat besar bagi kekuatan para penyintas untuk melalui masa-masa genting yang sedang mereka hadapi.

Simak juga ..  Penyintas Skizofrenia Berbagi Cerita

Sebagai orang yang tidak merasakan langsung apa yang dirasakan oleh orang dengan skizofrenia, alangkah baiknya, kita terus berusaha untuk memberi dukungan. Yang sederhana dan tidak besar pun tak masalah. Cukup dengan tidak memandang sebelah mata dan tidak menganggap mereka berbahaya pun, sudah jauh lebih baik ketimbang memilih untuk mengabaikan apalagi menjauhi mereka. Mulailah dengan mendengarkan keluh kesah para penintas, mempelajari gejala skizofrenia dan segera menghubungkan mereka dengan layanan kesehatan jiwa terdekat. Dengan begitu kita sudah melakukan hal kecil yang akan berdampak besar bagi hidup para penyintas.[]

 

Reporter: Nabila May

Editor     : Ajiwan

 

Bagikan artikel ini :

TULIS KOMENTAR

ARTIKEL TERKAIT

berlangganan solidernews.com

Tidak ingin ketinggalan berita atau informasi seputar isu difabel. Ikuti update terkini melalui aplikasi saluran Whatsapp yang anda miliki. 

BERITA :

Berisi tentang informasi terkini, peristiwa, atau aktivitas pergerakan difabel di seluruh penjuru tanah air

Skip to content